Kini giliran Harris yang terlihat canggung. “Yang, aku gak salah, kan? Aku pengin kamu gak merasa terbebani oleh hadiah aku ini. Ini bukan cincin tunangan, aku belum mau tunangan juga sama kamu. Eh, maksud aku, engg ... bukan berarti aku enggak serius sama kamu dan enggak mau hubungan kita ini jadi lebih serius kedepannya, ya. But, minggu lalu pas kelas aku ada kegiatan observasi ke Agam, kamu ingat kan aku pernah pamit waktu itu, aku lihat cincin ini di salah satu pengrajin. Cantik, dan benda itu bikin aku ingat sama kamu. Makanya aku beli. Makanya aku kasih sekarang ke kamu. Momennya pas banget juga sama tanggal anniversary kita.”
My, oh, my. Fly me to the moon, Harris. Bukan hanya karena dia memberikanku sebuah cincin cantik itu, akan tetapi juga karena dia mengingat tanggal jadian kami. He cannot be anymore perfect than this, right?
Aku mengangkat tangan kiriku dan mengarahkannya ke Harris. Seketika kegugupan yang dia rasakan hilang dari muka dan suaranya. Di kalakian dia memasangkan cincin cantik itu di jari manisku. Kupandangi lagi benda yang kini melingkar di jariku itu. Aku merasa jatuh cinta sekali lagi pada lelaki yang duduk di seberang meja. “Ris, ini memang bukan cincin tunangan. Don’t worry, aku juga belum mikir sejauh itu kok. Aku juga bukan bermaksud enggak serius sama kamu, asal kamu tahu aku gak pernah merasa seserius ini sama siapa pun, tapi what we’re doing is enough for me. Aku ada buat kamu dan kamu ada buat aku. Kita yang apa adanya, tanpa tekanan, enggak ada tuntutan yang terlalu berlebihan. Harris, this is perfect. You're perfect. Thank you for this year, ya, it means so much to me. I love you.”
Aku tahu aku bukanlah seseorang yang pintar mengungkapkan perasaan secara langsung. Pun aku bukan seseorang yang begitu memuja kata-kata. Apa gunanya kalimat itu tanpa ada aksi yang nyata, bukan? Lebih sering adanya tatapan mata, perhatian belaka, sentuhan-sentuhan kecil bahkan hanya sebuah senyum tulus yang berasal dari dalam jiwa lebih kusuka dan aku anggap sebagai penyentara perasaan cinta. Seperti yang sering orang-orang katakan; apa yang berasal dari hati akan sampai ke hati. Apa yang dirasakan hatiku, aku harap hati Harris juga merasakannya.
“I love you too, Sayang.”
Setahun telah membuat kami lebih mengerti bahasa satu sama lain.
....
Geko memang sangat berarti untukku. Kenangan-kenangannya mengisi hampir setiap kekosongan pikiranku. Bahkan sampai sekarang, setelah tujuh bulan delapan belas hari berlalu. And I’m still counting, his memories is still haunting me. I’m still into him.
****
Aku menyukai hal-hal kecil sederhana, akan tetapi bisa mengukir bekas yang sangat dalam dalam ingatan. Tawa yang kami bagi ketika kami terpaksa berteduh di sebuah warung yang tutup karena tiba-tiba saja turun hujan lebat. Sebuah cokelat yang sering dengan sengaja diletakkan Harris di dalam tasnya kemudian dia akan berpura-pura meminta pertolonganku untuk mengambilkan sesuatu di dalam sana. Aku tersenyum, dia pun tersenyum. Atau, sesederhana makan siang yang diantarkan saat aku terlalu sibuk untuk makan ketika mengurus keperluan kegiatan organisasi.
Meskipun semua itu adalah perhatian kecil, akan tetapi ... lihat saja bekasnya. Bahkan setelah dia mencampakkanku tujuh bulan delapan belas hari yang lalu, tak sedikit pun ingatan-ingatan itu tergerus oleh waktu.
Sudah tujuh bulan dan delapan belas hari. Namun, aku tidak sampai di mana pun. Aku jalan di tempat, tak selangkah pun aku beranjak dari tempat terakhir Harris berdiri sebelum dia berlari menjauh. Meninggalkan aku yang masih menggenggam kenangannya tanpa ampun. Meninggalkan aku bersama bayang-bayang yang akan selalu muncul bersama fajar layaknya embun.
Beep. Suara ponsel lagi dan lagi menyelamatkan aku yang hampir tenggelam dalam kegalauan. Lagi.
Kak Raya : kamu di mana?
Kak Raya : kita ketemu di tempat biasa
Kak Raya : sekarang!
Keseriusan berembus di udara. Ini masih terlalu pagi untuk sekadar nongkrong-nongkrong di kedai kopi. Atau menanggapi nafsu belanja Kak Raya yang tak bertepi. Ada apa? Apa yang sudah terjadi? Tidak ada cara lain untuk menemukan jawaban daei pertanyaanku itu selain memenuhi panggilannya.
Aku mengetik balasan sebelum beranjak ke kamar mandi.
Me : Ok. Give me 15.
Me : Kasih kabar kalau Kakak usah sampai duluan
****
Mimi dan aku memang berbagi tempat tinggal. Rumah itu kepunyaan tetangga satu komplek dengan Mama dan Papa. Ada tiga kamar; satu untukku, satu untuk Mimi, dan satu lagi untuk anak pemilik rumah. Hari ini kebetulan Mimi sedang pulang kampung karena ada acara keluarga.
Sebenarnya aku juga bisa pulang ke rumah, akan tetapi aku memilih untuk stay di sini saja. Kalian bertanya kenapa? Karena ... entahlah. Urusan skripsiku juga tinggal sedikit lagi. Beberapa revisi dan satu kali bimbingan dengan dosen lagi, aku rasa akan menuntaskan semuanya. Namun, kalau aku pulang ke rumah, aku tidak bisa menyembunyikan apa-apa dari Papa, Mama bahkan para Abang. Aku hanya belum siap untuk menjelaskan apa yang sebenarnya sedang kualami kepada mereka.
Kak Raya sudah duduk di salah satu meja untuk empat orang. Di atas meja di depannya sudah tersedia dua cup minuman yang bisa aku tebak. Frappuccino untuknya dan another kind of frappe untukku. Di antara gelas-gelas tinggi itu terdapat beberapa potong donat dengan berbagai topping. Lagi dan lagi kami memilih gerai donat ini sebagai tempat untuk bertemu. Melihat apa yang sudah ada di atas meja, perutku mulai bereaksi. Aku jadi ingat kalau aku melewatkan sarapan untuk sampai ke sini lebih cepat. Namun, sekonyong-konyongnya gemuruh nafsu makanku kabur saat melihat guratan-guratan tidak senang di wajah Kak Raya. Aku melakukan kesalahan apa lagi kali ini?
Kak Raya membiarkan aku duduk dan mereguk iced hazelnut frappe di atas meja. Matanya mengawasi gerak gerikku dengan saksama. Setelah beberapa teguk, akhirnya aku merasa jengah. Di kalakian aku menengadah dan menantang tatapan matanya. “Ada apa, sih, Kak?”
Kak Raya tidak menanggapi.
Aku menaikkan sebelah bahu dengan tak acuh. Baiklah kalau itu maunya. Perutku terlalu lapar. Jadi aku memutuskan untuk menunggu dengan tak menyia-nyiakan apa yang sudah ada di hadapan. Kurasakan matanya tetap mengawasi aku yang mulai bergerak untuk mengambil garpu dan mulai memotong donat dengan topping coklat kacang. Kumasukkan potongan itu ke dalam mulutku.
Hm. Apa yang mereka jual di sini memang terasa begitu lezat.
“Kamu masih bisa makan saat semua orang di kampus sedang ngomongin kamu?” Kak Raya akhirnya, akhirnya, membuka suara.
Aku hanya kembali mengangkat bahu. Kenapa mereka membahas aku lagi? Belum cukup mengenyangkankah cerita yang disebar Bang Che sebelum ini? Enggak bosankah mereka membicarakan aku saja sehari-harinya?
“Cerita sama aku apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua.”
Ah, benar. Hal ini menyangkut dengan Bang Che lagi ternyata. Aku benar-benar tak habis pikir. Kenapa bahan maslaah dengan cowok itu seperti tak pernah habis?
Setelah donat itu habis, aku menghirup napas dalambdan meletakkan garpu. Baiklah, hadapi saja ini. Toh, hidup adalah tentang masalah itu sendiri, bukan? “Oke. Aku akan cerita, tapi Kakak harus cerita dulu apa yang orang-orang di luar sana bilang. Then I’ll have my turn.” Bersiap, awas, dor!
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments