“Che cerita ke anak-anak kalau kamu cuma manfaatin dia. Kalau kamu jadiin dia sebagai pengalih perhatian kamu dari si Harris. Pelarian. Entah apa lagi namanya. Dia mengaku jatuh cinta benaran karena emang dari dulu dia udah suka sama kamu, tapi kamu malah nolak dia mentah-mentah. Ngatain dia enggak pantas buat kamu. Kamu bahkan bilang itu setelah dia kasih hadiah mahal buat kamu. Selain jahat, kamu juga matre.”
Jahat dan matre. Hm. Aku tidak menyangka bahwa hari ini aku akan mendapatkan dua nama baru.
Dan ... bolehkah aku mengaku bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Bang Che benar-benar tidak membuatku terkejut lagi? Dari apa yang Kak Raya baru saja sampaikan, dia sudah menyebar informasi yang jelas tidak benar. Kapan aku mengatakan bahwa dia memang kujadikan sebagai pelarian, pengalih perhatian? Sejak kapan aku menolaknya mentah-mentah? Dan, yang paling penting, hadiah mahal seperti apa yang dia berikan kepadaku? Aku tidak oernah menerima apa pun dari Bang Che selain pesan masuk dan mention di media sosial.
Ah, sialan. Kenapa aku merasa sangat familier dengan sikap seperti ini? Aku lantas menghela napas panjang. Setidaknya, di balik apa yang sekarang beredar, aku sudah bisa mengelak dari seseorang yang hampir sama beracunnya dengan mantan kekasihku sebelum ini.
“Dan jelasin sama aku apa maksud dari helaan napas kamu barusan.” Kak Raya kembali menuntut. Dia memang bisa menjadi sangat galak jika berada dalam keadaan tidak mengenakkan seperti ini. Siapa yang tidak, kan? Hampir semua orang begitu.
“Aku harus gimana lagi, Kak?” Akhirnya aku menanggapi Kak Raya. Kubuat diriku setenang mungkin. Aku tidak mau membiarkan hal ini menguasaiku lagi.
"Kamu sadar gak, sih, Kay? Enggak butuh apa-apa lagi buat bikin Riko dan teman-temannya itu geram. Bahkan teman-teman ceweknya juga udah kesal banget sama kamu sekarang, Kayra! Dan cukup cerita itu aja, orang-orang yang mendengar akan membumbuinya dengan cara mereka sendiri," repet Kak Raya.
Okay, so what? Aku benar-benar audah tidak peduli dengan apa yang akan orang lain katakan terhadapku.
Namun, tetap saja. Kasihan Kak Raya. Dia kembali dihadapkan pada situasi simalakama; dimakan bapaknya mati, enggak dimakan emaknya yang meninggal. Aku dan Bang Che. Bang Che yang notabene-nya adalah sahabat Riko.
Riko yang merupakan pacarnya selama lima tahun ini.
Kuembuskan napas panjang sekali lagi. Sepertinya akuharus menjadi orang yang lebih besar dan menjelaskan semuanya kepada Kak Raya. Walaupun dengan hati yang sungguh berat, tetap saja akan kulakukan. Demi ketenangan jiwanya. “Kak, aku akan jelasin semuanya, oke? Setelah itu terserah Kakak mau percaya sama cerita aku atau cerita versi Bang Che.”
Kak Raya yang kali ini tidak memakai riasannya itu mengangguk. Ah, aku baru sadar kalau dia tidak berdandan seperti biasanya. Walaupun dia sebenarnya masih mengenakan makeup, sih, akan tetapi kali ini lebih ke warna-warna natural. Hm. Apakah hanya karena berganti warna saja jadi dia tidak kelihatan begitu menor sekarang?
Sudahlah. Kembali ke pokok bahasan ini. Kureguk frappe-ku sebelum kembali membuka mulut. “Selama ini di antara aku dan Bang Che gak ada apa-apa, Kak. Aku balas pesan dan mention dia karena cuma ingin bersikap sopan aja. Bang Che itu temannya Bang Riko dan Bang Riko adalah pacar Kakak. Aku hanya menghargai dia sebagai sahabat dari pacar teman aku. Itu aja, gak lebih.
"Pas kami mulai sering mention-mention di Twitter dan Ig, Bang Che pernah nanya sebenarnya kami itu lagi ngapain. Dia bilang soalnya teman-temannya udah pada nanyain juga. Pada saat itu aku rasa aku jawabnya jelas, kok; kalau kami cuma mention-mention-an aja, enggak ada apa-apa. Emangnya apa yang terjadi sama dua orang yang balas-membalas mention di medsos, hm? Aku bilang gitu, Kak. Apa itu kurang jelas, ya?” Aku menatap Kak Raya yang kedua alisnya hampir bersatu di tengah itu.
“Kamu beneran bilang gitu?” Dia bertanya. Entah untuk mencoba meyakinkan dirinya sendiri atau memang membutuhkan konfirmasi dariku.
“Iya, lewat chat.”
Kuletakkan ponselku di atas meja. "Kalau Kakak gak percaya, lihat aja."
Lekas saja Kak Raya mengibaskan tangannya dengan lembut di udara. “Udah, ah. Gak perlu. Terus, terus?”
Oh, my God. Sepertinya aku harus benar-benar jelas dengan apa yang aku jelaskan. Setidaknya setelah penjelasanku selesai, ada satu orang di antara geng mereka yang mengetahui kebenaran yang telah terjadi. “Tapi Bang Che tetap kirim itu semua. Aku juga balas tanpa ada maksud apa-apa. Aku enggak nyangka tindakan aku udah bikin Bang Che salah paham.”
Cewek itu segera mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk punggung tanganku yang terletak di atas meja dengan lembut. “Bukan salah kamu. Che udah suka sama kamu dari awal. Dia yang membangun harapan-harapan itu untuk diri dia sendiri.”
Well, jika Kak Raya mau mengatakannya seperti itu ... aku juga tidak keberatan. Kusunggingkan senyum dari sudut bibir. “Sampai akhirnya aku ngajak Bang Che ketemu, tiga hari yang lalu, setelah kita ketemu itu, Kak. Aku mau minta penjelasan soal cerita jadian kami yang dia bilang sama orang-orang. Tapi, Kakak tahu apa? Dia malah marah dan bilang kalau aku cewek yang gak tahu terima kasih. Padahal dia udah bikin aku move on dari Harris. Dia bilang dia yang udah bikin aku bahagia kayak sekarang. Itu semua karena dia. Karena dia udah kasih perhatian, waktu, dan segalanya buat aku. Seharusnya aku balas itu dengan mau jadi pacarnya.”
Kak Raya ternganga. “Dia bilang itu sama kamu?”
Aku memutar bolar mataku. Padahal di awal tadi dia sudah berjanji untuk tidak banyak menyela.
“Oke, oke. Lanjutin dulu ceritanya.”
Aku melakukan apa yang disuruh. “Aku gak pernah mengira jadinya bakal kayak gini, Kak. Aku udah jelasin sama dia. Aku masih luka, hati aku masih sakit. Aku belum bisa memulai apa pun yang masih ada hubungannya sama hati. Aku bahkan belum move on sedikit pun dari Harris.” Tumpah sudah. Perasaan yang coba aku dustai selama ini sekarang meluah. “Terserah Kakak mau percaya aku atau enggak. Terserah Bang Che mau bilang apa lagi sama orang-orang itu, aku udah enggak peduli. Ngurusin perasaan ini aja rasanya udah setengah mati.”
Kembali kuteguk minuman yang sudah encer itu. Aku bahkan tidak peduli dengan rasanya. Kusesap habis isi gelas sembari berharap gundahku akan habis bersamanya. Andai saja bisa semudah itu. Pun Kak Raya juga terdiam. Dia tidak menanggapi penjelasanku lagi. Aku memang tidak butuh tanggapan apa pun dari siapa pun. Terkadang di saat sulit seperti ini kita hanya butuh didengarkan.
Entah berapa lama waktu yang kami lalui dalam diam. Banyak pikiran berseliweran dalam kepala, akan tetapi tak kuhiraukan. Aku lelah, terlalu lelah bahkan untuk berpikir lebih banyak lagi. Sudah cukup menyiksa kenangan yang ditinggalkan Harris, sekarang Bang Che juga mau pelan-pelan menyiksaku dengan orang-orang di sekitarnya di dunia nyata.
Aku disudutkan oleh nyata dan fana, tak ada tempat untukku mengambil jeda.
“Kamu mau nginap tempat aku?” Kak Raya akhirnya memecah keheningan.
Aku menggeleng. Kalau begini keadaannya, aku harus segera keluar dari kampus. Harus!
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments