"Kakak, kalau ini kerjaan Kakak, ini benar-benar enggak lucu!” Aku sudah tidak bisa menahan diri dan bersabar sebentar lagi.
Kak Raya yang sedang menyeka bibirnya sehabis makan kembali memberikan tatapan heran.
“Apaan sih kamu, Kay? Aku enggak lagi ngelucu, deh. Sensi amat.”
Kutarik lagi napas dalam. Kuembuskan. Oke. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Komentar yang dikeluarkan Kak Raya sangat memicu petasan di dalam kepalaku. Bagaimana dia bisa bertingkah seenteng itu?
“Kak, hampir semua orang di kampus ini lagi bahas aku. Mereka bilang aku pacaran sama Bang Che. Mereka bilang aku murahan, baru putus sama Harris udah jadian lagi sama orang lain. Mereka bilang Bang Che cuma pelarian buat aku. Apaan semua itu?” Dan aku pun meledak sudah.
Untung saja saat ini belum jam makan siang, jadi kafe di dalam kampus yang sedang kami kunjungi tidak ramai. In fact, hanya ada dua orang lain selain kami yang sibuk mojok dengan laptop mereka masing-masing di sudut-sudut ruangan. Thank God aku tidak perlu mencemaskan meltdown-ku menjadi tontonan banyak orang dan akan menjadi tambahan bahan bakar bagi gosip yang sudah beredar.
Kak Raya terlihat semakin kebingungan. “Kayra, maksud kamu apa, ha? Aku benar-benar enggak ngerti sama apa yang kamu bilang barusan. Aku enggak pernah bilang ke siapa-siapa kalau kamu udah jadian sama Che. Kamu tahu kan beberapa hari ini aku enggak ke kampus? Terus, kenapa ....” Tiba-tiba dia terdiam, seperti ada satu bagian yang baru muncul di ingatannya. “Jadi ini yang dibilang sama Riko ke aku kemarin?”
“Emang Bang Riko kemarin bilang apa sama Kakak?” Aku mendesak Kak Raya, tak sabar mendengarkan penjelasan darinya.
Kak Raya menghela napas dengan ... dramatis. Aku tidak pernah mempertimbangkan sikapnya sebelum ini, akan tetapi entah kenapa pada hari inilah aku akhirnya memberi nama kelakuannya itu. Ya, dramatis. Kak Raya adalah orang yang dramatis. “Yaa, itu. Riko bilang kalau kamu dan Che itu udah jadian. Dia juga ngaku kalau Che sendiri yang viltang gitu sama dia." Gadis yang hari ini mengusung konsep more is less itu—yep, aku sedang membicarakan soal makeup-nya yang lumayan menor, kemudian menyengir dan menatapku dengan tatapan yang penuh seloroh. "Terus kenapa harus rempong gitu, sih, kamunya? Jadian, ya udah, jadian aja. Gitu aja kok repot. Pajak jadiannya, doongg.”
Kak Raya—aku tidak percaya bahwa aku akan mengatakan hal ini lagi—sepertinya tidak memperhatikan raut wajahku karena masih sempatnya dia menggodaku seperti itu. Namun, perhatianku segera teralihkan oleh informasi yang baru saja aku terima. Bagaimana bisa Bang Che mengatakan hal itu kepada semua orang? Well, yeah. Tidak semua orang secara literal, ya, akan tetapi dia hanya butuh mengatakan hal tersebut kepada orang-orang yang tepat, atau yang lebih dikenal dengan fans band mereka, dan boom! Dongeng itu akan langsung tersebar ke seluruh dunia.
“Kok bisa-bisanya Bang Che ngomong gitu ke orang-orang sih, Kak?”
Kudengar mulutku mengeluarkan kata-kata itu. Padahal tadinya aku hanya ingin mengatakan hal itu di dalam hati saja. Ah, sialan.
“Maksud kamu?" Kak Raya tetap saja kukuh dengan kedua ekspresi yang dipasangnya bergantian; tak mengerti dan menggodaku. Kali ini keningnya kembali berlipat-lipat.
Kali ini giliranku yang mengembuskan napas panjang. “Kakak, aku itu enggak pacaran sama Bang Che. Enggak, Kak. Enggak ada dan aku rasa enggak akan pernah. Kenapa Bang Che ngakunya gitu? Dia bilang apa sama Bang Riko? Jangankan jadian, Kak, nembak aku langsung aja dia gak pernah. Gimana mau jadian? Bukannya aku berencana untuk menerima dia juga, sih." Aku terburu-buru memberikan jawaban itu.
"Kakak, aku udah enggak tahan dilihatin terus sama orang-orang pas aku lewat di dekat mereka. Enggak enak banget rasanya jadi bahan obrolan cewek-cewek penggemar geng mereka, Kak. Apalagi mereka berlagak seolah-olah aku ini benar-benar menjijikkan, Kak.” Kutumpahkan semua yang kurasa pada Kak Raya.
“Hei, hei, hei, stop dulu. Tahan dulu. Jangan emosi dulu." Kak Raya mengangkat kedua tangannya dengan telapak terbuka menghadap ke arahku.
Jangan emosi? What?
Dia kemudian melanjutkan. "Jadi, kamu beneran enggak jadian sama Che? Serius?” Dia meminta konfirmasi. Tampaknya senior yang sudah kuanggap lebih dari sekadar senior biasa itu mulai sadar akan keadaan yang sebenarnya. Sepertinya dua porsi nasi Padang yang dilahapnya tadi baru bisa dicerna oleh lambungnya sebentar ini hingga asupan gizi yang ada di sana baru diterima oleh otaknya.
Aku hanya menatapnya dengan rasa percaya tidak percaya. Kenapa Kak Raya bisa jadi selemot ini, sih? Apa aku yanh salah dan kurang "bergairah" dalam memberikan penjelasan soal keadaannya? Apa aku yang kurang emosi? Kurang ekspresi?
“Ok, princess, aku sekarang ... agak ngerti. Nanti aku bantu tanya sama Che, ya? Kamu harus cool down dulu sebelum ngebahas ini sama dia. Kamu mungkin udah tahu gimana cara Che menghadapi masalah.”
Thank God akhirnya Kak Raya nyambung juga.
Namun, berkebalikan dengan apa yang dia percaya, aku tidak tahu sama sekali dengan apa yang dia maksud. Memangnya bagaimana biasanya sikap Bang Che dalam menghadapi masalah? Dari mana aku bisa tahu padahal kami tidak pernah terlibat dalam sebuah masalah sama sekali. Kukesampingkan perkataan Kak Raya itu. Yang jelas bagiku sekarang adalah apa yang aku inginkan. “Aku maunya langsung tanya sama Bang Che, Kak, biar jelas.” Aku mengotot.
Kak Raya terdiam. Dia terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu. Atau, setidaknya itu yang kutebak dari pose klise yang dilakukannya sekarang ini; dia sedang menopang dagunya dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuknya. “Bagusnya juga gitu, tapi apa enggak apa-apa, hm? Nanti kalian bisa beneran berantem loh, Kay. Nanti urusannya malah jadi tambah ribet.”
Aduh, Kak, that isn't going to work with me. Sabarku sudah habis. Aku sudah tidak bisa dicegah lagi. Tekadku sudah bulat. “I don’t care,”
sahutku sambil mendengkus.
“Okay, okay, okay, terserah kamu, deh.” Kak Raya mengedikkan bahunya, antara ingin terlihat pasrah atau bahkan tidak terlalu peduli.
Sebenarnya, kalau sedang dalam keadaan yang waras dan tidak terjepit seperti ini, aku akan bisa paham bagaimana perasaan Kak Raya. Aku pasti akan mencoba untuk seratus persen memahami. Dia sekarang mungkin merasa berada di tengah-tengah jembatan yang digantung di ketinggian dua ratus meter di atas permukaan tanah; gamang. Di satu sisi sebagai temanku dan di sisi lain sebagai teman Che. Kak Raya berusaha untuk selalu bersikap netral agar hal-hal lain tidak mempengaruhi hubungannya dan Bang Riko. Namun, sayang sungguh sayang, kali ini bukan bagian dari keadaan warasku.
Akhirnya kami berpisah arah, Kak Raya kembali ke rumahnya karena sudah dijemput oleh Riko sedangkan rencanaku untuk mengunjungi kantor jurusan lenyaplah sudah. Ada hal lain yang harus segera dituntaskan.
Me : Bang, kita ketemu di cafe biasa jam setengah lima ya
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments