Ah, ah, ah. Please, big boy, don’t feed me lies. You know I’m not eating that kind of bullshxt.
Lucu, lucu sekali. Harris, apakah kamu tidak ingat sudah berapa kali kamu mengatakan hal seperti ini sama aku? Kamu minta maaf kemudian melakukan kesalahan yang sama setelahnya? Udahlah, Ris. Tidak usah berlagak menyesal kalau kamu tidak menyesali sedikit pun perbuatan kamu. Sudah cukup bagi aku dua tahun umurku terbuang percuma karena kamu bohongi. Sudah cukup rasanya hari-hari yang berlalu tanpa penghargaan dari kamu.
Aku hanya bisa mengamuk di dalam hati. Ambil napas dalam-dalam lalu keluarkan dengan perlahan, Kayra Salim. Ambil napas yang dalam. Tenangkan diri kamu. Kamu tidak ingin menambah masalah dengan membuat keributan di sini, bukan?
Harris memanfaatkan keheningan itu dengan mengutarakan alasan-alasannya. “Aku tahu aku udah salah sama kamu, aku tahu itu. Yang jelas sekarang aku mau memperbaiki keadaan. Kamu gak bisa larang aku untuk berusaha dapatkan kamu lagi, kamu dengar?”
Yeah. Right. Akhirnya Harris yang asli datang juga. Yang selalu mau menang sendiri. Yang selalu mementingkan kemauannya sendiri. “Harris, di dunia ini kita gak selalu bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Tuhan itu ngasih kita hal-hal yang kita butuhkan.”
“Dan aku butuh kamu!” geram Harris. Nada suaranya meninggi.
Jujur saja, aku sudah tidak terkejut lagi karena ini sudah hampir menjadi makanan sehari-hariku beberapa bulan belakangan. And by the way, really? Kamu butuh aku? Hah! “Sudahlah, Ris. Aku rasa kita gak perlu meributkan hal-hal seperti ini lagi. Kalau kamu mau berusaha, silakan. Tapi, aku sudah bilang dari awal kalau aku gak bisa menjanjikan apa-apa. Kamu boleh bilang aku berubah, karena memang begitu keadaannya. Dan aku yakin kamu sendiri tahu kenapa.”
“Gak usah bahas-bahas yang udah lewat!" bantahnya dengan rahang terkunci. "Yang jelas, aku akan berusaha bikin kamu balik lagi sama aku. Camkan itu!” Dia di kalakian berdiri dengan kasar. Gerakannya membuat kursi yang tadi diduduki tergeser ke belakang hingga menghantam kaca jendela.
Aku memaku pandanganku pada jendela yang untung saja tidak rusak itu.
Begitulah, setiap kali keinginannya tak terpenuhi, yang biasa dia lakukan hanyalah menjadi marah. Membiarkan emosi mengendalikan tindakannya. Namun, yanb berbeda adalah sekarang aku sudah memilih untuk berhenti peduli. Aku tidak mau mengorbankan perasaanku lagi hanya untuk menyenangkan dia.
Ah. Sudahlah.
****
Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat dini hari dan aku masih terjaga. Semua potret kejadian beberapa bulan ini berputar di otakku. Segala rasa yang aku rasakan di saat itu kembali menyelimuti hati ketika setiap potongan-potongan bersatu kembali dan membentuk sebuah adegan.
....
Mereka berdiri berhadapan. Harris menunjukkan tampang gusar. Aku tidak tahu apa yang sudah aku lakukan atau ucapkan sehingga aku berhak untuk mendapatkan perlakuan seperti ini. Meskipun demikian, kenyataannya adalah aku telah berhasil membuat kekasihku sendiri marah besar.
Aneh. Padahal aku baru saja sampai di rumah kontrakannya. Apa yang sudah aku lakukan dan berkemungkinan membuat dia semarah ini?
“Kenapa kamu harus ke sini segala, sih? Kan sekarang aku udah enggak main sama perempuan-perempuan itu lagi kayak yang kamu mau. Aku sekarang cuma lagi pengen main-main sama teman-teman aku aja. Hidup aku bukan cuma soal kamu, ya! Masih banyak yang harus aku urus. Masih banyak urusan yang harus aku kerjakan selain ngurusin kamu! Makanya kamu sekarang gak usah ganggu aku dulu, ngerti? Aku lagi banyak pikiran sekarang, jadi aku pengen nenangin diri dulu. Aku mau cari senang. Oke?!”
Belum-belum aku membuka mulut, lelakiku telah terlebih dahulu berbicara dengan nada tinggi. Bentakannya tak lebih menyakitkan dari apa yang dia katakan. Terkejut sungguh sangat underrated, tak pernah-pernahnya aku diperlakukan seperti itu sebelum ini oleh siapa pun. Bahkan oleh orang-orang yang sudah berkelumun dengan kelakuan dan sifatku sedari aku masih bayi.
Setelah semua usaha terbaik yang aku berikan untuk setia hanya pada seorang lelaki saja, ini balasan yang aku dapat dari lelaki yang telah kupercaya untuk menggenggam hatiku itu.
Kucoba untuk menenangkan diri sejenak, kutarik napas dalam-dalam. Tetap kutatap lelaki itu dengan lembut. Kuakui aku memang mencintai lelaki di hadapanku, akan tetapi itu adalah lerasaan yang dulu. Sekarang sudah tidak lagi, sejak satu detik yang lalu.
Akhirnya kutemukan keberanian yang betul-betul kubutuhkan di saat seperti ini. Kutemukan suaraku. “Sebelum-sebelum ini kamu juga ngumpul sama teman-teman kamu, kan? Aku gak pernah melarang kamu untuk bertemu dan berteman dengan siapa pun. Dan nyatanya kamu tetap punya waktu banyak buat aku, buat kita. Sebelumnya kamu juga punya banyak urusan, kan? Banyak pikiran, banyak tugas, banyak kegiatan. Dan ... apa? Kita masih bisa bareng-bareng, kita masih bisa menghadapi semua masalah yang ada sama-sama. Tapi, sekarang kenapa, Ris? Kenapa semuanya jadi begini? Sekarang aku ternyata harus ngemis-ngemis dulu buat minta perhatian dari kamu.
"Oke, Harris. Kalau itu memang yang kamu mau, oke. Aku akan turuti keinginan kamu. Kalau kamu bisa mencari kebahagiaan di luar lingkaran kita, kalau kamu mau mencari sumber kebahagiaan selain aku, kalau kebersamaan kita udah gak bikin kamu bahagia lagi, silakan. Silakan cari hal yang bisa bikin kamu bahagia sebanyak apa pun dan sesuka hati kamu di luar sana. Aku gak akan mencampuri kehidupan kamu lagi. Aku gak akan mengharapkan apa-apa dari kamu lagi. Lagi pula, kalau kamu bisa bahagia tanpa aku, siapa bilang aku gak bisa menemukan kebahagiaan aku sendiri tanpa keberadaan kamu? Aku juga bisa, kan? Aku pasti bisa.
"Terima kasih sudah membuat keadaannya semakin jelas, ya, Ris. Terima kasih karena kamu sudah membuat semuanya terang benderang buat aku yang sebelum ini masih buta sama perasaan aku sendiri. Sekarang aku jadi yakin, seratus persen yakin, sama apa yang harus aku lakukan. Aku pergi, Harris. Aku akan benar-benar pergi. Mulai sekarang, gak akan ada aku yang ngemis-ngemis perhatian kamu lagi. Mulai sekarang, gak ada aku yang akan ganggu waktu kamu lagi saat kamu sedang main dan bersenang-senang sama teman-teman kamu. Gak akan ada yang akan menambah beban pikiran kamu lagi. Gak akan ada aku yang toh cuma merepotkan kamu aja. Oke. Tugas aku selesai. Aku pamit. Jaga diri baik-baik, ya. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku buat ke kamu. Apa pun itu, percayalah. Aku gak pernah sengaja untuk berniat untuk menyakiti kamu.”
Aku kemudian berbalik dan berlalu, lagi. Aku tidak mendengar suara apa pun dari balik punggungku. Sungguh malu mengakui hal ini, akan tetapi masih ada satu titik di sudut hati ini yang menginginkan Harris untuk melakukan sesuatu, mengatakan sesuatu. Namun, lelaki yang sudah menjadi mantanku semenjak beberapa detik yang lalu itu tak melakukan apa-apa. Dia tidak berusaha untuk mencegah, menahanku dari kepergian.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments