+628112233243 : Kay
+628112233243 : kamu apa kabar?
+628112233243 : aku kangen kamu
Oh, my God. The nerve of this man. Aku benar-benar tidak percaya bahwa aku baru saja membaca pesan seperti itu.
Aku benar-benar tidak menyangka bahwa pria yang kurasa terlalu baik itu ternyata memiliki sifat asli yang seperti ... ini.
Sudahlah. Aku tidak ingin membalas pesan yang dikirimkan oleh Harris kepadaku. Bukannya karena aku masih marah dan kecewa, akan tetapi karena aku sudah tidak punya perasaan apa pun lagi terhadap Harris. Tidak ada gunanya juga. Rasanya sudah tidak menjadi suatu yang wajib lagi untuk membalas pesan dan mengangkat telepon darinya. Dari awal pun sudah aku jelaskan, bukan? Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa.
Lagi pula apa dia tidak ingat setelah itu dia meneleponku untuk menegaskan bahwa aku dan dia sudah betul-betul tidak ada lagi? Terus, kenapa dia masih mengirimi aku pesan-pesan seperti itu? Apa maksudnya?
****
Namun, tetap saja pada akhirnya aku juga harus memahami bahwa mencintai kamu adalah keputusan yang tidak harus aku sesalkan. Bagaimanapun jua, kau dulu pernah membagi hangat pelukmu padaku. Kau pernah mengecup bibirku dengan lembut. Kau juga yang sering ada dan menenangkan sedu sedanku. Hanya saja, mungkin takdir memang tak pernah dituliskan agar kita bisa terus bersama dan berakhir dengan satu sama lain. Baiklah. Biarlah luka ini akan selalu aku bawa, entah ke mana kaki ini akan terus melangkah. Entah sampai kapan jantung ini terus berdetak, napas ini terus berembus. Jika kau bahagia di sana, seharusnya di sini aku juga bisa bahagia, bukan?
****
....
Aku masih ingat. Hari itu hari Rabu. Saat menunggu jadwal kuliah selanjutnya di kamar, yang aku lakukan hanya menatap layar ponselku. Aku tengah asyik membaca pembaharuan status di beranda akun Instagramku. Tiba-tiba saja sebuah rasa melintas di hati, ingatan langsung tertuju pada seseorang. “Kangen Geko, ih. Sekarang dia pasti lagi ada kelas."
Di kemudian aku mengetik nama pacarku itu di bagian pencarian. Harrisky Ilham. Seketika muncul halaman profil akun tersebut. Dengan senang hati kumulai kegiatan yang dimaksudkan untuk mengurangi sedikit perasaan rinduku pada sosoknya. Setelah melihat-lihat foto, aku pun beralih ke reel yang oernah dibagikan Harris. Kemudian bergeser ke bagian yang memuat postingan yang menandai akun lelakiku itu.
Deg.
Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengetuk naluriku dan mendesak untuk melihat kumpulan foto-foto ulang tahun seorang wanita yang entah siapa. Dan sebagai wanita, aku mendengarkan kata hatiku. Kusentuh foto pertama di carousel itu.
Foto pertama adalah foto sebuah kue ulang tahun bernuansa merah muda dengan hiasan kupu-kupu. Di atasnya ada beberapa buah lilin yang menyala serta tulisan "Happy Birthday, Fani". Untuk tiga buah slide berikutnya muncullah beberapa foto yang memperlihatkan keasyikan beberapa orang pria dan wanita di pinggir pantai.
Di slide keempat, mataku tertumbuk pada foto yang menampakkan dua orang wanita yang sedang berdiri berdampingan sambil tersenyum ke arah kamera. Salah satunya memegang sebuah kue ulang tahun. Aku mengira mungkin wanita itulah yang bernama Fani. Di foto selanjutnya terlihat Fani tengah dikelilingi beberapa lelaki dan dia tentu saja memamerkan ekspresi bahagia.
Sekali lagi, ada yang terus mendesakku untuk terus melihat koleksi foto-foto itu. Seperti ada yang membisikkan “terus lihat, terus saja” ke telinga. Dan memang, aku menuruti. Terus saja aku membuka satu per satu foto sampai akhirnya ada yang menghentikan jariku daei gerakan mengusap layar.
Seketika saja aku merasa jantungku berhenti berdetak. Aku serta-merta kehilangan fokus penglihatan. Ponselku tanpa sadar suda tergelincir dari tanganku yang entah sudah dari kapan gemetar hebat.
Foto di layar memperlihatkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tersenyum bahagia ke arah lensa. Si laki-laki memeluk bahu wanita dengan sebelah tangannya, tangan kiri. Pose yang sungguh-sungguh mencerminkan sikap protektif. Pose yang seakan-akan berkata bahwa dia akan melindungi wanita itu apa pun yang terjadi padanya. Pose tersebut tidak hanya berkata, akan tetapi juga meneriakkan bahwa dia akan melindunginya karena wanita itu adalah wanitanya.
Dan laki-laki itu adalah Harris.
Fani sedang berdiri di sampingnya sambil memegang kue dengan satu tangan, sebelah tangannya lagi menyelip di pinggang Harris, balas memeluk pria ittu. Ekspresi Fani tidak salah lagi menyorakkan kebahagiaannya berada bersama orang yang diinginkan di hari bahagianya itu. Fani tersenyum super duper lebar sehingga dia menampakkan deretan gigi depannya yang bersih.
Fani dan Harris berdiri berdampingan, saling membalas peluk, tersenyum begitu lebar. Mereka tidak sadar bahwa ada yang sedang bergetar, meringis menahan patah hatinya saat melihat foto yang diunggah beberapa minggu yang lalu itu dari balik layar.
Sekonyong-konyongnya kujangkau ponsel yang tergeletak di tengah-tengah silangan kakiku. Segera kuketik pesan di chat room yang berada paling atas di list karena chat dari Harris memang sengaja ku-pin.
Me : Aku mau ketemu kamu
Me : sekarang!
....
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan cepat, berusaha untuk mengusir adegan itu dari memori.
Sudahlah, Kayra Sayang. Kamu harus ikhlas. Ya? If God brings you to this situation, He will lead you through it. Sabar.
Berkali-kali aku menggumamkan kalimat-kalimat motivasi ini pada diriku sendiri. Aku harus ikhlas, aku yakin Tuhan sedang mempersiapkan yang terbaik untukku di depan. Aku hanya harus bersabar dengan rasa sakit yang ada sekarang ini.
****
“Kaaaaay, cepetan sini! Lo kan mau ngambil togaaaa. Lama banget, sih, mandinya!” Mimi berteriak dari balik pintu kamar mandi yang memang terletak di dalam kamarku.
Heh? Sejak kapan dia ada di dalam sana? Bukannya tadi aku sudah mengunci pintu, ya? Atau ... enggak? Kalau pintunya terkunci, kenapa si Mimi itu bisa masuk dengan seenak jidatnya? Oh, iya. Dia punya kunci kamar ini juga. Aku lupa pernah memberikan benda kecil itu kepadanya jika sewaktu-waktu dia harus mengambil sesuatu saat aku tidak ada di sini. "Iyaa iyaaa, bentar lagi aja, kok, ribut banget. Giliran gue yang nunggu enggak ada yang ngamuk. Lagian kenapa elo yang repot, sih? Kan yang mau wisuda, gue. Yang gak kebagian toga kalau telat ke sana kan, gue. Kenapa elo yang histeris gitu?" Aku balik berteriak sambil melanjutkan ritual mandiku. Ritual yang memang lama dan prosesnya terlalu sakral sehingga tidak bisa diganggu gugat.
"Mana ada cerita gak kebagian, Dodol! Lo kan udah bayar, udah pasti dapat, lah! Lagian tega banget pihak kampus kalau gak mau ngasih yang udah lo bayar sendiri." Mimi kembali menyahut dengan penuh semangat.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan memilih untuk menyerah. Tidak ada gunanya berdebat dengan Mimi yang kepalanya terbuat dari batu itu.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments