“Oke deh kalau gitu. Kalian lanjutin berdua, ya. Aku pulangnya bareng Anggi, karena Bang Harris sekarang juga udah kuliah di sini kami jadi jarang jalan bareng. Bye, bye, lovebirds! See you when I see you.” Mina melangkah enteng ke arah pacarnya yang aku lihat sudah menunggu di pintu keluar.
Sedangkan aku? Aku hanya bisa tersenyum kaku seraya berbalik menghadap Harris yang masih saja tersenyum simpul. Oh! Oh! Berbahaya! Senyumnya itu mulai meracuni kepalaku.
Dengan sudut mata, aku bisa melihat tatapan penuh pertanyaan dari Mimi, Anggre, Wide, dan Lulu. Aduh! Apa yang harus aku katakan? Aku sendiri saja tidak tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.
"Ya, udah. Kalau gitu kita juga cabut, ya, Kay. Mau ada kelas lagi, nih." Mimi berkata.
Diam-diam aku mengembuskan napas, lega karena mereka, yang diwakilkan oleh Mimi, mau melepaskan masalah ini untuk sekarang. Mungkin karena mereka juga bisa melihat ketidaktahuanku terhadap apa yang terjadi. Aku menoleh ke arah dan menyetop gerakan Mimi yang ingin memelukku. "Eits, aku lagi keringatan. Acara peluk-pelukannya ditunda dulu, oke?" gurauku.
Wide memutar bola matanya dan mengangkat telapak tangan untuk aku tepuk. "Whatever. Kita juga gak mau ketempelan keringat lo kali, Kay."
"Sialan." Jadilah kami kemudian ber-high five ria.
"Okay then. Kita jalan dulu. Bye, Kay. Permisi, Bang Harris."
Sapaan dari Lulu menyadarkan aku bahwa masih ada Harris di sana. Dan aku sedang terlalu "basah" oleh keringat. Oh, no. No, no, no, no!
Namun, dang it. Tidak ada yang bisa kulakukan soal keringat dan bau badan di saat ini. Aku benar-benar berdoa kepada Tuhan agar bauku tidak seburuk yang aku bayangkan. Please, Tuhan, please. Aku tidak mau berdoa yang jelek-jelek kepada Engkau, apalagi mendoakan kejelekan bagi orang lain—aku tidak mungkin meminta agar Harris kehilangan fungsi penciumannya, bukan?. Kalau boleh aku meminta, tolong hilangkan bau badanku. Atau hilangkan saja aku sekalian dari sini sekarang.
Meskipun demikian, aku harus menghadapi kenyataan terlebih dahulu. Kenyataan dalam bentuk cowok yang gantengnya paripurna yang kini berdiri di depan. “Hai.” Aku menyapa Harris dengan kaku. Kenapa dia memilih untuk bertemu dengan aku sekarang, sih? Kan aku sedang dalam kondisi terburuk yang bisa dialami oleh wanita; berkeringat, rambut acak-acakan, muka merah, dan aku yakin tidak kece.
But, wait, wait, wait. Sejak kapan aku peduli bagaimana penampilanku di depan Harris, atau lelakiyang lain for that matter?
“Hai." Dia balas menyapa. "Kamu tadi mainnya bagus banget. Aku enggak tahu kalau kamu jago main bola basket.” Harris kembali tersenyum kepadaku.
Ah senyum itu lagi. Aku benar-benar berada dalam bahaya. “Ih, mana ada. Biasa aja aku tuh. Si Poppy yang jago, dia kan benaran atlet basket provinsi.” Aku menjawab seenaknya. “Eh, tunggu, ya. Aku beres-beres dulu. Biar kita bisa out dari sini secepatnya."
....
Namun, ketika dipikir-pikir lebih dalam lagi, sesuatu pasti terjadi karena sebuah alasan. Alasan yang membuat Harris akhirnya memutuskan untuk bertemu denganku. Alasan yang akhirnya membuat kami bertukar nomor ponsel. Alasan yang pada akhirnya membuat kami sering bertukar kabar dan menjalin komunikasi yang lebih intens. Alasan yang kemudian membuat Harris memutuskan untuk menyatakan perasaan sukanya padaku. Alasan yang membuat aku menerima perasaannya.
Alasan-alasan kecil yang mungkin saja sangat klise di awal, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih besar, lebih kuat, dan lebih kompleks tentunya.
****
Di dalam bukunya itu, Ibnu Hazm El Andalusy juga berbagi pendapat soal kesetiaan dan pengkhianatan. Katanya, orang-orang yang mencintai cenderung lebih setia, sedangkan orang-orang yang dicintailah yang lebih banyak melakukan pengkhianatan. Sungguh, apabila orang yang dicintai tidak mencintai orang yang mencintainya dalam waktu yang bersamaan, sering sekali sebuah pengkhianatan terjadi dan tidak dapat dielakkan.
Mungkin itulah jawabannya; Harris dan aku sekarang sudah tidak saling membutuhkan lagi. Karena memang, kemudian kuketahui, bahwa Harris mulai membutuhkan sosok lain di dalam hidupnya. Aku saja tidak cukup. Harris sudah tidak hanya membutuhkan aku lagi.
Atau, mungkin, aku terlalu banyak menyalahkan Harris padahal sebenarnya akulah yang salah. Salahku terlalu mengharapkannya, menaruh hwrap pada seorang anak manusia. Salahku mencintainya dengan begitu bulat sehingga Harris menggenggam sebagian besar dari jiwaku. Salahku yang terlalu percaya bahwa mata akan dibalas mata, perhatian penuh untuk Harris akan berbalas perhatian pula dari Harris yang takkan berpaling dariku.
Aku yang terlalu mencintai, akan tetapi tidak bisa membuat dia mencintaiku.
Ah. Mungkin memang benar, semua ini salahku.
Harris, maafkan aku.
....
“Kamu lagi apa?”
Suara itu mengejutkanku. Harris baru saja kembali dari toilet. Kami sedang berada di sebuah gerai siap saji untuk menikmati makan malam. Kuliah selalu menguras tenaga dan pikiran. “Gak ada. Lagi bengong aja," jawabku asal sambil tersenyum dan membalas tatapannya.
“Jangan sering bengong sendiri, ah. Entar kamu dikira masih jomlo lagi masa orang-orang yang ngelihatin.” Harris terkekeh dan mulai menyeruput jeruk peras dingin miliknya yang masih tersisa.
“Ha-ha-ha. Lucu sekali Bapak ini,” ejekku, mengembalikan leluconnya dengan pura-pura tidak antusias.
Harris mengambil tissu dan membersihkan tangannya. Dia kemudian meraih tas yang tergeletak di atas meja di sampingnya. “Selamat satu tahun, ya, Sayang. Makasih, ya, kamu udah temanin aku dengan ikhlas selama satu tahun terakhir ini. Aku pasti nyusahin banget, kan?” Dia menggeser sebuah kotak kecil ke arahku.
Oh, my dear life. Aku yang baru saja memasukkan potongan terakhir chicken burger ke dalam mulutku mulai tersedak. Cepat-cepat kuraih gelas berisi diet coke untuk membantu potongan makanan itu meluncur dengan mulus di kerongkongan. “A-ap-apa ini, Ris?” Aku menatapnya dengan mata yang terbuka lebar.
Lelakiku itu kembali memberikan senyumannya yang memabukkan. “Hadiah buat kamu sebagai tanda ungkapan rasa syukur aku atas keberadaan kamu. Aku cuma pengen kamu tahu apa arti kamu buat aku. Buka aja.”
Aku menatap Harris tepat di titik matanya. Aku mencari sesuatu di sana, entah sesuatu yang seperti apa, akan tetapi yang kutemukan hanyalah kesungguhan. Melihat keyakinan yang ada di sana, aku jadi melambung, seperti gelembung. Ringan. Melayang ke udara.
Kurasakan tubuhku mulai gemetar, akan tetapi jelas bukan getaran yang tidak enak. Sebaliknya, apa yang aku rasa sungguh menyenangkan e. Berkali-kali tatapanku beralih dari Harris dan kotak itu. Apa yang harus kulakukan? Ini bukan kali pertama Harris memberikanku sebuah hadiah, dia adalah laki-laki yang suka memberikan barang-barang sebagai tanda cintanya, akan tetapi entah kenapa dia selalu berhasil membuatku seperti anak kecil yang merasa girang setengah mati wetelah dibelikan permen lolipop oleh siapa pun.
Melihatku, Harris lagi-lagi tersenyum sambil meraih kotak itu.
Ah, senyum itu.
Ah, kotak itu.
"Aku bantu buka, ya."
Belum lagi aku sempat mengangguk, tutup daei kotak kecil itu kini sudah menganga. Terlihatlah sebuah benda kecil dari perak berbentuk lingkaran berpermata merah muda. Aku tetap bergeming.
Oh, my goodness.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments