Aku mengalihkan pandangan dari pria di hadapanku kepada gadis yang berdiri di sampingnya dengan hampa. Bukan pertanyaan yang aku harapkan, akan tetapi pernyataan, jawaban. Dan jelas sekali bukan dari gadis belia itu. Namun, entah kenapa aku masih bisa berpikir seperti ini. Biarlah menjawab dahulu, mungkin bisa memancing jawaban dari pertanyaanku sendiri di kemudian. Di kalakian kuulurkan tangan. “Aku Kayra Salim, Kayra. Aku pacarnya Harris.”
Bukannya menyambut uluran tanganku, gadis yang terlihat baru mengecap rasa menjadi seorang mahasiswa itu lantas menjawab dengan ... pongah. “Pacar? Bang Harris bilang dia gak punya pacar.”
Ada petir-kah di malam cerah berbintang ini? Atau aku tengah tersentrum aliran listrik bertegangan tinggi? Sedang terjun bebaskah aku dari sebuah gedung pencakar langit?
Aku betul-betul berharap demikian, akan tetapi tidak begitu kenyataannya. Kenyataan yang, jujur saja, tidak ingin aku hadapi.
Kupulangkan tatapanku pada Harris yang kini juga menantang pandanganku seraya mengerutkan dahi. Bukan karena bingung, akan tetapi lebih kepada merasa ... kesal. Lalu aku melihat ke arah gadis yang sama saja dongkolnya.
Ah ....
Sesaat kemudian aku sadar, sepertinya kehadiranku di sana memang tidak diharapkan oleh siapa pun, bahkan oleh orang yang sangat aku harapkan.
Pedih mulai menyelinap lebih dalam lagi. Kini tak hanya hati, tulang-belulang pun terasa ikut ngilu.
Kukumpulkan kesadaran yang beberapa detik lalu menjadi debu. Kuhimpun perasaan yang berdarah-darah. Kugabungkan lagi kekuatan yang sejenak tadi berada dalam titik terendah. Lalu, aku mendongak. “Oh? Kalau begitu, baiklah. Aku rasa semuanya sudah jelas. Harris, terima kasih banyak, ya.” Tak lupa kupasang senyum terbaikku, sebelum berbalik dan berlalu.
....
“Kakak, kenapa nanyain itu lagi, sih? Aku gak mau bahas, ah. Malas.”
Akhirnya aku dapat mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapkan karena aku tidak ingin mengulang adegan yang mengikuti kenangan itu. Aku tidak ingin mengingat bagaimana hancurnya aku setelahnya, sampai-sampai aku harus berhenti menyetir dan menepikan mobil di pinggir jalan sebab sedu dan sedan yang menguasai tubuh sehingga mengguncangnya dengan hebat. Aku tidak mau mengenang lagi betapa sepinya diriku saat itu. Meraung sendiri di dalam mobil dengan mulut yang kubekap erat agar dunia tidak bisa mengetahui ratapan hati ini. Aku tidak ingin ....
Banyak yang tidak ingin aku ingat, akan tetapi aku tidak pernah berhasil untuk melupakan semua itu.
Sudah menjadi kebiasaanku pada akhir-akhir ini memang, menghindari pertanyaan-pertanyaan yang akan memporak-porandakan perasaan sendiri. Dan sudah menjadi kebiasaan Kak Raya juga memang, bertanya soal hal-hal yang menyangkut perasaan. Kadang aku merasa apa yang dilakukannya serupa pemaksaan untuk curhat.
“Eits, kamu jangan salah sangka dulu. Aku bukannya mau bikin kamu galau lagi, lho. Aku mau ngajak move on malah. Masih banyak cowok, kan? Temannya Riko kan banyak tuh? Pilih aja salah satu. Gimana? Oke, ya?” Kemudian, kalimat-kalimatnya itu ditutup dengan gelak tawa yang terdengar tak berperasaan.
Bagiku.
Namun, aku juga sedang tidak terlalu ingin untuk mengkonfrontasi Kak Raya soal itu. Aku tidak ingin melakukan apa pun sekarang sebenarnya. “Iyaaaaaa,” ucapku tanpa perhatian sambil mengalihkan pandangan ke jendela yang ada di samping tempat duduk kami.
Apa susahnya cuma bilang iya, bukan?
****
Aku berlari-lari kecil menuju kumpulan beberapa wanita dewasa muda itu. Terlalu bersemangat untuk segera mendekap setelah sekian hari tak bertemu. Mereka-lah sahabat-sahabatku. Sosok yang sudah menemaniku hampir selama tiga tahun ini. Lulu, Anggre, Mimi, dan Wide. Lulu dan Anggre merupakan penduduk asli kota Padang. Hanya aku dan Mimi yang berasal dari luar kota dan menjadi anak kos di rumah yang sama. Meskipun memiliki jurusan yang berbeda-beda, secara ajaib kami bisa menjaga persahabatan yang terjalin sejak pertama kali kami bertemu di kegiatan orientasi mahasiswa yang diadakan oleh universitas.
Sebelumnya kami sudah membuat janji untuk bertemu di depan gerbang kampus. Hari ini akan kami habiskan dengan jalan-jalan seharian. Karena kesibukan yang menggunung untuk kelas masing-masing dan skripsiku—ya, mereka masih menyelesaikan mata kuliah mereka, kami jadi jarang sekali bertemu. Maka dari itu, wajar saja rasanya kalau aku lebih memilih jalan-jalan bersama mereka daripada mengurusi organisasi atau hal semacamnya. Dan, seperti sebelum-sebelumnya, kami menjadikan Bukittinggi sebagai kota pelarian. Orang-orang yang sudah jenuh dengan suasana Kota Padang yang panas dan sibuk mungkin akan setuju betul dengan kami.
****
....
Retak bumi kini kutempuh. Tatkala kekecewaan itu datang, semakin terasalah retakan itu merekah, sedikit lagi menenggelamkan asa. Apa yang harus aku lakukan?
“Aku menyayanginya, Sayang, maafkan aku.”
Aku hanya bisa diam saja, menatap mata pria di hadapanku, yang kucintai sepenuh isi dada.
“Sayang, aku mohon. Kamu ngomong, jangan diam aja. Aku jadi bingung kalau kamu diam terus kayak gini. Asal kamu tahu, aku juga masih sayang banget sama kamu. Aku tetap sayang kamu, Kay.”
Bumi yang retak itu kemudian bergetar dengan hebat. Menghancurkan asa dan rasa yang selama ini bersemayam di jiwa. Batinku seketika merintih, tak tahan akan perih.
Tanpa sepatah kata pun, aku berlalu (lagi).
....
****
“Kamu temenin aku belanja dulu, habis itu baru kita nongkrong. Oke?”
“Siap, laksanakan, Senior!”
Lagi. Hari ini terjadi seperti beberapa kesempatan sebelumnya, aku terjebak di dalam perangkap Kak Raya yang awalnya mengajak bertemu dengan alasan bosan, akan tetapi pada akhirnya dia mengaku, “Temenin aku belanja persiapan wisuda, ya?” Kalimatnya pun tidak lupa diakhiri oleh kekehan khas miliknya.
Jebakan macam apa ini?
Paling menyebalkan memang, menemani seorang wanita untuk berbelanja di saat kita tidak punya mentahan untuk dibelanjakan. Mentah yang kumaksudkan di sini adalah niat, ya, niat untuk ke luar dari kamar, niat untuk ke luar dari rumah. Dan itu yang sedang terjadi padaku. Kak Raya, yang notabene-nya juga wanita pasti mengetahui fakta ini, dan mungkin itulah sebabnya dia mengatur strategi untuk menjebakku seperti yang sudah dilakukan.
Duh. Sungguh menyebalkan. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Puas berlama-lama di satu toko, kami kemudian bergerak ke toko yang lain, dan yang lyang lain, lalu yang lain lagi hingga ... setelah tiga jam penjelajahan itu akhirnya selesai juga. Oh, terima kasih banyak, Tuhan.
“Terima kasih banget, ya, Dedek, kamu udah mau temenin Kakak seharian ini. Sepatu sama bajunya banyak yang lucu-lucu, kan, ya?" Dia kemudian terkekeh lagi. "Duh, haus. Capeknya juga baru kerasa. Kamu mau pesen apa? Aku yang traktir.”
Tiga kata terakhir, aku yang traktir. “Emang seharusnya Kakak yang traktir, kan?” Aku menyahut dengan setengah bercanda, akan tetapi lebih banyak seriusnya, sih. Dia yang seharusnya mentraktir karena dia sudah dengan sadar menjebakku ke dalam perangkap senioritas ini.
Huft.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments