Awalnya aku mengira sebuah yayasan akan dipenuhi oleh orang-orang paruh baya yang sangat paham urusan kemanusiaan karena usia. Namun, kenyataannya malah sedikit membuatku terkejut. Sebagian besar dari karyawan di sini adalah orang-orang muda, seusiaku rata-rata, bahkan ada yang masih remaja. Hanya Tante Meli, Pak Joko (Section Head of Senior Students, yang mengurusi anak putus sekolah usia SMA dan kuliah) serta Bu Sukma (Section Head of Charity Event, yang juga merupakan istri dari seorang pejabat daerah), yang bisa dikategorikan sebagai senior. Bendahara yayasan ini saja, seorang lulusan jurusan akuntansi dari universitas terkemuka di Jakarta, Mbak Yuni, baru berusia dua puluh sembilan tahun.
Sedangkan di tim Early, tim yang aku tempati sekarang, kami terdiri atas Mas Bambang yang merupakan Section Head, Mbak Eka dan Mas Rinto. Ketiganya merupakan lulusan Magister Pendidikan Anak Usia Dini yang pendidikannya dibiayai oleh yayasan. Dulunya mereka adalah anak asuh, akan tetapi Tante Meli melihat potensi yang ada di dalam diri mereka. Mereka lalu disekolahkan hingga tamat S2. Benar-benar sebuah hal yang patut untuk dicontoh. Semangat mereka untuk belajar, untuk memperbaiki diri agar bisa give back lebih banyak lagi pada anak-anak yang membutuhkan seperti mereka dulu.
Aku pasti bisa belajar banyak dari mereka. Aku harus bisa jadi seperti mereka juga.
Selesai briefing, sisa hari itu aku habiskan dengan berkenalan dan berdiskusi bersama tim. Mereka dengan senang hati menjelaskan semua hal yang perlu kuketahui, memberikanku banyak pengetahuan tentang yayasan dan kegiatan-kegiatan yang audah dilakukan. Luar biasa sekali Om Seno dan Tante Meli ini. Perusahaan mereka sudah melakukan banyak kontribusi dalam membantu dunia pendidikan di Indonesia.
****
4.35 PM
Sesampai di rumah, aku langsung menuju ke kamar untuk membersihkan diri lalu mengecek ponsel. Ada beberapa e-mail masuk, sebagian besar adalah e-mail dari Mbak Eka. Aku memintanya untuk mengirim file-file prioritas untuk kupelajari dengan segera. Selain itu, yang ada hanya spam dan segera kuhapus. Tidak ada lagi pemberitahuan pesan, aku langsung masuk ke laman Instagram untuk berekreasi sejenak.
Scroll. Scroll. Scroll.
Stop.
Sebuah unggahan dari akun Harrisky Ilham. Foto dia bersama Fani di hari kelulusannya.
Aw, sialan.
Perih. Aku masih merasakan perih itu. Masih saja.
Ayolah, Kayra. Kami sudah sejauh ini. Apakah kamu akan terus membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan dia menghantui setiap langkah kamu? Apakah kamu tidak ingin menjadi seperti orang-orang hebat yang tadi kamu temui di kantor? Menurut kamu, apakah mereka tipikal orang yang membiarkan perasaan mereka menghentikan langkah untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka, ha?
Cukup. Sudah cukup. Sudahi saja semuanya sekarang. Kamu sudah membuka lembaran baru hari ini. Ingat itu.
Baiklah. Aku tidak akan membiarkan hal kecil dan sungguh tidak signifikan ini menginterupsi semangatku. Aku menyentuh titik tiga yang ada di sudut foto yang diunggah oleh Harris di layar. Kusentuh pilihan berhenti mengikuti. Seketika saja foto itu menghilang dari beranda akunku. Kemudian, kuketik nama Bang Che di bagian pencarian. Kulakukan hal yang sama. Begitu juga dengan akun Twitter dan Facebook yang mereka punya.
Everything’s done.
I am done.
Aku kemudian masuk ke room group chat teletubbies.
Me : I’m done with everything
Me : I'm done
Me : It’s time to move on
Me : Fighting!
****
Time flies.
Time does fly ao fast when you're doing what you love or loving what you were doing.
Tiga bulan sudah aku di sini. Papa dan Mama sudah mengunjungiku dua kali. Aku mulai terbiasa dengan pekerjaan di yayasan. Semua anggota sangat bersikap mendukung dan membantuku menyesuaikan diri. Bahkan aku sudah diterima untuk melanjutkan program S2-ku di universitas yang sama dengan anggota timku.
Sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana.
Time is running really fast as you’re doing what you love or loving what you were doing.
Mengajar anak-anak jalanan, kunjungan ke sekolah yang membutuhkan bantuan atau sekedar berkumpul dan bermain bersama anak-anak di kawasan pinggiran kota benar-benar membuatku lupa waktu. Mengabdikan diri seperti ini sungguh terasa dan menjadi sebuah anugerah tersendiri. Melihat tawa mereka, menyaksikan sendiri bahagia yang terpancar dari sinar mata anak-anak itu, kesedihan saat kegiatan sudah selesai yang membuat kami selalu berjanji untuk kembali, benar-benar mengubah pandanganku terhadap dunia. Masih banyak orang di luar sana yang berjuang mati-matian hanya untuk bertahan hidup, sampai-sampai mereka lupa bagaimana cara untuk menikmatinya. Bahkan itu terjadi sejak mereka berusia dini. Akumerasa benar-benar tidak pandai bersyukur.
Ya Tuhan, maafkan aku.
Semua kegiatan yayasan dan perkuliahan menyempitkan ruang kosong di dalam pikiran. Aku hampir lupa dengan semua rasa yang ditinggalkan Harris dan Bang Che. Aku bahkan hampir lupa dengan siapa mereka dahulunya.
Hehe, enggak, deng. Namun, kurang lebih intinya adalah, aku sudah melihat hasil dari komitmen untuk move on-ku.
Beep.
Aku melihat notifikasi di layar ponsel. Ada sebuah e-mail masuk. Aku kemudian menyalakan Mac dan log-in ke akun surat elektronikku.
From : rayaraya89@gmail.com
To : salimnumber3@gmail.com
Subject : Penting!!!
Kak Raya. Kenapa dia harus mengirim e-mail padahal dia biasanya sering mengirimkan pesan dan chat padaku?
Sambil menggeleng, tak habis pikir dengan ke-random-an tindakannya, aku membuka surat itu.
Kay, aku sengaja kirim email ke kamu karena takut ganggu kalau seandainya aku langsung kirim pesan atau chat. Aku juga takut nelepon. Ada yang mau aku bilang sama kamu, tapi kamu janji gak bakal marah sama aku, ok? Diam berarti setuju ya.
Kay, kamu ingat gak waktu itu aku ngajak kamu ketemuan buat bahas Che dan kamu cerita semuanya sama aku? Maaf banget, Kay, maaf. Waktu itu aku rekam semua percakapan kita. Aku pengen semua orang tahu kebenarannya, aku pengen nama kamu bersih lagi. Jadi aku rencanain semuanya. Kita ketemuan.
Aku udah simpan lama rekaman itu, tapi belum berani kasih ke Riko. Aku menunggu waktu yang tepat. Aku pikir mereka akan stop ngomongin kamu setelah acara kelulusan. Tapi, sampai dua hari yang lalu, udah hampir tiga bulan setelah kita lulus, mereka masih aja bahas kamu. Dan Che enggak ngomong apa-apa soal itu. Jahat banget gak, sih? Karena enggak tahan, waktu itu aku langsung keluarin aja rekamannya. Aku ceritain soal pertemuan kita. Awalnya Che menolak, tapi dia pasrah pas teman-teman yang lain mulai maksa.
Mereka kaget setengah mati habis dengar rekaman itu, Kay. Mereka marah dan malu atas kelakuan Che. Mereka juga malu dan merasa bersalah banget sama kamu. Mereka mau minta maaf langsung, yah, Riko yang bilang sih, aku gak tahu kebenarannya gimana, tapi aku kasih tahu mereka kalau kamu udah di Jakarta. Makanya sekarang aku ngirim ini sekalian menyampaikan permintaan maaf dari teman-temannya Riki.
Kamu beneran enggak marah kan, Kay? Telepon aku setelah kamu baca ini, ya!
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments