Kugigit bibir yang mulai bergetar. Kubersihkan tenggorokan dari perasaan yang mencekat. Gak boleh nangis, Kay. Kamu gak boleh nangis. Kamu harus kuat. Kamu sudah melakukan usaha terbaik kamu untuk mempertahankan hubungan kalian. Kamu susah berusaha sebaik mungkin untuk membuat Harris bahagia. Hanya saja sekarang kebahagiaan Harris bukan ada di dalam genggaman kamu lagi. Kebahagiaan Harris bukan sama kamu lagi. Jadi, apa boleh buat. Tidak ada yang bisa kamu lakukan selain pergi. Lagi pula, kamu gak mau memaksa orang yang jelas sudah tidak menginginkan kamu lagi untuk tetap stay di samping kamu, kan? Makanya, jangan nangis. Udah, terima saja.
Monolog yang kulakukan dalam hatiku mengiringi langkah menuju mobil yang kuparkir di depan pagar rumah satu lantai itu. Aku berhasil menjaga keseimbangan langkah. Aku berhasil menguasai emosi. Bahkan sampai di dalam mobil pun, aku bisa menyalakan mesin dengan benar walau tanganku sedikit gemetar.
Namun, aku tidak menangis. Tidak setitik pun air mata ke luar dan menitik di pipi. Tidak sekali pun aku mencuri lihat ke arah belakang. Tidak. Aku betul-betul berhasil melalui ujian itu.
Ah. Andai saja dia tahu kalau sekarang aku kini bisa bersungguh-sungguh dengan ucapanku.
****
Kira-kira dua puluh menit kemudian aku sampai di kamarku. Meskipun berhasil menahan rasa di depan Harris, perjalanan kembali menuju ke kosan ternyata memberikan efek yang ... lain. Semakin jauh aku dari rumah yang sering sekali aku kunjungi selama dua tahun ini, semakin aneh rasa yang ada. Ketika aku sampai di kosan, ketika mobil yang kukendarai sudaj terparkir dengan baik di garasi, semuanya baru terasa buruk. Cepat-cepat saja aku masuk ke dalam kamarku yang terletak tak jauh dari sana.
Di balik pintu kamar, baru kurasakan mataku yang mulai mendung, dadaku mulai bergemuruh. Petir dan kilat silih berganti menyambar perasaan cinta ini. Sakit, sungguh sakit sekali, sehingga yang tersisa di dalam rasa hanyalah hampa. Tak ada lagi apa-apa, semua yang pernah kurasakan terhapus begitu saja.
Namun, satu yang bisa jadi berita baik di antara ribuan kejelekan dan rasa pedih ini adalah bahwa kini mataku terbuka, aku sudah tak dibutakan lagi oleh cinta. Ternyata selama ini semua yang kudapatkan palsu, perasaan lelaki itu hanya sesuatu yang semu. Hanya aku yang terlalu berharap pada manusia yang mungkin tak pernah menganggap. Hanya akulah manusia konyol yang berharap kepada anak manusia lainnya.
Di kalakian, cahaya terang di layar ponsel yang ada di atas meja mengembalikan aku kepada kenyataan. Dengan setengah sadar dan tidak berperasaan aku menjawab telepon itu.
“Ya?”
“Aku dan kamu bukan apa-apa lagi. Mulai sekarang anggap aja kita gak pernah kenal!” Suara di seberang sana menggelegar menembus speaker ponsel.
“Hm.” Sebuah gumaman saja sudah cukup, aku sudah pasrah. Apa yang harus aku katakan lagi? Memang dari tadi aku sudah memberi tahu hal yang kurang lebih sama kepada dia, bukan? Namun, belum lagi selesai, sambungan sudah terputus.
Ah, ah, ah. Ego yang dimiliki Harrisky Ilham tidak akan membiarkan orang lain untuk menjadi yang terakhir dalam berbicara. He has to be the one with the final say.
I am totally fine with that.
Kujauhkan ponsel itu dari telinga, kumatikan telepon genggamku. End. Selesai. Satu hal yang dulu begitu kuharap akan berakhir dengan baik kini telah kandas di tengah jalan.
Meskipun demikian, jika dirasa-rasakan lagi, anehnya aku merasa sangat ... lega. Entah kenapa dadaku ini menjadi sedikit lebih ... lapang. Sekonyong-konyongnya sebuah senyum melengkung di wajahku.
It’s a new beginning.
....
Apakah benar itu adalah awal yang baru bagiku?Apakah sudah saatnya bagiku untuk kembali jatuh cinta?
Apakah aku sudah siap?
Hm. Entahlah.
****
“Ih, kenapa sibuk banget, sih, sama hape?”
Kak Raya mencuri pandang ke arah layar ponselku. Aku yang merasa tidak perlu menyembunyikan apa-apa membiarkannya melihat apa yang ada di sana.
“Itu Che?” tanyanya lagi dengan lebih antusias.
Aku hanya mengangguk tak acuh.
Kami sedang berada di sebuah tempat pembuatan henna tattoo yang berada di lantai tiga The Plaza. Karena sedang stuck dengan bahan skripsi, di sinilah aku berharap akan mendapatkan inspirasi. Aku berharap berganti suasana dan memberikan time out pada otak dapat membuatnya lebih segaran sedikit. Sebelum kuperah lagi isinya di kemudian nanti.
Dan siapa tahu inspirasi itu berbentuk kunci nada G dengan sebuah tulisan kursif di bagian sampingnya. Setelah jadi, aku memotret dan menjadikan gambar kecil yang terletak di bawah pergelangan tanganku itu sebagai status di WhatsApp.
Tak berselang berapa lama, kurasakan ponselku berdentang. Beep. Beep. Beep.
Bang Budi : di mana letak Rock ‘n Roll-nya itu tato kalo tulisannya masih skripsi?
Jari-jemariku lantas melayang mengetik pesan balasan untuknya.
Me : I don’t know
Me : Just love it
Kututup kembali aplikasi pesan itu dan memfokuskan diri untuk melanjutkan kegiatan people watching yang kulakukan sembari menunggu tato Kak Raya selesai dibuat. Berbanding terbalik dengan kepunyaanku yang simpel dan kecil, Kak Raya memilih sebuah gambar bunga teratai yang besar dan rumit untuk digambar di lengan bagian atas tangannya.
By the way, komunikasi aku dan Bang Che—yang kontaknya kusimpan dengan nama aslinya tersebut—menjadi lebih banyak setelah aku menambahkannya ke dalam daftar kontakku waktu itu. Tidak hanya chat basa-basi biasa, dia juga mulai sering menandaiku dalam postingan atau komentarnya di sebuah postingan di media sosial. Hal ini cukup menghibur di waktu-waktu tertentu, akan tetapi di sebagian besar waktu yang lain, aku merasa sangat ... lelah.
Sudahlah, Kay, tidak ada salahnya bersikap sopan pada Bang Ch, kan? Jangan lupa. Dia adalah sahabatnya Bang Riko. Dan Bang Riko adalah pacar dari senior sekaligus orang yang sering menjadi teman jalan-jalanmu akhir-akhir ini. Aku mengingatkan diri sendiri.
Berlandaskan hal itu, maka aku tetap berusaha untuk menanggapinya walaupun dengan setengah hati. Beep. Beep. Beep. Sebuah chat masuk lagi ke ponselku.
Bang Budi : teman-teman pada nanyain ada apa di antara kita berdua. Aku harus jelasin apa ke mereka?
Dia mengakhiri pesan itu dengan emoji yang menyeringai memamerkan sederetan gigi.
Ya Tuha. Apa lagi ini? Lagi pula, apa yang perlu dipertanyakan, sih?
Bang Che, Bang Che. Hatiku menggerutu tak habis pikir melihat ulah cowok itu. Aku lantas mengetik balasan chat tersebut.
Me : Apa yang seharusnya terjadi pada dua orang yang hanya berbalas mention di medsos, Bang?
Me : apa yang memangnya sedang terjadi? Kita cuma saling tag di Twitter dan ig, kan?
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments