“Aku gak ngerti kenapa semuanya bisa jadi begini, Bang. Aku kira perhatian Abang sama kayak perhatian teman-teman aku yang lain. Sama kayak perhatian Kak Raya dan Bang Riko. Dan aku .... Aku juga gak mau mengartikan apa-apa. Aku gak mau membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya gak ada. Aku gak mengharapkan apa pun dari siapa pun, Bang.”
“Oh, ya?" Bang Che menyahut dengan berapi-api. Kursinya digeser sedikit ke belakang agar dia bisa mencondongkan tubuhnya ke depan. Aku segera mengelak, ikut memundurkan kursiku, karena dengan posisi yang begitu dia sudah melakukan invasi terhadap personal space yang kumiliki. "Enak banget kamu bilang kalau kamu gak mau mengharapkan apa-apa dari siapa-siapa. Apa lagi, ha? Dan sekarang kamu mau bilang kalau seharusnya aku juga enggak berharap terlalu banyak dari kamu, gitu? Iya? Dan kamu mau bilang kalau perhatian aku enggak ada artinya buat kamu? Gitu juga? Asal aku tahu, ya, semuanya aku lakuin khusus buat kamu, Kay. Biar aku bisa gantiin posisi Harris sialan bxrengsek pengkhianat itu di hati kamu!”
Oh, no, he is not! Dia tidak baru saja mengatakan hal seperti yang aku kira, bukan? Dia tidak baru saja mengatakan apa yang aku dengar, bukan? Darahku mulai menggelegak. Aku tahu apq yang diucapkannya adalah benar, bahwa Harris memanglah seorang bxjingan, dia memang sudah mengkhianati aku, akan tetapi bukan berarti orang lain bisa mengata-ngatai dia seenak jidat mereka di depanku! Meskipun aku sudah disakiti, entah kenapa aku masih merasa protektif terhadap lelaki itu. Namun, aku tidak menampakkan keberanganku di depan Bang Che. Bukan karena aku tidak berani, akan tetapi aku tahu hal itu tudak akan ada gunanya. Bang Che tetap akan melakukan dan mengatakan apa pun yang dia inginkan.
Kurang lebih sikapnya sama seperti yang ditunjukkan oleh Harris yang baru saja dia katakan sialan dan bxrengsek itu. Perhatianku dialihkan dari pikiran yang ada di dalam kepala dan perasaan yang sedang berkelebatan di hati kepada Bang Che oleh dengkusan yang dilakukannya. Aku tidak percaya dia baru saja mengeluarkan napas seperti seekor banteng yang sedang mengamuk.
Hm. Atau mungkin dia dan banteng itu ada kemiripan sekarang ini.
“Aku heran sama kamu, Kay," ucapnya lagi, abai dengan keadaan di sekeliling. Tak engah dengan tornado yang sedang terjadi di dalam diriku. "Emang apa ruginya, sih, kalau kamu terima aku jadi pacar kamu, ha? Aku pastiin kamu enggak bakal rugi apa-apa kalau kita pacaran. Aku juga punya segalanya, Kay. Kamu mau apa aja aku bisa kasih kok."
Engg, what? Barusan aku yakin dia bermaksud untuk flexing, akan tetapi kenapa jadinya malah bikin aku tambah hilang feeling sama dia, ya? Lagi pula enggak banget kalau mau pamer sama harta dari orang tua.
Sorry, Bang. You just lost the last bit of respect I have left for you.
"Aku bakal bikin kamu lebih bahagia daripada yang pernah dilakukan si Bxrengsek itu. Enggak susah pasti. Iya, kan? Nah, sekarang udah jelas apa yang harus kamu lakukan. Terima aku. Dan kamu tinggal bilang iya sama orang-orang yang nanya tentang kita. Iya, kita jadian. There. Done. Apa lagi? Seharusnya kamu berterima kasih sama aku atas semua yang udah aku lakuin buat kamu. Kamu seharusnya gak perlu mikir panjang lagi untuk terima aku sebagai pacar kamu.”
Yeah, right.
Not.
Aku mengangguk sekali, tersenyum dengan bibir tertutup, dan mengambil napas sebelum menimpali ucapan Bang Che yang sungguh panjang itu. “Oke. Jadi maksud Abang, Abang mau bilang kalau aku enggak setuju sama keinginan Abang ini, aku sama aja sama orang yang gak tahu terima kasih, gitu? Aku tinggal bilang iya sama cewek-cewek yang suka lirik-lirik dan bisik-bisikin aku itu? Iya apa, Bang? Iya, kalau aku cuma manfaatin Abang buat jadi pelarian aku aja? Iya, kalau aku godain Abang biar bisa move on dari cowok yang berkali-kali Abang katain bxrengsek itu? Iya, kalau aku murahan banget karena belum lama putus dari Harris aku udah pacaran lagi sama Abang? Iya, kalau sebenarnya yang jadi alasan putusnya kami itu adalah karena aku-nya yang kegatelan? Iya itu, Bang?” Aku tidak dapat mengendalikan diri lagi, nada bicaraku menjadi semakin dingin. Hati yang sebelumnya sudah berusaha aku jahit kini tercabik lagi. Meski bukan karena alasan yang sama, akan tetapi terasa lebih sakit sekarang. Rasanya bak benang jahit yang ada di luka yang belum kering direnggut paksa begitu saja, cabiknya kini semakin parah. Berdarah. Tak terperi pedihnya.
“Enggak, Kay! Bukan itu maksud aku! Maksud aku itu, aku sayang kamu.” Tidak, tidak, tidak. Aku tidak akan mengambil asi apa yang dia katakan. Aku hanya akan membiarkan kalimat-kalimat itu masuk ke telinga kanan dan ke luar di telinga kiri. Itu pun kalau kata-kata itu tidak berbalik arah duluan sebelum sampai di telingaku.
Aku sungguh tidak punya ide kenapa Bang Che masih saja ingin meluluhkan aku. Nadanya yang semula tinggi sudah melunak sekarang. Namun, sebaliknya. Hatiku yang telah membatu. Jelas sudah. Aku tidak ingin terjerembab ke dalam lubang yang sama dua kali. “Terima kasih banyak atas perhatian dan waktu Abang selama ini. Maaf aku enggak bisa jadi seperti yang Abang mau.” Setelah itu, tanpa ba bi bu, aku segera bangkit dari tempat duduk dan berlalu.
****
Aku sebenarnya ingin mengutip sedikit bahasa Ibnu Hazm El Andalusy dalam bukunya "Di Bawah Naungan Cinta" yang pernah aku baca. Namun, aku tidak terlalu ingat persis apa yang dituliskannya di sana. Jadi, aku akan mencoba menjelaskannya dengan kalimatku sendiri.
Pada bab pertama—kalau aku tidak salah, ya, beliau pernah membahas tentang hakikat dari sebuah hal yang paling disukai oleh manusi, yaitu cinta. Isinya kira-kira seperti ini; sesungguhnya cinta merupakan sesuatu perasaan yang bersemayam di dalam jiwa kita yang paling dalam. Perasaan yang ada karena datang begitu saja atau bisa jadi seseorang itu jatuh cinta karena sebuah “sebab”. Namun, cinta yang tumbuh dengan alasan ini biasanya tidak abadi. Cinta jenis ini akan melayang bersamaan dengan melayangnya “sebab” itu. Dapat dikatakan bahwa jika seseorang mencintai kita karena suatu “alasan tertentu”, cinta yang dia punya akan berpaling dari diri kita seiring dengan melayangnya “alasan tertentu” yang membuatnya jatuh cinta sejak awal itu.
Ingatanku akan hal ini membuat aku mengingat kembali perasaan yang aku punya untuk Harris ataupun sebaliknya. Apakah seperti ini perasaan Harris terhadapku? Apa dia mencintaiku hanya karena sebuah alasan? Apa sesungguhnya alasan itu? Apakah dia pernah benar-benar mencintaiku, mencintai aku yang apa adanya? Kalaupun tidak cinta, apakah dia pernah menyayangiku? Apakah dia pernah bersungguh-sungguh bahkan hanya untuk menyukaiku?
Banyak sekali pertanyaan yang akhirnya berkecamuk di dalam otak. Pertanyaan-pertanyaan yang aku tahu tidak pernah akan kutemui jawabannya, pertanyaan-pertanyaan yang ada di dunia ini hanya untuk menjadi itu; pertanyaan tanpa jawaban. Atau, apakah ada kesempatan bagi jawaban-jawaban itu untuk menjadi lebih jelas seiring dengan waktu yang "katanya" akan menyembuhkan lukaku berlalu?
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments