Oh. My. God.
Aku sempat ternganga selama beberapa detik setelah membaca surat itu. Apa yang sudah terjadi? Lenapa Kak Raya bersikap seperti ini?
Dan ... semuanya menjadi jelas. Kenapa sikap Kak Raya agak berubah padaku setelah pertemuan kami yang terakhir kali sebelum acara kelulusan. Dia menjadi terasa jauh dan sedikit enggan saat aku ajak untuk bertemu, tidak seperti biasanya. Aku memang mengaitkan perubahan itu dengan "keinginannya" untuk mempertahankan hubungan dengan Bang Riko dan menjaga keselarasan dengan teman-teman satu geng mereka. Hal itu membuat friendship break up kami terasa lebih mudah untuk diterima. Namun, sekarang ... setelah segala sesuatunya jelas. Setelah aku mengetahui alasan sebenarnya di balik perubahan Kak Raya, aku ... tidak tahu harus merasa bagaimana.
Di satu sisi, aku sangat berterima kasih atas apa yang telah dilakukan—meskipun aku akan tetap baik-baik saja jika dia tidak melakukan itu karena aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi pada kelompok mereka dan di sisi yang lain, jujur saja ada sedikit rasa ... kecewa di dalam hati ini. Karena begitu mudahnya bagi Kak Raya menanam jarak di antara kami tanpa penjelasan apa pun. Iya, iya, iya. Aku paham. Aku tahu dia akan lebih memilih kekasihnya daripada seorang junior yang tidak penting seperti aku. Namun, tetap saja kan.
Ah, sudahlah. Aku tidak mau berlarut-larut dalam masalah yang berhubungan dengan mereka lagi. Oleh sebab itu aku sekonyong-konyongnya langsung menghubungi nomor ponselnya.
Siapa yang menyangka kalau dia akan menjawab bahkan sebelum deringan pertama selesai, kan? “Kay!” Kak Raya terdengar sangat bersemangat di seberang sana.
“Kakak!” Aku menjawab dengan tak kalah semangat. Aku sengaja membuat diriku terdengar sama antusiasnya dengan Kak Raya. “Apa kabar?” Aku melanjutkan dengan melontarkan pertanyaan basa-basi biasa. Setelah mendengar nadanya saat menjawab telepon barusan, aku yakin dia dalam keadaan yang cukup prima.
“Enggak usah basa-basi, deh. Kamu udah baca e-mail aku? Pasti udah, kalau belum mana mungkin kamu nelepon aku.”
Kadang-kadang Raya Ramadhani ini memang terlalu berlebihan seperti makeup yang dipoleskan ke wajahnya. Mana mungkin neleponn aku? Dia yang sudah memutuskan tali silaturahmi kami. Dia sendiri yagng berhenti mengirim pesan dan meneleponku. Sebagai seorang yang lebih kecil, aku hanya bisa menuruti kemauan dia yang lebih besar. Padahal sebelum kerenggangan ini ada, aku akan langsung meneleponnya setelah membaca pesan "telepon aku sekarang!" dari cewek itu. “Udah, Kak, udah. Aku barusan baca e-mail dari Kakak. Kenapa aku harus telepon Kakak setelah baca semua itu?” Basa-basi lagi. Ya, pengen tahu lah, Kayra. Apa lagi?
“Aku pengen tahu tanggapan kamu lah, Kay. Jadi?”
Kaaaaan, aku bilang juga apa. Kak Raya tentu saja ingin menginterogasiku.
“Jadi apa, Kak? Itu bagus, kan? Sekarang mereka udah tahu kebenarannya. I have to thank you for it.”
“Terus, terus?” desak Kak Raya bahkan sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Yaaa, enggak ada terus-terusnya, Kak. Udah, itu aja. Lagi pula aku sekarang udah benar-benar move on dari mereka. Semuanya udah aku tinggalin di kota itu. Aku udah ikhlasin, Kak.” Apa yang aku katakan adalah hal sebenarnya. Enam bulan lebih aku di sini, dengan semua keluarga baru, pekerjaan dan kuliahku, aku sudah belajar cukup banyak untuk merelakan. Mengikhlaskan.
“Beneran?”
Kata-kata seperti ini, yang diikuti dengan tanda tanya setelahnya, mengisyaratkan si penanya masih “ragu” dengan jawaban yang diberikan oleh orang yang ditanyai. Sebenarnya aku ingin menjawab “come here and check it yourself” karena agak sedikit tersinggung dengan nada bicara Kak Raya, akan tetapi kuurungkan niatku itu. Entah apa maksud dari ucapannya, yang jelas aku memilih untuk ber-positive thinking saja. Mungkin dia hanya berusaha menunjukkan kepeduliannya kepadaku. Akhirnya aku meyakinkannya dengan menjawab, “Iya, Kakak, serius. I’m alright. Never feel better.”
Percakapan selesai pukul 10.46 PM. Untung saja besok hari Minggu jadi tidak ada jadwal kuliah pagi. Hanya kegiatan dengan anak-anak jalanan yang biasanya dimulai pada pukul sepuluh pagi. Aku segera bersiap untuk tidur.
Kak Raya sempat membagikan rencananya untuk mendirikan sebuah sanggar tari. Ide yang benar-benar bagus karena dia bisa ikut berkontribusi dalam melestarikan budaya lokal. Hal tersebut tak pelak memunculkan sebuah pertanyaan di dalam benakku; apa yang bisa kulakukan, ya?
Ting! Aha! Sebuah ide terbentuk. Di dalam film animasi, saat seperti itu akan terlihat layaknya sebuah bola lampu pijar yang tiba-tiba saja menyala. Setelah dipikir-pikir, ide yang baru saja tebersit itu lumayan bagus menurutku. Aku akan mengusulkannya kepada Tante Meli. Enggak sabar menunggu sampai hari Senin tiba.
****
Aku mengetuk pintu ruangan kerja Tante Meli. Sudah hari Senin, aku tidak sabar ingin mengetahui pendapat beliau tentang ide yang sudah kususun. “Masuk.” Aku mendengar Tante Meli menjawab dari dalam ruangan.
Aku masuk dan melangkah dengan semangat mendekati meja kerja besar yang terbuat dari kayu jati itu. Aku sekonyong-konyongnya langsung duduk tanpa menunggu dipersilakan.
“Ada apa, Kay? Kelihatannya kamu senang sekali.” Tante tersenyum melihat ekspresiku. Mungkin terlihat lucu karena aku mesem-mesem sendiri.
“Ng ... Tante, aku mau ngomong soal yayasan.” Percayalah, aku benar-benar sudah menata apa yang akan kukatakan kepada Tante Meli dengan sebaik mungkin. Namun, apalah daya semuanya buyar begitu aku sampai di depan yang bersangkutan. Aku tidak tahu harus mulai dari mana.
“Oh, ya? Ada apa? Bilang aja, Sayang.” Tante Meli kini memberikan perhatian penuh padaku. Beliau meletakkan pena dan membuka kacamata yang sebelumnya tertonggok di pangkal hidung mancungnya.
Langsung aja, Kayra. Enggak usah buang-buang waktu lagi. Aku menyokong diriku sendiri di dalam hati. Baiklah. “Gini, Tante. Semalam, setelah mengobrol dengan seorang teman, aku dapat ide soal yayasan. Maaf sebelumnya kalau aku terdengar lancang dan sok tahu, ya, Tan. Tapi ... gimana kalau kita bikin cabang yayasan di Sumatra Barat, kampung halaman kita?”
Tante Meli terdiam setelah mendengar ucapanku itu.
Aku menunggu sambil menggigit bibir.
Okaay. Aku semakin gugup ketika melihat wajah Tante Meli yang semakin serius. Kini dia memandangku dengan memicingkan matanya. “Kamu bisa baca pikiran Tante, ya?”
Aku benar-benar terkejut. Apa maksud Tante Meli?
“Tante sama Om sebenarnya udah punya rencana itu dari dulu, Ra, tapi belum terwujud karena belum ketemu orang yang rasanya pas buat ngerjain project ini dan bisa bertanggung jawab penuh di sana. Baru beberapa hari yang lalu kami mulai bahas ini lagi. Soalnya sekarang kan udah ada kamu, jadi Tante pikir prosesnya bakal lebih mudah. Kamu pasti punya banyak link dan tahu orang-orang yang bisa bantu di sana, kan?”
Aku tak menyangka usulanku akan seperti gayung bersambut begini. I am so excited! Aku mengangguk dengan penuh semangat. “Aku bisa hubungin beberapa teman, Tante. Mereka teman-teman di organisasi, jadi sudah agak terbiasa dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Mereka juga nanti akan bantu memperluas jaringan untuk keperluan yayasan. Aku coba bikin list persiapannya dulu, setelah itu baru aku kasih lihat ke Tante. Ya? Setelah itu bahannya bisa kita bahas bersama dulu sebelum dipresentasikan di hadapan para donatur.”
Muka Tante Meli terbelah dua oleh senyum yang merekah di bibirnya. “Kayaknya Om dan Tante enggak salah menilai kamu. Kamu benar-benar mirip papa kamu. Sekarang kamu udah tahu apa yang perlu kamu lakuin, silakan mulai diskusi sama tim, ya. Tante tunggu perkembangannya.”
Setelah keluar dari ruangan Tante Meli, aku langsung mengajak Mas Bambang, Mas Rinto, dan Mbak Eka untuk mendiskusikan apa saja yang dibutuhkan untuk persiapan project ini. Mereka juga senang mengetahuinya.
Tuhan, berilah kelancaran.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments