Pernah, dulu sekali, Harris bertanya kepadaku apa alasan aku bersamanya.
....
“Kay, kenapa kamu sayang sama aku?”
Aku masih ingat. Waktu itu aku dan Harris sedang menikmati angin sore hari di pinggir pantai, setelah aku menemaninya memperbaiki motor di satu bengkel langganan. Harris memang penggila motor karena dia dulu adalah salah satu pembalap road race yang diperhitungkan di kotanya. Sayang, saat mempersiapkan diri untuk mengikuti kejuaraan tingkat nasional, dia mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa. Pergelangan kaki kanannya patah yang juga membuat beberapa ligamen di sekitar daerah trauma menjadi rusak, kepalanya robek, luka lainnya di mana-mana. Butuh satu setengah tahun bagi Harris untuk memulihkan kondisi fisiknya. Namun, mimpi yang dia punya sedaei kecil untuk menjadi salah satu pembalap profesional pupus. Saat itu dia mengatakan bahwa dia kehilangan semangat hidupnya.
Aku memandangi lelakiku itu dengan tatapan heran. Baru kali ini dia bertanya hal seperti itu. Padahal kami sudah hampir satu tahun bersama. Di samping itu, belum pernah terpikirkan olehku kenapa, pada akhirnya, takdir mengizinkan kami untuk bisa bersama seperti saat ini. “Kenapa kamu nanya yang begituan, sih? Emangnya kalau sayang sama orang itu harus ada alasannya, ya?”
Harris tergelak. Lesung pipi yang hanya dimilikinya di pipi sebelah kiri pun menampakkan diri. Diacak-acaknya rambutku yang ada di puncak kepala. “Kamu itu kalau ditanya gak pernah langsung ngasih jawaban, ya. Selaluuu pakai acara nanya balik dulu.” Cowok itu di kalakian menyeruput es jeruk yang terletak di atas meja. “Enggak ada apa-apa, Sayang, aku cuma pengen tahu aja. Kalau dipikir-pikir, mungkin aku bukan cowok idaman kamu. Ya, kan?” Dia menggodaku dengan mencampurkan goyangan alis dan senyum lebar—yang lagi-lagi hadir dan belum pernah bisa kutolak pesonanya itu.
Kalau aku pikir-pikir, benar juga yang dipikirkan oleh Harris. Dunia kami berdua bisa dikatakan hampir seluruhnya berbeda, tak bersinggungan. Aku adalah seorang mahasiswa biasa yang kebetulan suka berorganisasi, tidak terlalu banyak bergaul. Tipikal yang tertutup. Terbukti dengan jumlah teman-teman yang kumiliki. Selain orang-orang yang mengenalku melalui organisasi, aku hanya punya lima orang teman dekat selama kuliah. Itupun awalnya karena kami memang satu kelas, yang berlanjut menjadi teman satu kosan.
Sementara Harris, setelah menyelesaikan pengobatan dan terapinya, dia mulai mencoba membangun mimpi lain untuk menghiasi kehidupannya lagi. Kali ini dia memilih untuk menjadi seorang akuntan. Oleh karena itu dia masuk jurusan Akuntansi di Fakultas Ekonomi di universitas yang sama denganku. Dengan perawakan yang tampan—tinggi seratus delapan puluh sentimeter, kulit putih bersih dan rapi, hobi bermotor yang dia punya, serta keluwesannya dalam berteman, seorang gadis sepertiku mungkin akan berada dalam ujung antrian untuk mendapatkan hati seorang pemuda seperti dia. Itupun kalau aku ingin bersusah-susah mengantre, ya.
Setelah dipikir-pikir lagi aku rasa aku tidak akan mengikuti antrean itu dengan sukarela.
Suatu hari, saat kelas kami mengadakan sebuah acara, salah seorang temanku, Mina, menumpang dengan mobilku untuk kembali ke kampus. Dia memberi tahu bahwa kakak sepupunya akan menjemput di sana dan mengantarkannya membali ke kosan. Walaupun sudah dipaksa dan diyakinkan bahwa mengantar dia langsung ke kosan pun bukan hal yang merepotkan, akan tetapi Mina tetap saja menolak. Yaa, begitulah. Jadi aku menunggu bersama Mina sampai kakak sepupu yang dimaksudkannya datang untuk menjemput.
Setelah hampir empat puluh menit, di sanalah Harris dengan segala ke-glory-annya. City car yang dicat dengan warna hitam monokrom, ponsel menutup sebelah telinga. Setelah melihat kami—atau Mina, dia memasukkan ponsel ke dalam saku dan menghampiri. Mina kemudian memperkenalkan kami. Semenjak saat itu, Mina sering main bersama kami berlima dan selalu pulang dijemput oleh Harris.
Awalnya benar-benar tidak ada apa-apa antara aku dan Harris sampai Mina mengatakan bahwa Harris ingin bertemu denganku. Tak kuindahkan perkataannya itu dengan mengibaskan tangan sembari bergumam tidak jelas. Aku benar-benar tidak ingat apa yang telah kukatakan padanya saat itu. Namun, yang aku ingat sekali adalah apa yang aku rasakan waktu itu. Tidak ada. Aku tidak merasakan perasaan yang khusus sama sekali.
Beberapa waktu kemudian kami tengah mengikuti acara fakultas. Aku sebagai ketua kelas mau tidak mau bertindak sebagai relawan untuk menggenapkan anggota tim basket dari jurusan kami. Aku bukanlah seorang sosok yang atletis, bentuk olahraga yang kulakukan hanyalah berjalan kaki ke sana dan kemari. Namun, karena anggota tim kurang satu orang, jadilah aku seorang atlet basket untuk hari ini.
Keringat ke luar dengan deras dari tubuh tim, akan tetapi semua terbayarkan karena kami berhasil melaju ke babak final. Walaupun masih mahasiswa tingkat pertama, kami berhasil mengalahkan juara bertahan Fakultas selama tiga periode. Itu berarti kami mengalahkan anggota tim tingkat akhir. Wow!
Mimi, Lulu, Anggre, Wide, dan juga Mina menghampiriku di pinggir lapangan setelah pertandingan selesai.
“Aduh, Ketua Kelas, jago banget main basketnya," ujar Wide dengan semringah. Sahabatku yang lain juga mulai berebut memberikan selamat.
Aku hanya mengedikkan bahu. Dalam hati padahal aku merasakan senang yanh luar biasa. Sungguh aku masih tidak menyangka bahwa aku akan bermain dengan lumayan bagus tadi, mengingat aku tidak pernah mengikuti pertandingan olahraga apa pun sebelumnya.
"Semangatnya pasti langsung nambah pas tahu lagi dilihatin, yaa?”
Kalimat dan tawa Mina menangkap perhatianku. Dilihatin? "Maksudnya?" Aku bertanya setelah selesai menenggak air mineral yang ada di tangan.
“Noh.” Bibir Mina sengaja dimonyongkan ke satu titik di tribun penonton yang tak jauh dari kami. Aku serta-merta menengok ke arah yang sama. Dan ... di sanalah dia. Harris tengah duduk dengan mencolok di tengah-tengah cewek dan cowok yang hiruk karena pertandingan.
Mataku terpaku sebentar, titik mata bertemu dengan pandangan Harris. Dia kemudian tersenyum sambil melambai satu kali.
Dan. Aku. Pun. Bingung. “Kok Harris bisa ada di sini, sih, Na?” Aku mengembalikan fokusku kepada Mina. Gadis kecil—dan ini bukan soal umur, itu memandangku dengan tatapan yang dibuat lugu.
I know she is anything but in this case.
“Kan waktu itu kamu sendiri yang bilang kalau Harris boleh ke sini buat ketemu kamu. Sekarang katanya dia mau ngantar kamu pulang habis tanding.”
Engg, say what? “Kapan emangnya aku bilang gitu ke kamu?” Aku bertanya dengan setengah berbisik.
Entah sengaja atau tidak, dia tidak menjawab pertanyaanku itu dan malah tersenyum ke balik punggungku. Merasakan hawa yang sedikit asing, aku segera berbalik dan hampir jatuh karena terkejut. Harris ternyata sudah ada di sana. Sejak kapan? Apa dia mendengar apa yang aku bilang barusan?
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments