Di suatu waktu, Gibran diberi ijin pulang kampung oleh pak Gito. Sesampainya di kampung, seperti biasa Gibran melakukan rutinitas nya untuk mencari rumput. Pagi itu, Gibran sedang sibuk mencari rumput dipinggiran sungai sampai siang hari, dan siangnya terik panas membuat Gibran memilih untuk beristirahat sejenak di gunung yang tak jauh dari sungai. Saat Gibran duduk, tangannya terkena sesuatu yang tajam.
"Aw..." keluh Gibran, karena telapak tangannya terluka.
"Ya ampun, ini sabit siapa, ditaruh sembarangan di gubug, ngenain tanganku kan jadinya?" keluh Gibran lagi sambil terduduk menengok tangannya yang terluka.
"Sssss... lumayan sakit juga ternyata." gumam Gibran sendiri sambil mengelus telapak tangannya yang terluka.
Kemudian terdengar suara tawa cekikikan dari arah sungai. Gibran penasaran, lalu menoleh ke sungai dan melihat ada beberapa gadis sedang bermain air di sana, tetapi tidak mandi. Gibran terpesona pada sosok yang membelakangi nya, dengan rambut panjang itu. Gibran merasa, gadis itu tak asing baginya, tetapi dia berusaha mengingat-ingat.
"Tumben ada gadis mainan di sungai?" gumam Gibran sambil terus memperhatikan gadis-gadis itu dari kejauhan.
Hingga tak sadar, akan kedatangan Gendon yang menyusul Gibran.
"Ehem, Mas Gibran nih lagi ngintipin gadis mandi ya...Hayo ngaku..." tuduh Gendon sambil menunjuk Gibran.
"Enak aja, engga kok." jawab Gibran gugup karena ternyata ada orang yang memperhatikan nya.
"Ikutan dong mas." kata Gendon.
"Dasar mesum!" tukas Gibran.
Sepertinya empat gadis di sungai itu menyadari ada orang yang melihat mereka, sehingga mereka memutuskan untuk segera menyudahi permainan mereka di sungai.
"Eh, mas Gibran." sapa Tini yang memakai rok seluruh dan kaos yang ketat, membuat lekuk tubuhnya tampak seperti gitar spanyol.
"Eh, Tini." Gibran tergagap, karena sedari tadi Gibran tengah adu mulut dengan Gendon, hingga tak sadar kalau para gadis sudah berada di dekatnya.
"Lagi ngapain mas di sini?" tanya Tini.
"Ehm, anu...ini...lagi... istirahat, abis nyari rumput." jawab Gibran.
"Sambil ngintipin mbak-mbak..." seloroh Gendon.
"Enak aja. Engga Tin, beneran, aku tadi nyari rumput, terus istirahat di gubug ini, terus tanganku kena sabit ini, eh denger suara cekikikan kalian ketawa di sungai, aku pikir peri kaya diceritanya Joko Tingkir itu, eh, ternyata bukan. hehehehe." kata Gibran membela diri.
"Ya ampun, berarti tangan mas Gibran terluka?" tanya Tini khawatir sambil menyerbu tangan Gibran yang terluka.
"Ah, gapapa. Cuma luka kecil aja kok Tin." jawab Gibran santai. Tanpa disadarinya, ada seorang gadis cantik, yang sedari tadi memperhatikan Gibran dengan seksama dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Mas Gibran?" gumam gadis berambut panjang dengan diikat dan diletakkan di bahu sebelah kirinya, sambil tangannya mengelus rambutnya yang panjang.
Seketika Gibran mendongak, menatap gadis yang memanggil namanya. Gibran tersentak dengan wajah ayu yang tak asing baginya.
"Gadis ini kan...?" batin Gibran.
"Mas Gibran ini yang beberapa waktu lalu nolongin saya dari jambret di pasar kembang itu kan mas?" tanya Gadis itu.
"Oh, i-iya... kamu...Mayang kan?" tanya Gibran.
"Iya mas, saya Mayang." jawab Mayang.
"Oh, kamu kok ada disini?" tanya Gibran heran.
"Lah, harusnya saya yang tanya mas, kenapa mas Gibran ada di sini?" tanya Mayang.
"Lho. Gimana to ini? Ya wajar to kalau mas Gibran di sini May, mas Gibran kan memang asli orang sini." jawab Tini.
"Apa? Lhah, emang mas Gibran rumahnya mana?" tanya Mayang.
"Lhoh, emang Mayang rumahnya mana?" ganti Gibran yang bingung.
Dua teman Mayang dan Gendon tampak menahan tawa atas sikap kedua orang yang tampak aneh itu. Mereka bertetangga tetapi tidak sadar bahwa mereka itu tetangga.
"Lha gimana to mas Gibran, ini tu Mayang mas, adiknya mas Sutiyono itu lho, mas Suti. Anaknya mbok Tiyem, yang jualan bubur itu." kata Tini menjelaskan tentang Mayang.
"Dan kamu May, ini tu Mas Gibran, masnya Gendis, anaknya mbok Yati, yang jualan tape itu." kata Tini memperkenalkan.
"Owalah...." jawab Gibran dan Mayang bersamaan sambil tertawa.
"Cie...barengan..." goda Gendon.
"Wah, jangan-jangan kalian berjodoh lagi." goda salah seorang teman Mayang.
"Ish, apaan sih kamu Sih? Ngaco deh." kata Mayang menahan malu.
"Eh, iya. Ini punya siapa? Tadi ngenain tanganku." kata Gibran sambil memegang sabit di dipan gubug itu.
"Oh, ini punya..." belum selesai Tini menjawab, Gibran memotong perkatanya.
"Sepertinya pemilik sabit ini bakal jadi jodohku deh." kata Gibran menggoda.
"Ah....ya...bisa jadi tuh... Ini sabit punya Mayang. Iya kan May?" tanya Tini sambil memberikan sabit yang dibawa Mayang dari rumah untuk mencari daun pisang.
"Eh, ehm.. i-iya." jawab Mayang sungkan sambil menerima sabit yang dia letakkan di dipan gubug itu.
"Oh, jadi ini milikmu?" tanya Gibran.
"Iya mas. Maaf ya dah bikin tangan mas Gibran terluka." kata Mayang tidak enak hati.
"Iya, santai aja. Cuma luka kecil aja. Apalagi udah dapet senyuman dari gadis si empunya sabit udah langsung sembuh ini lukaku." kata Gibran menggombal.
"Idih...mas Gibran nih, diam-diam pinter ngegombal juga ya. Baru tau aku." kata Tini yang kemudian mendapat surakan dari teman-temannya.
"Iya nih, selain diem, pinter ngegoda, ganteng juga... Mau dong mas, Tini di godain juga." canda Tini.
"Yah, bisa kena golok nya mas Sapto aku nanti kalo godain kamu Tin." jawab Gibran.
"Hahahah." tawa teman-teman Tini dan Gendon membuat suasana pematang sawah itu menjadi riuh.
"Oh ya, kita langsung pulang yuk, keburu di cariin. Itu daunnya pasti juga udah mulai alum." kata Mayang.
"Oh, iya iya. Yuk." jawab Tini.
Para Gadis langsung memunguti daun pisang yang mereka jemur, agar tidak mudah sobek nantinya, sekalian mengajak Mayang bernostalgia di sungai, hingga Mayang lupa meletakkan sabitnya dengan benar dan akhirnya membuat terluka tangan Gibran.
"Aku bantuin ya." tawar Gibran pada Mayang.
"Eh, ya. Boleh mas." jawab Mayang malu.
Setelah selesai, Gibran menawarkan diri untuk menemani para gadis itu pulang, sekaligus membawakan daun pisang yang dicari para anak gadis itu. Sedangkan Gendon membantu Gibran membawakan rumput.
Sesampainya di rumah Mayang, Daun pisang itu di terima mbok Tiyem dengan suka cita.
"Duh Gusti, terimakasih sekali ya mas sudah dibawakan daunnya." kata mbok Tiyem.
"Ya mbok, sama-sama." jawab Gibran.
"Mas ini, siapa ya? Kok saya pangling?" tanya mbok Tiyem.
"Dia ini mas Gibran mbok, anaknya mbok Yati." jawab Tini sambil memegang pundak Gibran.
"Owalah...mas Gibran to? Yang katanya pergi ke Jakarta itu?" tanya mbok Tiyem.
"Iya mbok." jawab Gibran.
"Walah, lha kok ganteng bener ini anaknya mbok Yati. Bener kata orang-orang berarti ya, anaknya mbok Yati menjelma jadi pangeran tampan." puji mbok Tiyem. Dan ternyata Mayang sedari tadi tidak tampak, karena Mayang membuatkan teh hangat untuk Gibran dan teman barunya yang membawakan daun pisang milik ibunya.
"Ini mas, diminum dulu." Kata Mayang.
"Oh, ya Terimakasih." jawab Gibran.
Setelah dirasa cukup, Gibran sedari tadi ditawari pak Wiro untuk merokok juga, tetapi Gibran menolaknya, lalu Gibranpun berpamitan pulang bersama Gendon.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments