Rencana Gendis

Malam itu, Gendis masih mengurung diri di kamarnya, dengan melamun. Karena kamar Gendis bukan layaknya kamar orang-orang kaya dengan pintu yang memiliki kunci, kamar Gendis hanya sederhana dengan gorden sebagai penutup kamarnya. Mengetahui Gendis tidak keluar kamar sejak sore tadi, Gibran curiga, dan memastikan adiknya baik-baik saja.

"Ehem, Ndis." sapa Gibran di mulut pintu.

"Eh, mas Gibran. Ada apa mas?" tanya Gendis berusaha senetral mungkin, agar kakaknya tidak curiga.

"Kamu kenapa? kok ga keluar kamar? Sepertinya kamu juga belum makan kan Ndis?" tanya Gibran yang sudah duduk di tepi ranjang Gendis yang berukuran 200x 120 centimeter.

"Gapapa mas. Cuma lagi capek aja, abis mikir berat, abis ujian." jawab Gendis.

"Kamu ga lagi sakit kan?" tanya Gibran.

"Engga mas." jawab Gendis.

"Nanti malam mas masih harus ke rumah Tini, untuk belajar membaca dan menulis, dan tadi, bapak juga sudah diobati sama psikiater. Besok pagi, mas harus kembali ke Jakarta lagi." kata Gibran.

"Mas Gibran mau berangkat lagi?" tanya Gen dia dengan wajah sedih.

"Iya Ndis." jawab Gibran.

"Yah, mau gimana lagi Ndis, tadi mas udah di bilangin sama mbak Sekar, supaya mas segera balik ke Jakarta." jawab Gibran.

"Oh...gitu ya?" gumam Gendis sambil menunduk lesu.

"Kenapa emangnya? Kamu masih kangen sama mas?" tanya Gibran dengan tersenyum.

Gendis mengangguk. Lalu memeluk Gibran dengan kuat. Gendis ingin menangis, ingin rasanya dia ceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya, tetapi dia takut. Gendis sangat takut, jika mas nya akan marah besar kepadanya dan tidak mau menganggapnya adik lagi. Sehingga Gendis memilih untuk tetap diam, dan menyimpan semua masalahnya seorang diri.

"Oya, sepedamu mana? Kamu tadi pulang sekolah sama siapa?" tanya Gibran.

"Oh, iya. Lupa. Sepedaku ada dirumah temen mas, tadi Aku dianter temen." kata Gendis.

"Oh...ya udah. Segeralah istirahat ya. Eh, makan dulu aja. Nanti kamu laper, dari tadi kamu belum makan kan?" tanya Gibran.

"Iya mas. Nanti gampang."

"Okey. Mas siap-siap dulu ya." kata Gibran.

"Ya mas."

Gibranpun pergi ke rumah Tini untuk belajar membaca dan menulis bersama pak Lukas. Dan keesokan harinya, Gibran pamit kembali ke Jakarta dengan diantar temannya ke Stasiun.

💕💕💕

Sudah satu minggu Gibran di Jakarta, dan Gendis menyembunyikan keadaannya yang sesungguhnya. Gendis benar-benar bingung harus apa. Kemudian Gendis mencari informasi, agar dia bisa menggugurkan kandungannya. Dia tidak bisa membesarkan janin nya, diusianya yang masih sangat muda. Sedangkan dia belum menikah, dan pastinya itu akan membuat aib keluarga. Gendis tidak ingin hal itu terjadi, akhirnya dengan tabungan seadanya, Gendis membeli beberapa cara yang bisa menggugurkan kandungan saat pulang sekolah. Mulai dari Korset, stagen, minuman bersoda, dan beberapa obat yang bisa untuk menggugurkan kandungan.

Satu minggu sudah Gendis lewati dengan frustasi, untuk mencoba menggugurkan kandungannya, tetapi hanya bercak darah yang keluar, dan flek-flek merah. Badan Gendis semakin tak karuan rasanya, karena efek dari semua itu. Hingga di minggu kedua setelah mengetahui bahwa dirinya hamil, tepatnya usia kandungannya sudah memasuki tujuh minggu, Gendis benar-benar putus asa, dia frustasi. Dan akhirnya dia melihat obat semprot rumput, yang biasa di pakai bapaknya menyemprot di sawah, dia ambil dari tempatnya di teras belakang rumah.

Gendis membawa botol obat itu, dan dia bawa ke kamarnya, Gendis langsung menjalankan aksinya. Dia mulai meminum obat itu dengan penuh rasa takut dan bersalah. Yang ada dalam pikirannya, hanyalah bagaimana keluarganya supaya tidak tau bahwa dia sedang hamil. Tetapi dia tau, bahwa ini akan berakibat fatal pada nyawanya. Namun tekadnya untuk bunuh diri sudah bulat, dia sudah menuliskan surat permohonan maaf pada bapak ibu dan mas nya.

"Aku minta maaf, tapi aku harus melakukan ini. Kamu dan aku harus pergi, bukannya aku tak sayang kamu, tapi aku ga mau keluargaku kenapa-napa karena aku. Maafin aku ya. Kita pergi sama-sama aja kalau kamu ga mau pergi sendiri." kata Gendis dengan terus menangis sambil memegang botol berisi obat rumput itu.

Seketika setelah meminum cairan obat itu, Mulut Gen dia berbusa, Gendis mulai tak sadarkan diri di kamarnya, dengan posisi ngelesot di bawah dipannya.

Tidak ada yang mengetahui keadaan Gendis, karena pak Parto sudah mulai beraktivitas. Namun, saat tiba di rumah, Pak Parto melihat sepeda Gendis sudah terparkir di teras, tetapi rumahnya sepi.

"Nduk... Ndis..." panggil pak Parto.

"Gendis, kamu dimana nduk, bapak bawa ikan lele besar ini nduk..." pak Parto mulai mencari Gendis, hingga saat membuka gorden kamarnya, Pak Parto Melihat Gendis sudah tak sadarkan diri dengan mulut berbusa, dan sebuah botol tergeletak di dekat tubuhnya yang sudah Mulai dingin.

"Nduk, Gendis...Gendis!" pekik pak Parto yang sudah mulai menangis sambil memangku tubuh putrinya yang tak sadarkan diri.

Tanpa pikir panjang, pak Partopun mencari pertolongan di luar rumah. Tampak Sutris, seorang ketua pemuda sedang lewat dengan mengendarai motor soghun keluaran lama, langsung dipanggil pak Parto.

"Mas, mas Sutri, tolong...tolongin anak saya. Gendis. Gendis mas." kata pak Parto panik.

"Gendis kenapa pak?" tanya Sutris terkejut.

"Itu mas, ayo mas. Tolongin Gendis." pak Parto menarik tangan Sutris menuju rumahnya, dan Sutris melihat Gendis yang mulutnya sudah penuh dengan busa, lalu Sutris mengecek nadi tangannya, dan lehernya. Masih ada harapan, batinnya.

"Gendis masih hidup pak, kita bawa Gendis ke rumah sakit sekarang, biar cepet dapet pertolongan." kata Sutris yang langsung menggendong tubuh Gendis. Karena pak Parto yang bertubuh kecil dan sudah tua, tak kuat lagi menggendong Gendis, apalagi dalam keadaan tak sadarkan diri.

Sutris langsung membawa Gendis ke rumah sakit, dengan motor Shogunnya, dengan diampit pak Parto. Sesampainya di IGD, Gendis yang masih ada cetakan jadinya, namun sangat lemah, langsung ditangani dokter.

Sutris dan Pak Parto menunggu diluar sambil mengisi formulir pendaftaran.

"Semoga Gendis baik-baik saja ya pak." kata Sutris.

"Iya mas. Semoga saja. Saya juga ga tau tadi mas, perasaan saya ga enak, makannya pulang dari kali, saya langsung nyariin Gendis." kata pak Parto sambil menangis.

"Ini, saya kabari mas Gibran gitu gimana pak?" tanya Sutris.

"Iya mas, gapapa. Mas Sutris punya nomernya Gibran?" tanya pak Parto.

"Tidak pak, tapi saya punya teman yang kerja di Jakarta, dekat dengan Gibran. Biar nanti Gibran dikabari pak." kata Sutris sambil memainkan ponselnya.

"Oh, ya mas." jawab pak Parto.

Cukup lama penanganan Gendis, hingga akhirnya dokter keluar dari ruang penanganan Gendis.

"Pak Dokter, bagaimana keadaan anak saya?" tanya pak Parto penuh dengan rasa cemas.

💕💕💕

Sampe sini dulu ya ceritanya dears😘, maaf author telat up nya...

nggantung ya ceritanya? Gapapa deh, biar penasaran. Gimana keadaan Gendis? Apakah Gendis meninggal? Kita ikuti cerita berikutnya ya dears😉😍😘

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!