Sosok Seorang Gibran

Sore itu Gibran sudah menyelesaikan tugasnya, dan diapun berkemas untuk pulang setelah mendapat upah dari sang pemilik acara. Gibran memasukkan beberapa lembar uang upah milik bapaknya ke dalam saku celananya, dan dia juga membawa beberapa makanan dan bahan pokok yang diberikan pemilik acara untuk oleh-oleh keluarganya di rumah.

"Terimakasih banyak ya mas Gibran, sudah membantu kami. Wah, kami ga tau deh kalau ga ada mas Gibran tadi, kami harus nyari tukang cuci piring ke mana lagi." kata sang tuan rumah.

"Iya pak, sama-sama." jawab Gibran santun.

"Saya bangga sama anda mas Gibran, masih muda tapi sangat peduli dengan orangtuanya. Salam buat bapak ibu di rumah ya mas." kata tuan rumah.

"Ya pak. Nanti saya sampaikan. Kalau begitu, saya permisi dulu pak." kata Gibran.

Lalu Gibranpun pulang ke rumahnya dengan mengendarai sepeda tuanya. Namun, saat sampai di jalan persawahan yang sepi, Gibran tiba-tiba di hadang oleh segerombolan pemuda yang tak asing bagi Gibran. Siapa lagi kalau bukan musuh bebuyutannya, dibawah kepemimpinan anak juragan Sapi, Dikto.

"Berhenti!" kata seorang anak buah Dikto mengentikan Gibran.

Gibran tanpa kata pun berhenti sesuai permintaan si Panjul, anak buat Dikto.

"Kamu, udah bikin aku malu di depan umum." hardis Dikto sambil menunjuk Gibran dengan penuh kebencian.

"Apa maumu?" tanya Gibran santai.

"Menghabisimu!" kata Dikto penuh Amarah.

Sebuah pukulan hampir mendarat di wajah Gibran dari tangan Dikto, namun dengan gesitnya, tangan Gibran menangkis tangan Dikto. Kemudian Gibran di keroyok anak buah Dikto, bugh bugh, baku hantam tiga lawan satu tak bisa dielakkan. Gibran terus membalas pukulan demi pulukan dari anak buah Dikto, hingga akhirnya Dikto berbuat curang dengan membawa sebuah botol minuman keras, di pukulan di tengkuk Gibran, hingga akhirnya Gibran tersungkur.

Brugh...

Disaat yang sama, ada seorang bapak-bapak yang melihat kejadian itu, langsung meneriaki mereka untuk menghentikan aksi mereka, namun terlambat. Dikto dan kedua anak buahnya segera pergi meninggalkan Gibran yang tersungkur menahan sakit.

"Mas, kamu baik-baik saja?" tanya seorang bapak-bapak itu berlari ke arah Gibran dan membantu Gibran untuk berdiri.

"Iya pak, saya baik-baik saja. Terimakasih pak, sudah menolong saya." kata Gibran santun.

"Saya antar pulang mas." tawar bapak itu.

"Tidak perlu pak, terimakasih. Saya bisa sendiri." kata Gibran sambil berjalan sempoyongan.

"Mas yakin bisa sendiri?" tanya si bapak.

"Iya pak."

"Terimakasih bapak sudah menolong saya." kata Gibran.

"Siapa namamu mas?" tanya si bapak.

"Gibran pak." jawab Gibran.

"Lain kali hati-hati ya mas Gibran. Adu otot satu banding tiga itu tidak mudah. Apalagi mereka membawa senjata." kata si bapak.

"Ya pak." jawab Gibran.

"Saya Gito." kata si bapak memperkenalkan diri.

"Oh, ya pak."

"Ehm, mas Gibran tau rumahnya pak Carik?" tanya Pak Gito.

"Maksud bapak, carik Joyo?" tanya Gibran.

"Iya. Sekdes desa ini."

"Tau pak. Bapak mau ke sana?" tanya Gibran.

"Iya mas. Tapi saya lupa-lupa ingat. Karena sudah lama tidak berkunjung ke sana" kata pak Gito.

"Baik pak, mari saya antarkan." kata Gibran ramah.

Gibran pun menaiki sepedanya, sedangkan pak Gito menaiki motor legend nya. Sesampainya di rumah pak Joyo, Gibran langsung pamit pulang.

"Terimakasih banyak ya mas Gibran." kata pak Gito.

"Sama-sama pak. Maaf, saya harus segera pulang, khawatir kalau ibu saya mencemaskan saya." kata Gibran.

"Baik mas. Terimakasih ya sekali lagi."

Gibran pun segera pergi dari rumah pak Joyo, sedangkan pak Gito menatap punggung Gibran dengan kebanggaan tersendiri.

"Wo...Mas Gito udah sampe sini to?" sapa pak Joyo.

"Eh, iya mas." jawab pak Gito.

"Sama siapa mas? Sendirian aja?" tanya pak Joyo.

"Dari rumah sih sendiri, tapi tadi saya minta tolong sama mas-mas warga sini, katanya sih rumahnya ga jauh dari sini." kata Pak Gito.

"Oh...ya ya. Aku pikir kamu bakal nyasar." kata pak Joyo.

"Ya kalau ga ada mas nya tadi, ya mungkin aku bakal nyasar mas." kata Gito.

"Ya wis, ayo duduk."

"Nduk, Sekar." panggil pak Joyo pada putrinya

"Ya pak?" jawab Sekar yang sudah berdiri di dekat bapaknya.

"Tolong buatkan kopi panas buat pak Gito ya nduk." pinta pak Joyo.

"Baik pak." jawab Sekar.

"Anakmu sudah gadis ya mas." kata Gito.

"Iya, sudah. Sekar sekarang memang sudah masuk SMA." kata Pak Joyo.

"Oh ya, pantesan."

"Lha anakmu, bukannya juga sudah besar mas?" tanya pak Joyo.

"Ya, begitulah." jawab pak Gito.

"Sampe sekarang, cuma bikin bapaknya pusing saja." keluh pak Gito.

"Sabar."

"Saya tu malah terkesan sama pemuda yang mengantar saya tadi lho mas." kata Pak Gito.

"Siapa?"

"Namanya Gibran." saat pak Gito menyebut nama Gibran, Sekar keluar dengan membawa dua cangkir kopi panas untuk pak Gito dan pak Joyo.

"Gibran?" tanya Sekar.

"Iya nduk, kamu mengenalnya?" tanya pak Gito.

"Dia teman Sekar paklik."

"Gibran, siapa to nduk?" tanya pak Joyo.

"Lhah, kamu ga kenal? Katanya dia juga tinggal di daerah sini." kata pak Gito.

Pak Joyo menggeleng.

"Mas Gibran itu tidak tinggal di sini paklik. Dia itu warga kampung sebelah." kata Sekar.

"Oh, pantesan, aku ga kenal." kata pak Joyo.

"Iya. Bapak kan kenal nya cuma sama anak-anaknya para juragan dan anak-anaknya para tokoh masyarakat. Kalau mas Gibran ini, seorang pemuda dari keluarga rakyat biasa." jawab Sekar.

"Sekar mengenalnya? Tau rumahnya?" tanya pak Gito.

"Sekar ga terlalu deket sih paklik sama dia. Tapi Sekar sedikit banyak tau kepribadiannya dan tau rumahnya." jawab Sekar.

"Dia orangnya pendiam paklik, cerdas, dan dia itu sangat menghormati orang yang lebih tua. Bahasanya santun, dan satu hal lagi yang paklik pasti kagum sama dia." kata Sekar.

"Apa nduk?"

"Mas Gibran itu bukan tipe laki-laki yang suka minum minuman keras paklik, dia juga tidak suka merokok. Orangnya kalem banget." kata Sekar berbicara penuh kekaguman.

"Wah, sepertinya nduk Sekar ini tau banyak tentang mas Gibran. Jangan-jangan..." tebak pak Gito.

"Yo jangan." lanjut pak Joyo.

"Kalau kamu naksir sama dia, bapak ga akan setujui." kata pak Joyo.

"Lhoh, kenapa mas?" tanya Gito heran.

"Mereka tidak se kasta. Kasta mereka beda jauh. Itu anak yang kamu maksud, anaknya mbok Yati, tukang tape itu kan? Anak orang miskin yang tadi bapaknya ngamuk-ngamuk di hajatan?" tebak pak Joyo.

"Lhoh, apa iya itu mas?"

"Bapak kalau menilai seseorang jangan dari latar belakang orangtuanya dong." protes Sekar.

"Ndak usah banyak bicara, sudah sana. Kamu masuk. Lanjutkan kegiatanmu." perintah pak Joyo pada putrinya.

Sekarpun menurut dan masuk ke dalam rumah dengan muka manyun dan tak suka dengan perlakuan bapaknya.

Disisi lain, pak Gito justru semakin penasaran dengan sosok Gibran, pemuda yang dimaksud Sekar. Kapan waktu, Pak Gito ingin mengajak pemuda itu ngobrol banyak. Siapa tau bisa untuk membantunya menyelesaikan masalahnya. Begitu pikir pak Gito.

Terpopuler

Comments

Dede Dewi

Dede Dewi

tentunya

2023-03-29

0

Herry Murniasih

Herry Murniasih

sosok Gibran seorang anak yang patuh dan hormat pada orang tua, mungkin karena itu dia jadi perhatian gadis2 desa, tapi banyak juga yang gak suka. semangat Gibran

2023-03-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!