Saat akan tiba di Stasiun Gambir, Lia mengajak Gibran untuk bersiap-siap turun dari kereta, begitupun dengan bu Heni yang juga sudah terjaga sejak tadi.
"Mas Gibran, bisa minta tolong ambilin tas saya?" tanya bun Heni.
"Oh, iya bu Bisa." jawab Gibran ramah.
Lalu setelah mengambilkan tas milik bu Heni, Gibran yang merasa mendapat ilmu baru dari gadis cantik bernama Lia, ingin memberikan kenang-kenangan untuk Lia
"Mbak Lia masih kuliah kan ya, ini mbak, buat mbak Lia. Anggap saja ini ucapan terimakasih saya karena mbak Lia sudah mengajari saya mengenal huruf." kata Gibran sambil menyerahkan botol minum unik yang tadi sempat ditanyakan Lia karena bentuknya yang unik.
"Eh, ga usah mas. Ga usah repot-repot. Tadi itu saya cuma tanya aja kok." kata Lia.
"Gapapa mbak, tolong diterima ya." pinta Gibran setengah memaksa.
"Baiklah mas. Terimakasih banyak ya mas." kata Lia.
Pak Gito berjalan mendekati Gibran.
"Mas Gibran, ayo kita sudah sampai." ajak pak Gito.
"Oh, iya pak." jawab Gibran.
Sesampainya di luar kereta, Lia berpamitan pada Gibran karena dia sudah dijemput pacarnya
"Mas Gibran, saya duluan ya. Saya sudah dijemput pacar saya. Semoga lain waktu bisa ketemu lagi." kata Lia berpamitan.
"Oh, iya mbak Lia. Terimakasih atas ilmunya tadi ya mbak." kata Gibran sambil melambaikan tangan.
Lia mengangguk. Gibran pun terus mengikuti langkah pak Gito. Sesampainya diluar stasiun, pak Gito menunjukkan pada Gibran sebuah bangunan khas di Kota metropolitan itu.
"Mas Gibran, coba lihat ke sana." kata pak Gito sambil telunjuknya mengarah pada satu titik yang agak jauh dari stasiun.
Gibran pun mengikuti tangan pak Gito yang menunjuk pada sebuah bangunan.
"Wah..." seketika Gibran terkagum dengan pemandangan yang ada.
"Itu namanya Monas mas." kata pak Gito memperkenalkan kota Jakarta.
"Oh, jadi itu yang biasa disebut-sebut orang yang pernah ke Jakarta."
"Jangan kaget mas Gibran, di sini tu memang banyak gedung-gedung bertingkat tinggi. Dan disini hawanya lebih panas jika dibandingkan dengan di kampung." jelas pak Gito.
"Oh. ya ya pak." jawab Gibran sambil masih terkagum-kagum dengan pemandangan yang ada di hadapannya.
"Nah, sekarang kita berjalan ke sana ya, kita cari kendaraan umum dulu " ajak pak Gito berjalan menuju ke pangkalan angkot di luar stasiun. Lalu pak Gito mengajak Gibran untuk naik angkot menuju kontrakan pak Gito. Angkotpun melaju di tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Di dalam angkot juga berdesak-desakan, membuat Gibran semakin mepet dengan pak Gito.
"Harap maklum ya mas, ya beginilah Jakarta, ramai, dan memang harus sabar." kata pak Gito.
"Oh, iya pak." jawab Gibran.
"Walah, baru juga nyampe di Jakarta, lha kok ternyata seperti ini to ramainya. Beda banget sama di kampung.". batin Gibran.
Tak hanya sampai disitu rasa heran Gibran, setelah angkot berhenti di sebuah bangunan yang sangat ramai yang tak lain adalah sebuah supermarket, Gibran diajak turun oleh pak Gito.
"Kita Turun sini mas." kata pak Gito kepada Gibran.
"Bang, kiri bang." teriak pak Gito pada supir angkot. Lalu angkotpun berhenti di depan supermarket itu. Gibran mengikuti langkah pak Gito, setelah pak Gito menyerahkan uang ongkos kepada sopir angkot itu.
Gibran kembali terheran-heran dengan suasana di kota itu, sangat banyak orang dari berbagai negara dan kota. Gibran masih terus mengikuti langkah pak Gito menyusuri jalan setapak yang memang hanya cukup dilewati satu kendaraan motor saja . Sangat jauh berbeda dengan di kampungnya yang rumahnya luas-luas dan orangnya yang sedikit. Di sini, banyak papan-papan yang ditata untuk sekat-sekat dan ternyata memang sekat-sekat itu sebagai tempat istirahat mereka.
"Jangan kaget ya mas Gibran, Jakarta ya seperti ini adanya. Ramai, kumuh, dan berdesak-desakan." kata pak Gito.
"Nah, ini tempat tinggal saya " kata oak Gito memeprkenalkan tempat tinggalnya yang terbuat dari papan kayu yang luasnya hanya sebatas kamar tidur Gibran di rumah.
Gibran melihat dan mengamati sekelilingnya, denga banyak keheranan.
"Oh, jadi begini kehidupan orang kota yang sesungguhnya? Tak kirain mereka hidup dan tinggal ditempat yang nyaman dan bersih. Ternyata juga sama aja sama yang di kampung, malah mendingan yang di kampung." batin Gibran.
"Tasmu taruh sini aja mas Gibran." kata pak Gito saat melihat Gibran masih tampak celingak celinguk sambil terus menjinjing tas jinjingnya sambil menggendong ranselnya.
"Oh, ya pak." jawab Gibran menurut dan meletakkan tasnya di dekat tumpukan pakaian milik pak Gito.
"Yah, beginilah mas Gibran, Jakarta yang sebenarnya. Kelihatannya saja indah, banyak gedung bertingkat pencakar langit, dengan segala fasilitas kota yang serba canggih dan moderen, tetapi sebenarnya ya seperti ini, masih banyak rumah papan seperti ini untuk tempat istirahat kami para rakyat jelata." kata pak Gito yang sepertinya mengerti dengan apa yang sedang Gibran pikirkan.
"Nah, ini gerobak saya, nanti tugasmu mendorong gerobak ini ke pangkalan, membuat bakso dan membantu saya menjuak bakso ini di pangkalan " kata pak Gito
Setelah dirasa cukup, Gibran berniat untuk membersihkan diri,b ternyata untuk membersihkan diri itu kamar mandi, tetapi ya hanya mandi di tempat umum dengan papan kayu sebagai penyekatnya.
Gibran pun mandi dan membersihkan badannya yang sudah terasa lengket. Setelah mandi, Gibran kembali ke tempat tinggal pak Gito lalu membantu pak Gito beres-beres.
Malam harinya pak Gito mengajak Gibran makan di warung makan yang tak jauh dari tempat dia tinggal. Gibran memilih lauk dengan jenis lauk yang sederhana, dan minum air putih.
"Hidup di tanah rantau itu harus berani prihatin mas. Makan seadanya, tempat tinggal seadanya dan mengurangi pengeluaran yang memboroskan isi kantong. Makan itu cuma yang penting makan, karena kita harus memikirkan uang yang akan kita kirimkan untuk keluarga di rumah." kata pak Gito.
"Oh, ya pak."
"Pokoknya orang yang merantau ingin sukses itu memang harus banyak prihatin nya " kata pak Gito..
"Oh, iya pak."
"Nanti mas Gibran akan tau lebih banyak lagi kehidupan orang merantau di sini. Dan bagaimana cara kami bertahan hidup meski kami jauh dari keluarga dan saudara." jelas pak Gito.
Gibran pun menurut dan menyimak semua penjelasan pak Gito dengan baik. Seketika Gibran teringat oleh pesan bapaknya, bahwa ketika laki-laki berani keluar rumahnya, maka dia haris berani berjuang dan berani mati dengan segala resiko yang ada. Maka itu yang mendasari jiwa Gibran saat ini. Harus berani dengan segala tantangan yang ada di kota Jakarta ini. Harus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Dede Dewi
iya kak.aamiin
2023-04-03
0
Herry Murniasih
betul memang hidup penuh perjuangan, dengan cara bekerjalah kita harus bisa bertahan, sabar dan ulet yakin Gibran akan sukses
2023-04-03
1