Kenyataan

Gibran melangkah perlahan mendekati Gendis yang lemah, sedangkan mbok Yati hanya terdiam dengan isak tangis yang belum berhenti.

"Kamu kenapa? Kenapa jadi begini Ndis?" tanya Gibran sambil menahan air matanya.

"Maaf mas..." kata Gendis lemah dengan air mata yang keluar dari kedua sudut matanya.

Gibran memejamkan matanya, dia berusaha tetap tegar melihat kondisi adiknya. Gibran memeluk Gendis dan mengelus kepala Gendis dengan penuh cinta. Gendis menyembunyikan wajahnya di dada Gibran, dan menangis tersedu-sedu.

"Maafin mas, maafin mas ga bisa jagain kamu Ndis. Maafin mas yang udah biarin kamu sampe kaya gini Ndis. Maafin mas yang ga peka sama keadaan kamu Ndis. Maafin mas Ndis, maafin mas." kata Gibran tergugu menyalahkan dirinya sendiri. Gibran menyadari, hal ini bisa terjadi atas kelalaiannya menjaga adik semata wayang nya. Dia memilih pergi merantau dan membiarkan adiknya sendiri di rumah bersama kedua orangtuanya, tanpa mengetahui keadaan adiknya yang sebenarnya.

"Sudah le...sudah. Jangan salahkan dirimu sendiri. Sudah..." kata mbok Yati sambil memegang pundak Gibran yang tengah tergugu menyalahkan dirinya sendiri.

"Aku ga becus jaga adek bu...maafin Gibran bu...maafin Gibran." kata Gibran sambil berbalik memeluk ibunya.

"Sudah le...ini semua sudah takdir dari gusti Allah." kata mbok Yati.

Karena merasa tak mampu mengontrol emosinya, Gibranpun keluar dari ruang ICU, karena dia khawatir akan membuat kondisi Gendis semakin memburuk.

"Bran..." panggil Sutris yang melihat Gibran berlari menjauhi ruang ICU dan berlari keluar.

"Mas Gibran." kini Nico mencoba untuk mengikuti kemana Gibran pergi, dengan memberi isyarat pada pak Parto dan Sutris, Tini dan pak Lukas untuk ijin menyusul Gibran.

Nico mengikuti Gibran yang terduduk lemas di taman belakang rumah sakit, Gibran tersungkur di atas rumput hijau, dekat kolam teratai. Gemericik air kolam terdengar menyejukkan pikiran yang lagi kacau.

"Huhuhu, maafin mas Ndis, maafin mas." kata Gibran masih tergugu.

"Mas Gibran." sapa Nico dengan separuh keberaniannya.

Gibran menoleh ke sumber suara, ternyata ada orang yang mengikutinya.

"Mas Nico?" kata Gibran.

"Iya mas. Maaf, jika saya mengganggu waktu sendiri anda. Boleh kita ngobrol sebentar?" tanya Nico.

"Ya, silakan."

"Mas Gibran sudah tau, apa penyebab Gendis sampai seperti ini?" tanya Nico.

"Engga. Yang ku tau, di kena racun." jawab Gibran.

"Mas Gibran tau, kenapa Gendis keracunan? Mas Gibran tau sifat Gendis kan? Kalau menurut logika, Gendis itu sakit bukan karena keracunan, dan bukan pula karena makan makanan beracun. Kalau dari kesaksian mas Sutris dan pak Parto, ada botol obat rumput di dalam kamarnya. itu berarti, Gendis mencoba bunuh diri." kata Nico.

"Ya saya mengerti. Tapi masalahnya, apa yang membuat dia melakukan hal seburuk itu?" tanya Gibran.

"Dia frustasi mas."

"Frustasi?"

"Ya. Saya sudah tau tentang alasan Gendis frustasi." kata Nico sambil berjalan ke arah kolam.

"Apa maksud anda?" tanya Gibran heran

"Gendis frustasi, karena dia bingung harus berbuat apa saat mengetahui bahwa dirinya hamil." kata Nico.

"Hamil?" tanya Gibran syok.

"Iya mas. Sebenarnya, saya ingin memberi tahu anda waktu itu, tetapi anda keburu kembali ke Jakarta, dan saya sebenarnya memang dilarang bercerita dengan keluarga Gendis, tetapi melihat kondisi Gendis saat ini, saya ingin anda bisa membantu Gendis dengan memberi keadilan untuknya. Anda kenal adik anda bukan? Bahwa Gendis hamil bukan karena dia nakal, tetapi karena ada laki-laki yang sengaja menghancurkan hidupnya." kata Nico panjang lebar.

"Mak...maksud anda, Gendis...di..."

"Diperkosa." jawab Nico.

"Ba******!" umpat Gibran dengan penuh kemarahan.

"Terus siapa laki-laki itu?" gumam Gibran dengan tatapan penuh amarah.

"Itu dia yang baru saya selidiki. Karena Gendis tidak mau terbuka." jawab Nico.

"Tapi... darimana anda tau Gendis hamil?" tanya Gibran penuh selidik.

Nicopun menceritakan awal mula pertemuan mereka saat Gendis pingsan, sampai akhirnya Nico mengantarkan Gendis pulang ke rumahnya, dan berapa terkejutnya Nico, kalau ternyata Gendis adalah adik Gibran. Namun Nico dengan bersikap biasa, dan tidak mengatakan bahwa dia mengenal Gibran. Karena Nico khawatir, Gendis tak mau bertemu dia lagi.

"Oh, begitu?" tanya Gibran.

"Aku harus segera tanya sama Gendis, siapa laki-laki ba****** yang udah merenggut masa depannya." kata Gibran penuh amarah, dengan tangannya mengepal.

"Sebaiknya kita tanya baik-baik dulu mas, tetapi nunggu Gendis membaik dan dipindah ke ruang rawat inap dulu. Karena kalau kita menanyakan saat ini, khawatir nya Gendis akan drop lagi mas." kata Nico.

"Iya juga ya." batin Gibran.

"Dan satu lagi mas, kalau kita sudah tau pelakunya, nanti kita eksekusi bersama, jangan pakai emosi. Saya akan membantu dengan melaporkan hal ini pada pihak yang berwajib, dan jika diperlukan saya juga ada kenalan pengacara." kata Nico.

"Hem, yaya. Terimakasih banyak ya mas Nico, saya tidak tau harus membalasnya dengan apa." kata Gibran menyalami Nico.

"Sama-sama mas Gibran. Manusia itu makhluk sosial, memang kita harus saling membantu bukan? Tetapi dalam hal kebaikan." kata Nico.

"Iya mas."

💕💕💕

Tiga jam kemudian, Gendis sudah melewati masa kritisnya, Gendispun dipindah ke ruang rawat inap. Sutris sudah kembali ke rumahnya, Gibran mengantar bapaknya pulang untuk mengambil pakaian ganti untuk ibu dan adiknya. Pak Parto diharapkan istirahat di rumah saja, karena suasana rumah sakit kurang baik utuk kesehatan pak Parto. Tini menyanggupi untuk memantau keadaan pak Parto. Sedangkan Nico, masih mendampingi Gibran untuk mencari tau, siapa sebenarnya pelaku kejahatan yang menimpa Gendis.

"Ndis, tolong kamu jujur sama mas." kata Gibran membuka percakapan.

"Kamu tau kan, masa sayang banget sama Gendis?" tanya Gibran. Gendispun mengangguk.

"Jadi tolong, katakan jujur Ndis, siapa orang yang udah menghamili kamu?" tanya Gibran yang seketika membuat Gendis menatap kakaknya lekat. Lalu membuang pandangannya ke segala arah. Gendispun menangis, hatinya kembali sakit, saat mengingat malam kelam itu.

"Ndis..." panggil mbok Yati dengan lemah lembut.

"Ceritakan pada kami nak... jangan kamu pendam sendiri." lanjut mbok Yati.

"Ndis, kalau kamu masih mau mas anggap sebagai adik, tolong kamu jawab pertanyaan mas dengan jujur!" kata Gibran tegas.

"Ehm...Gendis...Gendis minta maaf mas." kata Gendis lirih.

Semua masih menunggu jawaban Gendis yang sebenarnya.

"Gendis di jebak mas." jawab Gendis.

Seketika semua mata tertuju pada Gendis yang masih menunduk.

"Siapa yang menjebakmu?" tanya Gibran dengan menahan amarah yang membara.

"Ki..." Kata Gendis terputus. Namun sudah tidak asing lagi, jawaban Gendis sudah mengerucut pada orang yang sudah dicurigai Gibran.

"Ki Cipto?" tanya Gibran.

Seketika dengan lemah, Gendis mengangguk.

"Kurang ajar! B*****t, b******n! Ke****t!" semua umpatan keluar dari mulut Gibran dengan memukulkan bogemnya di kasur Gendis.

"Sabar Bran, sabar." kata Mbok Yati mengelus punggung Gibran.

"Dia harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Ayo mas Nico." kata Gibran mengajak Nico pergi.

"Tapi mas...mas...!!" pekik Gendis. Namun tak dihiraukan Gibran, begitupun dengan Nico yang berusaha terus mendampingi Gibran, karena dia tau, Gibran emosinya sedang di puncak, harus ada yang bisa mengerem.

Gendis tergugu di tempat istirahat nya, mbok Yati memeluk Gendis dengan penuh kehangatan, dengan pinangan air mata mereka berdua menangis bersama. Setelah Gendis tenang. Gendis menceritakan kronologinya pada mbok Yati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!