Noda

"Hiks hiks hiks." tangisan gadis malang sambil menuntun sepedanya menuju rumahnya. Malam itu adalah malam yang kelam bagi Gendis. Gendis terus melangkah dengan terseok dan lemah, karena menahan rasa sakit di area selangkangannya, dan sakit di hatinya.

Sesampainya di rumah, Gendis membuka pintu rumahnya perlahan. Didapatinya pak Parto sedang duduk di dipan tempat tidurnya.

"Darimana nduk?" tanya pak Parto dengan tatapan menuntut.

"Eh, ehm...anu pak. Tadi Gendis abis dari rumah Tika pak." jawab Gendis berbohong.

"Sampai selarut ini?" tanya pak Parto dengan nada menginterogasi.

"Maaf pak." kata Gendis sambil menunduk.

"Ya sudah, Sudah malam, istirahat lah." perintah pak Parto.

Gendis mengangguk, lalu masuk ke dalan kamarnya. Sesampainya di kamar, dia menangis meraung-raung dengan ditutupi bantal. Agar tidak terdengar ibu dan bapaknya. Melati memukuli kasur dan bantal berkali-kali. Dia terus mengumpat menyumpah serapahi tua bangka yang keterlaluan itu, sungguh menyakitkan.

Semalaman hingga jam tiga dini hari, Gendis masih belum bisa tidur. Gendis merasa tubuhnya sakit semua, terutama pada bagian **** *************. Gendis masih menangis terus hingga akhirnya Gendis merasakan bahwa dirimu ingin uang air kecil. Gendis melangkah keluar kamarnya menuju kamar mandi, lalu dia ingin sekalian mandi, menghapus semua bekas noda di tubuhnya yang dinikmati oleh kakek tua tak punya hati itu. Sambil mengguyur tubuhnya, Gendis masih terus menangis, dia terbayang oleh wajah kakaknya. Apabila ada kakaknya, mungkin hal buruk ini tak akan terjadi, namun apa daya? Gibran pergi merantau juga karena demi kebutuhan keluarganya. Mengingat kondisi bapak nya yang semakin tambah umur, tambah sering sakit-sakit an, terutama kejiwaannya.

Dalam guyuran air dingin dengan mengesampingkan rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil, Gendis kembali teringat bagaimana dia dieprlakukan tidak senonoh oleh si tua bangka itu. Gendis terus mendengus kesal atas jebakan tua bangka itu.

"Aku ga akan pernah memaafkanmu tua bangka. Aku janji pada diriku sendiri, aku ga akan rela kamu mati dengan mudah. Dasar orang tua ga ingat umur, ba****!" umpat Gendis.

Setelah selesai menggiyur seluruh tubuhnya, Gendis merasakan rada dingin yang teramat sangat, diapun tidur mendengki dengan berselimut. Dia coba pejamkan mata, namun kejadian malam keji itu masih terus terputar di kepalanya. Tawa jahat laki-laki tua itu, hingga pukulan yang mengenai pipinya, hingga robekan pada selaput daranya, membuat dia tak pernah mau memaafkan kakek tua itu.

Keesokan harinya, badan Gendis demam. Gendis masih enggan untuk bangun dari tidurnya. Gendis menggigil di bawah selimut nya yang sudah kusam, karena itu adalah selimut dia sejak Gendis masih kecil.

"Nduk, kamu ga sekolah?" tanya mbok Yati membangunkan Gendis.

"Engga bu." jawab Gendis lemah.

Mbok Yati yang curiga menyentuh kening Gendis, dan berapa terkejutnya mabok Yati, ternyata anak gadisnya sedang demam.

"Kamu sakit nduk." tanya mbok Yati.

Gendis hanya diam dan terpejam.

"Ibu ambilkan obat ya." kata mbok Yati.

"Ga usah bu, Gendis cuma mau tidur aja." jawab Gendis.

"Ya sudah, istirahatlah nduk, ibu sudah menyiapkan sarapan dan minum buat bapakmu. Ibu tinggal ke sawah dulu ya." kata mbok Yati.

Gendis hanya mengangguk untuk memberikan jawabannya. Setelah itu mbok Yatipun pergi berangkat kerja, meninggalkan Gendis dan pak Parto dengan sudah menyiapkan makan dan minum untuk mereka.

Sepeninggal Mbok Yati, pak Parto datang menghampiri Gendis, karena pak Parto baru tau bahwa anak gadisnya sakit setelah mbok Yati memberitahunya.

"Perlu bapak ambilkan obat untukmu nduk?" tawar pak Parto.

"Ndak usah pak." jawab Gendis lemah.

"Nduk, apa kamu baik-baik saja?" tanya pak Parto.

"Iya pak." jawab Gendis dengan hati yang teriris-iris.

"Apa ada sesuatu yang terjadi padamu Nduk?" tanya pak Parto yang sepertinya merasakan sebuah firasat buruk.

Gendis terdiam, ingin rasanya dia menghambur ke pelukan bapaknya. Bapak yang selalu menyayanginya sengan sepenuh hati. Seumur-umur bapaknya tak pernah bermain kasar padanya. Namun, apa yang dilakukan Ki Cipto menyisakan dendam dalam hatinya yang kini masih sakit

"Nduk...cerita sama bapak. Bapak memang mungkin tidak bisa memberikan solusi, tetapi setidaknya kamu bisa berbagi cerita sama bapak." kata pak Parto.

"Tidak pak, Gendis baik-baik saja." jawab Gendis berusaha meyakinkan.

"Ya sudah, istirahat lah, cepat sembuh ya Nduk." kata pak Parto sambil mengecup kening Gendis. Mata Gendis memanas menahan tangis, Gendis sangat menyayangi bapaknya. Dia bahkan harus kehilangan kesuciannya demi kesembuhan bapaknya, namun ternyata dia hanya kena tipu. Dan mulai saat ini, Gendis berjanji tak akan pernah menemui ki Cipto lagi untuk mengobati bapaknya.

Pak Partopun keluar kamar Gendis, lalu pak Parto kembali beristirahat di dipannya.

💞💞💞

Enam bulan tinggal di kota Metropolitan memang tidaklah mudah. Banyak tantangan yang diterima Gibran. Dan Gibran juga sudah semakin merasakan kerinduan pada keluarganya, terutama rindu kepada adiknya.

"Kenapa aku kepikiran Gendis ya? Kenapa akhir-akhir ini memimpikannya? Apa yang terjadi dengan Gendis?" gumam Gibran sambil mengupas bawang putih.

"Mas Gibran..." panggil pak Gito.

"Eh, Ya pak?" jawab Gibran.

"Nanti sore, saya jadi pulang ke Solo ya mas. Mas Gibran mau titip sesuatu tidak?" tanya pak Gito.

"Oh, iya pak. Saya titip uang buat bapak ibu di rumah, boleh pak?" tanya Gibran.

"Tentu saja boleh." jawab pak Gito.

Gibranpun membula tabungannya di dalam kaleng roti. Dia berikan semua isi kaleng itu, dan dimasukkan dalam amplop.

"Ini pak." kata Gibran.

"Ga titip sesuatu buat nduk Sekar?" goda pak Gito.

"Hahaha, pak Gito ini bisa saja. Tidak pak. Saya belum punya apa-apa buat mbak Sekar." jawab Gibran.

"Ga titip surat?" tawar pak Gito lagi.

"Wah, bapak ni nyindir saya ya? Saya kan belum bisa baca tulis pak." kata Gibran.

"Oh iya. Lupa. Perlukah bapak tuliskan?" tawar pak Gito.

"Tidak pak. Sudah cukup. Itu saja, tolong sampaikan pada bapak ibu dan adek saya, bahwa saya merindukan mereka." kata Gibran.

"Baiklah mas."

Setelah itu, pak Gitopun bersiap untuk berangkat ke Stasiun untuk pulang ke kampung.

"Pak Gito jadi naik kereta pak?" tanya Gibran.

"Iya, kenapa mas?"

"Gapapa pak, cuma tanya saja."

"Ya sudah, saya pulang dulu. Saya titip warung ya, kalau bumbunya Habis, nanti tolong belanja lagi saja ke pasar, ke pelanggan bapak ya." pesan Pak Gito.

"Baik pak."

"Oiya, mas Gibran minta dibawain apa ini, kalau bapak pulang?" tanya pak Gito.

"Ehm, tidak ada pak. Yang penting bapak kembali dengan selamat sehat, itu sudah cukup." jawab Gibran.

"Memang saya tidak salah memilihmu untuk membantu saya. Kamu memang anak baik mas Gibran, semoga kamu kelak mendapat jodoh yang baik jugaa." do'a pak Gito.

"Hehe, bapak ini bisa saja. Aamiin." kata Gibran.

Gibranpun mengantarkan pak Gito sampai di pinggir jalan raya untuk menunggu angkutan kota menuju ke Stasiun.

Terpopuler

Comments

Herry Murniasih

Herry Murniasih

Kasihan Gendis kesuciannya hilang, apalagi saat ini dia masih sekolah SMP, malangnya nasibmu, ayo ceritakan sama kedua orangtuamu Gendis atas perlakuan dukun cabul itu

2023-04-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!