Semalam suntuk Gendis tak bisa tidur, dia terus memikirkan bagaimana caranya dia tetap bisa berangkat merantau ke Sumatra. Dia sangat ingin merasakan rasanya mencari uang sendiri, agar bisa membeli apapun yang dia inginkan.
"Aha, besok aku harus temui paklik Riyadi, biar dia yang merayu bapak sama ibu." kata Gendis mendapat ide.
Keesokan harinya, Gendis menemui paklik Riyadi, dan menyampaikan keluhannya atas ijin yang ditolak bapak ibunya.
"Gimana paklik?"
"Hem, gitu ya? Ya coba nanti paklik ke rumahmu, untuk ketemu sama bapak ibumu ya nduk." kata pak Riyadi.
"Iya paklik." jawab Gendis.
Dan benar saja, Pak Riyadi datang ke rumah pak Parto dan menyampaikan niatnya untuk membawa Gendis merantau bersamanya.
"Begini pakde, kedatangan saya ke sini, saya bermaksud untuk meminta ijin, mengajak nduk Gendis ikut saya ke Sumatra untuk membantu anak saya mengurus anaknya." kata pak Riyadi.
"Hem, saya sudah tau paklik, tetapi saya tidak berani memberi keputusan, karena kejadian beberapa bulan lalu, sudah cukup menjadi pelajaran bagi saya. Jika mau minta ijin, sebaiknya sama anak saya saja, Gibran." kata pak Parto.
"Ehm, baiklah. Adakah nomer telepon yang bisa saya hubungi pakde, biar saya telepon mas Gibran." jawab Pak Riyadi.
"Sebentar, ada kok paklik nomernya, saya ambilkan dulu." kata mbok Yati yang kemudian beranjak mengambilkan secarik kertas yang berisi deretan nomer telepon milik pak Gito.
"Ini paklik." kata mbok Yati sambil memberikan nomer itu.
"Oh, ya bude." kata pak Riyadi sambil menerima secarik kertas itu. Lalu mencatatnya di ponsel nya.
"Halo, ya pak. Maaf, ini saya kerabatnya mas Gibran pak, bisa bicara dengan mas Gibran?" kata pak Riyadi.
Tak berapa lama kemudian, pak Riyadi tampak sudah mengobrol dengan Gibran.
"Halo mas Gibran."
"Iya ini paklik mas."
"Begini mas, saya ini mau minta tolong sama nduk Gendis, untuk bantu anak saya merawat anaknya di Sumatra. Kata pakde sama bude, mereka tidak berani memberikan ijin. Makannya ini saya telpon mas Gibran, kata beliau, apapun keputusan mas Gibran, pakde sama bude manut." kata pak Riyadi.
"Iya mas, Sumatra."
"Hehe, iya mas. Lha saya kan merantau nya ke sana mas."
"Yang jelas, karena nduk Gendis kan masih kerabat mas, saya ga berani kalau mau menyuruh orang lain untuk merawat cucu saya, soalnya jaman sekarang itu banyak yang ga jujur mas."
"Iya mas, tolong banget ya mas diijinin. Saya butuh nduk Gendis banget ini."
"Saya jamin mas, nduk Gendis aman bersama saya."
"Nanti untuk ongkos berangkat dan pulangnya, saya yang tanggung mas."
"Oh, ya ya. Terimakasih banyak mas Gibran."
"Oya, biar bapak sama ibumu percaya, mas Gibran bilang sendiri ya sama mereka." kata pak Riyadi sambil menyerahkan ponselnyanya kepada pak Parto.
"Oh, ya le... oh begitu? ya ya. Ya wis, bapak manut sama kamu. Ya ya. Bapak sama ibu juga ijinin." kata pak Parto.
Setelah bertelponan dengan Gibran, fix, akhirnya Gendis diberi ijin Gibran untuk berangkat ke Sumatra bersama pak Riyadi.
💕💕💕
Keesokan harinya, Gendis sudah bersiap berangkat ke Sumatra bersama pak Riyadi dan istrinya. Gendis berpamitan pada ibu dan bapaknya.
"Kamu hati-hati di sana ya nduk. Bapak cuma bisa nyangoni pengestu." kata pak Parto dengan berat hati melepas putrinya belajar mandiri di tanah orang.
"Ya pak, terimakasih pak. Bapak sehat-sehat ya pak." kata Gendis.
Kemudian Gendis beralih berpamitan pada ibunya Begitupun dengan ibunya yang ternyata sejak malam tidak bisa tidur karena memikirkan Gendis harus meninggalkannya jauh.
"Jaga dirimu baik-baik ya nduk." pesan mbok Yati.
"Iya bu " jawab Gendis.
Gendispun pergi bersama pak Riyadi dengan membawa tas ransel berisi pakaian gantinya dengan mengendarai motor menuju terminal, lalu berlanjut menaiki kapal ke pelabuhan.
Pak Parto dan Mbok Yati merasa berat melepaskan putrinya, namun walau bagaimana pun juga, mereka harus ikhlas melepas kepergian putrinya,karena itu sudah menjadi keputusannya.
💕💕💕
Sedangkan di Jakarta,
Setelah berteleponan dengan pak Riyadi, Gibran kembali teringat akan kejadian beberapa bulan lalu, yang menimpa adiknya.
"Semoga kamu baik-baik saja dek." gumam Gibran. Lalu Gibran teringat dengan surat yang ada di tas nya sekitar satu tahun lalu, tepatnya saat dia baru saja merasakan rasanya Merantau. Gibran yang tadinya terduduk di tikar yang biasa dia tempati untuk tidur, terbangun dan langsung mengambil tas nya. Dia ambil secarik kertas dari dalam tasnya. Dia mencoba untuk mengeja isi surat itu dengan perlahan.
Dari Sekar untuk Mas Gibran
Kepergianmu membuat ku sunyi
Namun ku tahu, ini bukanlah keputusan mudah bagimu
Kepergianmu membuatku sepi
Tak ada lagi senyum ramah yang ku rindu ketika berjumpa denganmu
Entah sampai kapan
Ku harus memendam rasa
Tetapi ku yakin
Kau pun merasa
Semoga betah di Jakarta ya mas
Kutunggu kepulanganmu
dan kutunggu pinanganmu
Sekar
"Pinangan? Apa maksudnya?" gumam Gibran.
"Jangan-jangan Sekar memang suka sama aku? Haduh, bagaimana ini?" gumam Gibran bingung.
"Cie...ehem...ada yang naksir sama mas Gibran ya?" canda Joko yang sedari tadi mengintip gerak gerik Gibran.
"Eh, Joko, ngagetin aja." kata Gibran.
"Surat dari ceweknya ya mas?" tanya Joko.
"Bukan." jawab Gibran.
"Tapi kok, kata terakhirnya menunggu pinanganmu mas?" tanya Joko.
"Halah, biasa. Fans doang." jawab Gibran.
"Hem...percaya...kalau seorang Mas Gibran tu memang banyak fans nya." kata Joko.
"Emang kamu engga?"
"Halah, cowok gulitheng kaya aku itu, ga ada yang tertarik mas." keluh Joko.
"Tapi sekarang cukup ganteng lho." puji Gibran.
"Halah, mas Gibran nih, cuma menghibur." kilah Joko.
"Hehehe."
"Kenapa ga di lamar aja to mas? Udah jelas ada yang naksir lho. Mbak Tasya juga naksir, mbak Lia juga." kata Joko.
"Bingung Jok... lagian kebanyakan yang naksir kok ya anaknya orang kaya? Aku minder Jok." kata Gibran.
"Lah... iya juga sih..."
"Tau sendiri kan rasanya jadi anak orang miskin, mau ngelamar anak orang itu, paling tidak punya modal dulu Jok." kata Gibran.
"Tapi...mas Gibran udah punya inceran cewek belum?" tanya Joko.
"Ehm...ada sih... tapi..." kata Gibran sambil terbayang wajah ayu gadis berambut panjang yang dia tolong dari jambret beberapa bulan lalu. Pertemuannya dengan gadis itu masih menyisakan deg-degan di dada kirinya.
"Mayang..." gumam Gibran tak sadarkan diri sambil melamun.
"Heh, mas...mas Gibran." tegur Joko sambil melambaikan tangannya di depan muka Gibran.
"Eh, ya, ya. Sorry Jok. Sorry." jawab Gibran terkejut.
"Hem... siapa tu Mayang? Ngelamun kok sampe ngiler begitu?" ejek Joko.
"Masak sih?"tanya Gibran sambil membersihkan sesuatu di area bibirnya.
"Engga ada. Sia*** lo Jo!" umpat Gibran yang sudah mulai kesal dengan ulah rekan kerjanya. Gibran pun melanjutkan aktivitasnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments