Sesampainya di Stasiun, pak Gito mengajak Ugi duduk di ruang tunggu, lalu saat ada informasi terkait kereta yang akan mereka tumpangi sudah siap, pak Gito pun mengajak Gibran cek in, lalu masuk ke dalam kereta. Gibran terus mengekor kemanapun pak Gito berjalan.
"Mas Gibran bisa membaca angka kan?" tanya pak Gito.
"Ehm, bisa pak." jawab Gibran.
"Coba saya pinjam tiket mas Gibran." pinta pak Gito.
"Oh, ini pak." jawab Gibran sambil menyerahkan tiketnya.
"Ini angka berapa?" pak Gito mengetes.
"Lima dua pak." jawab Gibran.
"Bagus. Nanti di dalam kereta, mas Gibran cari tempat duduk yang angkanya sama dengan nomer di tiket ini ya." kata pak Gito.
"Oh, begitu? Ya pak." jawab Gibran.
Lalu mereka berjalan menyusuri gerbong kereta, sambil mencari nomer kursi mereka. Dan sesampainya di gerbong ke lima, pak Gito menemukan nomer kursinya, yaitu nomer empat puluh sembilan. Pak Gitopun berhenti lalu menoleh ke arah Gibran yang ternyata masih terus mengekorinya.
"Ini kursi saya mas, coba mas Gibran cari kursi sampean sendiri ya, yang di sini nya ada angka lima dua." kata pak Gito mengarahkan sambil menunjuk sebuah papan angka di dekat jendela.
"Oh. ya pak." jawab Gibran sambil masih terus memegang tiketnya.
Gibran melangkah perlahan sambil membaca satu persatu angka di kanan dan kirinya, hingga tiba di kursi bertuliskan angka lima dua. Gibran pun menoleh ke arah pak Gito, tampak oak Gito tersenyum, dan memberi isyarat mengangguk dan mempersialakan Gibran duduk di kursinya. Gibran pun meletakkan tas ranselnya di rak bagasi di atas kursinya, lalu Gibran dudu di kursi itu. Tak berapa lama kemudian, ada ibu-ibu paruh baya juga menoleh ke kursinya.
"Lima tiga. Ini dia." gumam ibu itu.
"Mas, ini kursi bener nomer lima tiga ya?" tanya ibu itu.
"Iya bu, bener. Ibu duduk disini?" jawab Gibran ramah.
"Iya mas." jawab ibu itu.
"Oya, silakan bu." kata Gibran memberi jalan.
"Ehm, tapi maaf mas, ini tapi tolong simpenin tas saya ini dirak bagasi ya mas." pinta ibu itu.
"Oh, ya bu." kata Gibran sigap, lalu membantu ibu itu meletakkan tas besarnya di rak bagasi tepat di atas nya.
"Terimakasih ya mas." kata ibu itu.
"Sama-sama bu." jawab Gibran ramah.
"Namamu siapa mas?" tanya ibu itu.
"Gibran bu." jawab Gibran.
"Oh, ya. Kenalkan, saya Heni, panggil saja bu Heni." kata bu Heni.
"Oh, iya bu."
"Mas Gibran ini, tujuannya mau kemana?" tanya bu Heni.
"Ke Jakarta bu."
"Jakarta mana mas?"
"Wah, saya juga kurang paham bu, karena ini saya baru pertama kali mau ikut merantau saudara saya." jawab Gibran.
"Oh, begitu? Kebetulan saya juga ke Jakarta mas, Jakarta pusat. Saya kan jualan baju mas di sana, di pasar Johar Baru mas." kata bu Heni.
Merekapun mengobrol dengan akrab menanyakan asal mereka masing-masing, sampai akhirnya mereka lelah dan tertidur.
Saat Gibran terjaga, karena perutnya mulai lapar, Gibran melihat di depannya sudah ada seorang gadis cantik bermata sipit dan berkulit putih. Gadis itu berambut hitam, tetapi tidak terlalu banyak, dan panjangnya sebahu. Gadis itu merangkul sebuah tas kecil berwarna coklat tua. Gibran menyapanya dengan isyarat senyuman, begitupun dengan gadis itu membalas senyuman Gibran.
Karena lapar, Gibran segera membuka tas jinjing yang tadi di bawakan ibunya untuk dia ambil isinya. Gibran membuka tas itu, lalu hendak mengambil wadah makanannya.
Pluk
Sesuatu terjatuh dari dalam tas jinjingnya berwarna biru itu.
Gibran tak menyadarinya, dia meneruskan aktivitasnya, karena lapar, dia langsung membuka wadah makanan itu.
"Mas, maaf. Ini ada yang jatuh." kata gadis di hadapannya sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat. Sepertinya, itu sebuah surat.
"Ehm, sepertinya itu bukan milik saya mbak." kata Gibran dengan dahi mengernyit. Karena dia tidak merasa memiliki surat itu.
"Ehm, tapi ini tadi jatuh dari tas anda mas." kata gadis itu.
Gibran tampak ragu dan berfikir.
Gadis itu melihat ada sebuah tulisan di amplop itu.
"Ini ada tulisannya mas." kata gadis itu yang tak berani membacanya.
"Ehm, maaf mbak, baca nya apa ya?" tanya Gibran.
"Dari Sekar, Untuk Gibran." baca Gadis itu.
"Oh, iya. Gibran, ini saya. Sekar itu teman saya. Oh, ya berarti ini milik saya mbak." kata Gibran dengan tersenyum sambil menerima surat yang sedari tadi berada di tangan gadia itu.
"Nah kan. bener. Ini punya mas." kata gadis itu.
"Hehe, iya mbak. Lha saya ga tau dateng nya surat ini. Dan dia nya tadi juga ga bilang apa-apa sama saya." kata Gibran dengan logat medoknya.
"Oh. begitu?"
"Makan mbak." kata Gibran tanpa tertarik untuk mengetahui isi surga itu.
"Ya mas, silakan." jawab Gadis itu.
"Oya. saya Gibran mbak, mbaknya siapa namanya?" tanya Gibran sok kenal sok deket.
"Lia mas. Lengkapnya Natalia mas." jawab Lia dengan senyum ramah.
"Oh, ya mbak. salam kenal." kata Gibran.
"Maaf ya mbak, saya sambi makan." kata Gibran.
"Iya mas, silakan. Saya baru saja makan kok." jawab Lia.
"Ehm, mas Gibran tidak mau baca suratnya dulu? Sepertinya dari pacar ya mas?" tanya Lia dengan tersenyum
"Ha? Pacar? Mbak Lia ini bisa saja. Tidak mbak, saya ini ga punya pacar. Wong saya ini orang kampung mbak, anak orang miskin, ga punya apa-apa, baca tulis juga ga bisa. Kok gaya-gayaan mau pacaran mbak." kata Gibran merendahkan dirinya.
"Masa' sih, mas Gibran ga bisa baca tulis?" tanya Lia terkejut.
"Iya mbak.Hehehe. Saya ini cuma anak kampung, anak orang miskin. Ga bisa sekolah mbak, jadinya ga ngerti tulis." kata Gibran polos.
"Pantesan...mas Gibran tadi ga mengakui surat itu, ternyata karena mas Gibran tidak bisa membaca?" tanya Lia.
"Hehe, iya mbak." jawab Gibran.
"Ehm, emang mas Gibran dari mana?" tanya Lia.
"Saya dari Solo mbak, ini mau ke Jakarta, ikut sodara, mau kerja." jawab Gibran polos.
"Oh, dari Solo? Saya dari Jogja mas, mau ke Jakarta juga." kata Lia.
"Mbak Lia, kerja juga?" tanya Gibran lugu.
"Ehm, engga mas. Saya kuliah mas. Kebetulan ini waktu liburan, jadi saya mau pulang dulu." jawab Lia.
"Oh. begitu? Wah, berarti orang kaya ya mbak, bisa kuliah." kata Gibran kagum.
"Engga juga mas. Kebetulan saya dapet beasiswa dari yayasan untuk biaya pendidikan. Kebetulan ,keluarga saya juga ekonominya dijamin kok dari pihak yayasan." kata Lia.
"Wah, enak sekali mbak. Itu yayasan apa mbak?" tanya Gibran kepo.
"Yang jelas, yayasan ini yang menaungi kami mas. Kami harus mengabdikan diri untuk Gereja, dan kami memang harus taat pada agama kami." kata Lia.
"Oh, begitu?" Gibran mulai paham.
"Berarti mbak ini kristen?" tanya Gibran.
"Iya mas. Kalau mas Gibran sendiri?" tanya Lia.
"Wah, saya tu malu mbak kalau ditanya agama. Kalau kata ibu saya, kami tu islam, tapi ibu saya ga pernah ngajarin sholat atau ke masuk. Saya juga ga pernah sholat dan ke masjid." jawab Gibran lugu.
"Oh, begitu?"
"Eh, tapi mbak, katanya tadi yayasanya mbak Lia. bisa ngasih biaya pendidikan ya? Berarti kalau kaya saya gini bisa ikut belajar ya mbak?" tanya Gibran.
"Bisa mas. Coba mas Gibran sebutin saja alamat mas Gibran, biar nanti saya sampaikan pada pihak yayasan. Siapa tau kami bisa bantu untuk menghapus buta huruf di daerah mas Gibran."
"Oh, ya mbak. Siap. Bisa."
Gibran mendikte alamatnya. Lalu setelah itu, Gibran dan Lia semakin akrab dan Liapun mengajarkan sedikit-sedikit huruf-huruf alfabet pada Gibran. Hingga tak terasa, mereka sudah sampai di Stasiun Gambir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Herry Murniasih
Semangat Gibran 😁😁💪
2023-04-02
0