"Gibran pamit ya bu." kata Gibran sambil mencium punggung tangan mbok Yati dengan khidmad. Tangan kiri Mbok Yati mengelus kepala Gibran dengan linangan air mata.
"Hiks hiks hiks... kamu baik-baik di sana ya le." kata mbok Yati.
"Ya bu, Gibran akan jaga diri. Ibu bapak di rumah sehat-sehat ya." kata Gibran.
"Iya le." jawab mbok Yati sambil mengusap air matanya dengan tangan.
"Mas Gibran..." Gendis memeluk Gibran, tanpa bisa berkata-kata. Ada rasa takut dalam relung hatinya saat ditinggal kakaknya. Mereka memang dua bersaudara yang sejak kecil tak pernah berpisah, sehingga saat Gibran memutuskan untuk pergi, berat rasanya Gendis melepas kakaknya.
"Kamu jaga diri baik-baik ya. Titip bapak sama ibu, jangan bikin bapak ibu susah, sedih. Ya." Pesan Gibran sambil menangkup wajah ayu Gendis. Gibran pun mengecup kening adiknya dengan penuh kasih. Ada rasa sedih juga dalam hatinya, jika harus meninggalkan adik tercintanya.
Sekar yang sejak tadi menunggu, sudah siap mengantar Gibran berangkat ke rumah pak Gito. Gibran pun menerima kunci motor Sekar, dan Sekar membonceng di belakang, sambil membawakan tas jinjing Gibran, yang entah isinya apa. Karena Gibran sudah membawa tas ransel yang pasti isinya pakaian ganti.
Sepanjang jalan Sekar dan Gibran saling berbincang. Dan hal itu diketahui beberapa pemuda dan pemudi kampungnya Gibran dan kampungnya Sekar. Dan karena pembawaan Gibran yang ramah, dia tidak terlalu mengkhawatirkan pikiran tak suka orang lain terhadap dirinya.
"Mas Gibran, ini kali pertama mas Gibran ke Jakarta ya?" tanya Sekar.
"Iya Mbak." jawab Gibran.
"Jangan panggil mbak to mas, panggil Sekar aja." tawar Sekar sambil tangan kananya memegang pinggang Gibran. Ada desiran aneh pada dada kiri Gibran, dan baru kali ini dia merasakan perasaan seperti ini.
"Nanti, kalau di Jakarta, mas Gibran sering-sering kasih kabar ke keluarga di kampung ya mas. Sepertinya, mereka masih berat melepas mas Gibran." kata Sekar.
"Iya. Ini memang kali pertama aku keluar dari Kampung."
"Ya, yang penting mas Gibran di sana jaga diri baik-baik. Di kota banyak orang jahat mas, berbeda sama orang desa, jadi mas Gibran jangan mudah percaya sama orang kota ya mas." kata Sekar.
"Memangnya, Sekar sudah pernah tinggal di kota?" tanya Gibran.
"Belum sih mas, tapi dulu mas ku pernah kena tipu di sana mas. Ya saking mas ku itu orangnya lugu banget." kata Sekar.
"Oh, gitu?" Gibran hanya ber oh ria.
"Mas, itu rumahnya, udah deket. Yang ada pohon mangkanya." kata Sekar sambil menunjuk sebuah rumah. Gibranpun menghentikan motornya Sekar di depan rumah pak Gito.
"Kulonuwun." sapa Sekar.
"Monggo." jawab seorang wanita paruh baya keluar dari rumah limasan.
"Eh, nduk Sekar. Masuk nduk. Ayo, temannya juga diajak masuk saja. Bapak baru siap-siap." kata bu Gito.
"Ya bulik, terimakasih." kata Sekar sambil mengajak Gibran duduk di kursi rotan yang disediakan di teras.
"Sbentar ya." kata bu Gito.
Tak lama kemudian pak Gito Sudah keluar dari rumahnya dengan pakaian kaos dan celana jins, ditambah dengan jaket kulit dan sebuah ransel.
"Sudah lama menunggu mas Gibran?" tanya pak Gito sambil menyalami Gibran.
"Baru saja pak." jawab Gibran sopan.
"Kalian ini, sudah kaya sepasang kekasih saja. Cocok lho." canda pak Gito, yang berhasil membuat pipi Sekar merona menahan malu, begitupun dengan Gibran, yang sampai saat ini belum pernah terfikirkan tentang jatuh cinta.
"Hehe, pak Gito bisa saja. Kami hanya teman biasa kok pak." kata Gibran menimpali candaan Pak Gito.
Sekar menunduk malu, dan senyumnya memudar, saat Gibran mengatakan bahwa mereka hanya teman biasa.
"Kenapa sulit sekali mengambil hatimu mas Gibran? Apakah perhatianku selama ini tak pernah membekas di hatimu? Sebenarnya, aku ingin kamu menjadikan ku lebih dari sekedar teman biasa." batin Sekar yang sibuk dengan pikirannya.
"Ehem, nduk. Sekar. Sekar." panggil Pak Gito hang ketiga kalinya.
"Eh, i-iya paklik? Bagaimana? Ada apa paklik?" tanya Sekar tergagap.
"Kamu melamun?" tanya Pak Gito.
"En-endak paklik." kilah Sekar.
"Hem...tadi pas kamu jemput mas Gibran, bapakmutau tidak?" tanya Pak Gito.
"O-oh... bapak? Anu paklik, ehm, tidak. Bapak tidak tau paklik. Bapak tadi pas masih di kantor." jawab Sekar.
"Ya sudah. Nanti kalau bapakmu tau dan marah padamu, bilang saja sama paklik. Biar nanti paklik yang bicara sama bapakmu." kata pak Gito.
"Ya pak lik." jawab Sekar.
"Ayo nduk Sekar, mas...diminum dulu, sebelum melakukan perjalanan jauh." kata bu Gito sambil menyuguhkan teh hangat untuk mereka.
"Terimakasih bulik." kata Sekar.
"Terimakasih bu." kata Gibran.
Setelah menikmati teh hangat buatan bu Gito dan menyicipi makanan ringan yang ada, Gibran dan pak Gito pun berpamitan untuk berangkat ke stasiun dengan naik angkutan kota.
"Bapak berangkat ya bu." pamit pak Gito pada bu Gito.
"Ya pak, hati-hati." jawab bu Gito.
Saat Gibran akan melangkah pergi mengikuti langkah Pak Gito, tiba-tiba Sekar memanggil Gibran.
"Mas Gibran!" panggil Sekar. Gibran pun menoleh ke belakang, dilihatnya sosok gadis ayu berkulit putih bersih, pipi cabi, dan rambut panjang yang di kucir dua dan diarahkan ke depan. Sekar melambaikan tangannya.
"Hati-hati mas." teriak Sekar sambil tersenyum haru.
Gibran membalas lambaian tangan Sekar dan hanya menjawab dengan anggukan kepala, tanpa menjawab kata-kata Sekar.
Setelah itu, Gibran melanjutkan langkahnya mengikuti pak Gito. Pak Gito dan bu Gito paham dengan isyarat dua pemuda dan pemudi di harapan mereka. Meski tanpa kata, tetapi mereka bisa menilai bahwa Sekar dan Gibran ada rasa yang tumbuh, dan hak itu wajar dirasakan oleh darah muda.
Saat di angkot, Pak Gito mencoba mengajak ngobrol Gibran, agar mereka bisa lebih dekat lagi hubungannya.
"Mas Gibran ini, sudah pernah merantau belum sebelumnya?" tanya pak Gito.
"Belum pak." jawab Gibran jujur.
"Ini pengalaman pertama berarti ya?" tebak pak Gito.
"Iya pak."
"Kenapa mas Gibran langsung meng iya kan ajakan saya?"
"Ehm...ya...yang jelas, saya yakin pak Gito orang baik." jawab Gibran.
"Ehm, begitu? Ya, terimakasih ya mas. Begitupun dengan saya, saya juga merasa bahwa mas Gibran ini anak yang baik, itu sebabnya saya mencari informasi tentang mas Gibran dari Sekar. Dan Sekar meyakinkan saya, bahwa mas Gibran ini orang yang tepat untuk saya ajak bekerja membantu saya." kata pak Gito.
"Oh, begitu?"
"Nduk Sekar itu tau banyak hal lho tentang mas Gibran. Bahkan ajakan saya kepada mas Gibran ini, atas jaminan nduk Sekar mas. Nduk Sekar berani menjamin, bahwa mas Gibran ini orang yang baik." kata pak Gito.
"Oh. begitu?"
"Lah...komentarnya kok cuma oh begitu terus to? Hahaha." komentar pak Gito.
"Hahaha, lha harus jawab apa ya pak? Saya juga bingung." kata Gibran sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sepertinya...nduk Sekar itu...suka sama sampean mas." kata Pak Gito. Dan kalimat ini seketika membuat Gibran terperanjat. Dia sama sekali tidak pernah terfikir untuk menjalin kasih dengan anak pejabat desa itu, dia tau diri, siapa dirimu dan Siapa Sekar. Kasta mereka berbeda, bibit bebet bobot merekapun jauh berbeda, sehingga Gibran memilih untuk tidak banyak berharap pada wanita seperti Sekar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Herry Murniasih
Cinta memang tak memandang kasta, dimana hati bertaut dan berlabuh dan tidak dengan siapa, semoga jodoh Gibran mau menerima dia dan keluarganya
2023-04-02
0