Pagi itu, Gibran sudah bersiap pergi ke pasar untuk berbelanja bahan dagangan seperti yang dilakukan pak Gito. Ini bukan kali pertama Gibran mengurusi dagangan pak Gito sendiri, karena ditinggal pulang kampung, sehingga sudah menjadi hal biasa bagi dirinya untuk menjalankan bisnis orang baik seperti pak Gito.
Sesampainya di pasar, Gibran langsung menuju pelanggan pak Gito di bagian gilingan daging sapi, lalu ke pelanggan sayur untuk membeli sawi, seledri dan lainnya kemudian dia ke pelanggan bumbu. Setelah itu barulah dia menuju pangkalan angkot untuk kembali pulang.
Saat Gibran sedang menunggu angkot, tak sengaja Gibran melihat seorang wanita yang diikuti laki-laki mencurigakan, mata Gibran tak lepas dari sana, hingga hal yang dikhawatirkan pun terjadi.
"Eh, jambret!" pekik wanita itu panik.
Gibran dengan cepat menyusul Jambret itu, dan menghajarnya, adu fisikpun terjadi diantara mereka.
Bugh bugh bugh
Gibran memukul jambret itu, dan begitupun jambret itu membalas pukulan Gibran, hingga muka Gibran akhirnya terkena bogem mentah juga dari jambret itu. Jambret itu merasa menang, lalu akan kabur, namun kemudian, Gibran segera mengejarnya dan menghajar jambret itu dari belakang, dan Gibran yang semakin emosi, kembali menghajar jambret itu, hingga babak belur dan akhirnya jambret itu kalah dan ketakutan.
"Siniin tasnya!" pinta Gibran.
"I-ini bang." jawabnya lalu lari terbirit-birit, karena takut dilaporkan pada pihak yang berwajib.
Gibran membawa tas kecil berwarna coklat tua itu,
"Terimakasih bang, sudah nolongin saya." kata gadis yang ternyata berparas ayu itu dengan wajah pucat karena panik.
Gibran terpesona pada pandangan pertama, Gadis itu berkulit sawo matang, tidak putih, tetapi dia manis. Rambutnya panjang hingga ke pantatnya, dengan dikucir kuda. Gadis itu memakai kulot panjang salur dan kaos polos lengan pendek berwarna Hitam.
"Bang...abang..." panggil gadis itu sambil menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Gibran.
"Eh, oh. Iya. Ini tas kamu." jawab Gibran tergagap.
"Terimakasih ya bang, udah nolongin saya." kata gadis itu.
"I-iya, sama-sama. Eh, anu...ehm kok jadi kaku gini ya? Jangan panggil bang ya neng, panggil Mas aja, saya ga biasa dipanggil abang, soalnya saya bukan asli Jakarta. Tapi asli Jawa." jawab Gibran sambil cengengesan.
"Oh, iya mas. Ya ampun mas, itu muka mas sampe bonyok gitu, saya obati dulu ya mas." kata gadis itu iba.
"Eh, ga usah. Santai aja. Entar juga sembuh, cuma luka kecil doang." jawab Gibran santai.
"Tapi itu memar mas pasti sakit banget." kata gadis itu dengan wajah cemas.
"Engga kok. udah santai aja. Ya udah, saya permisi dulu ya." kata Gibran yang mulai merasa grogi diperhatikan gadis cantik itu sambil melangkah pergi menuju tempat belanjaannya tadi.
"Bang, Eh, mas, tunggu!" panggil gadis itu.
Gibran pun membalikkan badan dan menoleh ke ada gadis itu.
Gadis itu berjalan kearahnya.
"Ehm, kenalin, saya Mayang mas. Mas siapa?" tanya Mayang memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan ingin bersalaman.
"Sa-saya...Gibran." jawab Gibran grogi sambil menerima uluran tangan itu.
"Salam kenal ya bang." kata gadis itu sambil tersenyum manis.
"Aduh dek...jangan senyum dong, bisa diabetes ini mas..." batin Gibran semakin merasa grogi, sehingga jabatan tangannya tidak segera dilepaskannya.
"Ehm, mas...udah ya salamannya." kata gadis bernama Mayang itu.
"I-iya Sayang, eh...Mayang Hehehe, maaf, keliru manggilnya. Ehm, ya sudah saya permisi dulu. Mau ambil belanjaan, mau pulang." kata Gibran dengan grogi.
"Oh. iya mas, sekali lagi. terimakasih mas."
"Iya, sama-sama." jawab Gibran.
Gibran pun kembali ke tempat belanjaannya berada, dan disana sudah ada si Ucok, teman ngobrol Gibran ketika selesai belanja dan menunggu angkot.
"Eh, bang Ucok, makasih bang, udah jagain belanjaan gue." kata Gibran.
"Lagian, elo tu, niat banget nolongin orang, nyelametin harta orang, sampe lupa sama hartanya sendiri. Kalau belanjaan ini diambil orang. gimana coba? Mau ngomong apa lo sama bos elo itu?" tanya Ucok.
"Hehe. Iya bang, sekali lagi, terimakasih bang. Tadi refleks bang dan panik. ga inget belanjaan." jelas Gibran.
"Okey, gue tinggal ya. Ada panggilan itu." kata Ucok pamit pada Gibran.
"Oke bang."
Setelah kepergian Ucok, Gibran akhirnya mendapat angkot untuk membawanya pulang ke kontrakannya. Sesampainya di kontrakan nya Gibran segera mengerjakan tugasnya, dia langsung mengolah adonan bakso itu dan menyiapkan segala keperluannya. Siangnya, bakso sebanyak Sepuluh Kilo sudah selesai diolahnya, Gibran dengan dibantu seorang temannya, yang fokus membantu di warung, sudah siap menerima para pelanggan di warung.
"Ini lho Li, bakso langganan gue yang bikin ketagihan, selain rasanya manteb, penjualnya juga cakep." kata seorang gadis sambil datang ke warung Gibran sambil menggeret tangan Temannya.
"Mas, bakso jumbo dua ya." kata gadis itu kepada Gibran yang sejak tadi sedang fokus melayani pelanggan.
"Siap kak, silakan ditunggu dulu ya kak." jawab Gibran ramah sambil menoleh ke pelanggannya
Seketika gadis yang digandeng temannya tadi menoleh ke arah Gibran dan begitupun dengan Gibran yang tak sengaja juga menoleh ke arahnya.
"Mas Gibran?" kata gadis itu heran dengan telunjuk kanan menunjuk Gibran.
"Eh, mbak Lia ya?" sapa Gibran.
"Iya. Yaa Ampun, apa kabar mas? Mas Gibran jualan di sini?" tanya Lia.
"Iya mbak, Mbak Lia kok ada di sini?" tanya Gibran.
"Iya, ini tadi kebetulan lagi jalan-jalan, eh temenku ini ngajakin makan di sini. Tau kalau mas Gibran kerja disini, pastinya bakal sering-sering dong aku ke sini." kata Lia.
"Eh, bentar... kalian saling kenal?" tanya teman Lia.
"Iya Sya, ini lho mas Gibran, yang dulu pernah gue ceritain, pas gue pulang dari Jogja, gue ketemu cowok dari Solo. Ya ini orangnya, namanya mas Gibran." kata Lia memperkenalkan Gibran.
"Oh, mas ini ya yang dimaksud? Sama dong, penjual cakep yang gue maksud juga mas Gibran ini Li. Hehehe." kata Tasya, teman Lia.
"Hahaha, cakep? Emang saya cakep kak?" tanya Gibran sambil tertawa.
"Hehehe, iya mas. Temenku ini suka banget makan bakso di sini, katanya selain rasanya manteb, penjualnya juga cakep." kata Lia.
"Jadi ke geeran aja ini saya mbak." kata Gibran tersipu malu.
"Eh, ya sudah, silakan ditunggu dulu ya mbak, saya buatkan dulu pesanannya." kata Gibran kepada dua gadis ayu itu.
Saat Gibran sedang membuat ka pesanan, teman Gibran yang membantu melayani pelanggan mendekati Gibran sambil menunggu pesanan yang dibuat Gibran.
"Cie...mas Gibran ada yang ngefans." goda Joko, teman kerja Gibran.
"Apaan sih Jok, biasa aja kali." kilah Gibran yang masih tampak grogi.
"Khusus mbak-mbak itu, mas Gibran sendiri aja ya yang nganterin pesanannya." kata Joko.
"Kok gitu?" tanya Gibran.
"Mumpung sepi mas, ngobrol dulu aja sama mereka." kata Joko.
"Gitu ya? Boleh." jawab Gibran.
Setelah menyiapkan pesanan untuk Lia dan Tasya, Gibranpun mengantarkan pesanan mereka.
"Ini mbak pesanannya. Bakso jumbo dua, minumnya mau apa mbak?" tanya Gibran ramah.
"Ini aja mas, air mineral." jawab Lia.
"Aku juga mas, ini aja." jawab Tasya.
"Ehm... mas Gibran nih, namanya unik ya, kaya nama anak presiden." kata Tasya.
"Hahaha, iya, emang mas Gibran kan anaknya pak Presiden mbak. Cuma bedanya, Gibran yang itu beruntung, ganteng, kaya, pinter, jadi anak presiden. Kalau Gibran yang ini, kebalikannya mbak. Muka pas-pasan, miskin, bodo dan anak rakyat jelata." jawab Gibran dengan terkekeh.
"Hahaha, bisa aja mas Gibran ini." kata Tasya yang semakin tertarik dengan sosok Gibran.
Merekapun makan bakso sambil sesekali ditemani Gibran mengobrol, namun ketika ada pelanggan, Gibran melayani pelanggan dulu, barulah kembali kepada Lia dan Tasya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments