Purnama Milik Sang Antagonis
Liv Themaris tidak pernah menunggu saat-saat indah hadir dalam hidup. Kesehariannya sebagai elf yang terlahir berbeda, dilaluinya dalam tangisan dan ratapan nasib. Tidak pernah ada hal baik terjadi sejak ia membuka mata pertama kali di dunia.
Sama sekali tidak pernah, setidaknya sampai tiap kali purnama tiba sejak dua bulan lalu, seperti malam ini.
"Untuk kali ini, aku pakai yang mana, ya?"
Liv sedang sibuk memilih kain gaun berwarna apa yang akan ia kenakan. Jantungnya berdegup kencang. Liv mengeluarkan semua koleksi warna yang ada di lemari ke atas ranjang.
Pakaian wanita di Kerajaan Legolas adalah perpaduan dua kain panjang, yang satunya berwarna pastel dan lainnya mencolok. Keduanya dililitkan ke tubuh saling bertumpu, dengan warna pastel di sisi dalam.
Ternyata, kain-kain yang warnanya mencolok sudah mulai pudar. Sekarang, semua jadi terlihat pastel. Liv terlahir dengan kulit hitam keunguan, tidak seperti elf lain yang putih porselen. Ia takut warna itu tak menyatu dengan warna kulitnya.
"Kalau seperti ini, semuanya jadi tidak terlihat cocok dengan warna kulitku ... ," ucap Liv murung.
Tentu saja, warna-warna kain itu semuanya pudar, karena seluruhnya adalah lungsuran milik kakaknya. Meski begitu, Liv harus tetap bersyukur, setidaknya Melian diizinkan sang ayah memberikan pakaian-pakaian lamanya pada Liv.
Terlahir berbeda memang membuat Liv banyak mendapat ketidakadilan, bahkan dari orang-orang terdekat. Ruang loteng berukuran tiga kali tiga meter tempatnya berada saat ini pun juga bukanlah kamar yang pantas dimiliki oleh seorang putri bangsawan.
Di dalam kamar itu hanya berisi ranjang tunggal, lemari kayu lama, serta sebuah meja kayu sederhana dan kursi. Gelar Liv sebagai putri bangsawan memang sekadar nama saja. Dia tidak pernah mendapat perlakuan layaknya seorang elite.
"Oh iya, seharusnya tidak masalah aku pakai warna terang. Malam ini, 'kan, purnama!" seru Liv, kali ini bernada ceria.
Akhirnya, pilihan jatuh pada kain putih untuk sisi dalam, dan putih juga untuk sisi luar.
Liv memakai paduan kedua kain tersebut dan berkaca pada cermin kecil di atas meja. Cermin tersebut jelas tak cukup tinggi untuk mencakup pantulan dari kepala hingga kaki. Namun, apa daya, cermin lemarinya sudah pecah sejak tiga bulan lalu.
Meski begitu, Liv sudah cukup bahagia. Gadis itu tersenyum sambil sedikit memutar tubuh ke kiri dan kanan.
Kemudian, Liv menepuk-nepuk pergelangan tangan dan beberapa bagian tubuh menggunakan minyak mawar pemberian Melian. Aroma wangi bunga pun tercium dari tubuhnya.
"Sepertinya sudah cukup. Semoga nanti ia suka penampilanku malam ini," ucap Liv, sembari tersipu.
Sebelum keluar kamar, Liv mengenakan mantel biru tua bertudung. Jangan sampai para warga tahu ada seorang gadis keluar rumah di malam hari, sendirian tanpa seorang pendamping. Hal itu adalah tradisi tidak tertulis di Kerajaan Legolas. Akan menimbulkan omongan tidak sedap bila dilanggar.
"Semoga yang lain tidak sadar kalau aku pergi keluar rumah!"
Liv turun dari kamar yang terletak di dahan teratas pohon wastu kediaman keluarga Themaris. Gadis itu menuruni tanaman merambat dekat jendela kamarnya, sangat berhati-hati supaya tidak jatuh.
Liv juga berusaha untuk tidak menimbulkan suara, ketika dirinya baru saja melewati kamar Melian. Terlihat si kakak sedang belajar giat, sampai tidak menyadari Liv baru saja lewat di depan jendela.
Tak butuh waktu lama bagi putri bungsu keluarga Themaris itu untuk bisa menginjak tanah. Ia mengendap-endap dari para prajurit jaga menuju halaman belakang.
Liv berjongkok di balik semak, mencari-cari penutup lubang rahasia yang ia ciptakan sendiri di area tanah bawah pagar, untuk pergi dari pekarangan wastu.
Bulan tampak bersinar bulat utuh dan sangat terang. Cahaya yang selalu Liv tunggu-tunggu. Sebab, ketika ia bermandikan sinar purnama, Liv bisa tampak normal seperti elf lain.
Kulit gelapnya berubah menjadi putih porselen. Hanya saat purnama tiba, Liv bisa merasakan hidup tanpa hinaan.
Liv segera berjalan menuju danau di area belakang kompleks istana kerajaan. Suasana ibu kota begitu sepi di malam hari. Meski begitu, Liv tetap memilih menyusuri tanah sempit di sela-sela pepohonan yang jarang dilewati para warga. Hanya memakan waktu sepuluh menit bagi Liv untuk pergi dari distrik bangsawan ke kompleks istana.
Setibanya di tujuan, Liv duduk di tepian danau. Suasana area itu cukup ramai di siang hari, tetapi berbanding terbalik ketika malam. Rembulan tampak bersinar penuh dan cahayanya terpantul di atas permukaan air.
"Oh, dia belum di sini." Liv mengedarkan padangan ke sekitar. Tak ada seorang pun di sana.
Ada seseorang yang Liv tunggu, sampai ia nekat keluar malam sendirian seperti ini. Sudah dua bulan terakhir, Liv melewatkan waktu, bercengkerama dengannya. Mereka berdua sepakat untuk bertemu tiap malam purnama tepat di tepian danau.
Akan tetapi, kali ini rupanya berbeda. Ketimbang bertemu dengan orang yang dinanti, Liv malah mendengar ribut derap kaki. Beberapa orang sedang berlarian di sekitar danau.
Mata Liv membelalak, gadis elf itu menjadi waspada. Ia takut kalau para warga mengetahui tindakannya yang di luar etika. Kemudian, yang muncul tergesa-gesa berlari ke arahnya bukan yang Liv tunggu sejak tadi, melainkan sesosok lelaki asing.
Siapa itu?
Liv panik, ia ingin segera kabur dari sana. Namun, lelaki asing itu terus berlari mendekat. Liv segera beranjak. Ketika gadis itu mulai menjauh, tangannya langsung diraih dan dicengkeram kuat-kuat.
"Kamu! Tunggu! Namamu Liv Themaris, kan?" tanya lelaki itu. Liv segera menggeleng, menyangkal nama pemberian mendiang ibunya.
"Bu-bukan, aku---"
"Jangan bohong! Aku sangat mengenalmu! Fitur wajahmu kutulis cukup rinci, layaknya tokoh-tokoh utama lain di novel ini. Lagi pula, cuma kamu yang akan duduk di tepian danau setiap malam purnama!" sahut lelaki itu, membuat Liv terkesiap. Gadis itu tidak menyangka bahwa ada orang lain yang mengetahui rahasianya.
Sinar rembulan ikut menyinari lelaki di hadapan Liv. Rambutnya hitam dipotong pendek, tetapi panjang di samping hingga menutupi daun telinga.
Apa yang dikenakan lelaki itu terlihat tak biasa, berupa kain berlengan panjang, berwarna putih tipis, pendek hanya sampai pinggang. Tidak seperti pakaian elf pada umumnya yang cenderung panjang hingga kaki. Kedua kakinya polos tanpa alas sedikit pun, kotor berlumur tanah.
"Tapi aku tidak mengenalmu!" seru Liv dengan nada suara ditahan. Ia takut para warga lain dapat mendengar mereka.
"Aku tahu! Dengar, aku butuh bantuanmu! Ikut denganku! Akan kujelaskan semuanya!"
Liv terlihat bimbang. Jelas ia tidak ingin mengikuti seorang lelaki asing sembarangan, tetapi juga penasaran bagaimana lelaki ini bisa mengetahui namanya dan kebiasaannya pergi ke danau.
Derap kaki cepat melintas di dekat mereka, beserta teriakan-teriakan bersahutan. Lelaki asing itu segera menarik tangan Liv untuk bersembunyi di belakang semak belukar terdekat.
"Ke mana makhluk itu!"
"Aku tidak melihatnya di dekat sini!"
"Cepat cari!"
Begitu orang-orang itu menjauh, si asing langsung menggandeng tangan Liv dan mengajaknya menjauh dari area danau.
"Ayo, kita segera pergi!"
Tak ada pilihan lain, Liv segera mengikuti. Batal sudah rencana Liv untuk bertemu dengan seseorang yang ditunggunya di tepi danau. Saat ini, ia malah pergi dengan sosok yang sama sekali berbeda.
Liv melirik ke arah tangannya yang digandeng erat oleh lelaki tersebut. Seumur hidup, belum pernah Liv digandeng orang lain selain kakaknya.
Liv dan lelaki itu tiba di dekat akar pohon besar, rumah seseorang. Mereka berdua jongkok merapat di balik akar. Lelaki asing itu meminta Liv untuk menutup mulut supaya napasnya tidak sampai terdengar. Ketiga elf melewati akar tersebut tanpa mengetahui kalau ada dua makhluk bersembunyi di baliknya.
"Tidak ada di sini juga!"
"Pergi ke mana monster barbar itu! Ayo, kita cari di sebelah sana!"
Para elf yang mengejar lelaki asing itu akhirnya pergi dari lokasi. Si lelaki mengajak Liv ke arah berlawanan. Hingga akhirnya, mereka berdua berhenti di bawah akar pohon lain yang tumbuh melintang melewati kepala.
Kemudian, lelaki itu melepaskan tangan Liv dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Liv sendiri memegangi tangannya yang masih basah karena terkena keringat dari telapak tangan lelaki tersebut.
"Kau siapa? Kenapa tahu namaku?"
Orang asing itu melirik ke arah Liv, lalu duduk di rerumputan dan berselonjor. Dia tampak santai sekali setelah membuat Liv penasaran dan mengajaknya berlari-lari bersama.
"Oke, aku akan perkenalkan diri. Namaku Dean. Aku bukan berasal dari sini."
"Ah, apa kamu baru datang dari kerajaan lain? Lalu, dari mana kau tahu namaku?" tanya Liv. Dari nama Dean saja sudah terdengar berbeda di telinga Liv. Seperti nama yang bukan berasal dari Legolas.
Dean mengibaskan tangan saat mendengar pertanyaan Liv. "Bukan. Maksudku, aku berasal dari dunia lain. Bisa dibilang, aku adalah penciptamu."
"Hah? Pencipta?" Liv semakin kebingungan.
"Akulah yang menciptakan dunia ini dan seluruh isinya," jelas Dean singkat.
"Tapi, kamu tidak tampak seperti Dewa bagiku." Liv mengamati baik-baik perawakan Dean. Lelaki itu bernapas seperti biasa dan kakinya berpijak ke tanah. Sudah pasti dia adalah makhluk yang sama seperti Liv.
"Aku tidak selevel dengan Dewamu! Aku bahkan adalah pencipta Dewa yang kalian sembah-sembah itu!" seru Dean sengit.
Wajah lelaki itu tampak mulai gusar. Sebelum Liv menanyakan hal lain lagi yang lebih membuat kesal, Dean menghela napas sejenak sebelum memberi pernyataan mengejutkan.
"Namaku Dean. Aku adalah penulis. Dunia yang kamu tinggali ini dan semua isinya, termasuk kamu, adalah hasil imajinasiku dalam sebuah novel."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Meili
hai Thor
2023-05-26
0
SoVay
waaahh ternyata ini crta aslinya ❤️
2023-03-28
1