19. Darah Merah

"Melintasi alam semesta ...?"

Liv tampak tak mengerti dengan semua penjelasan Dean. Semua ini hal baru baginya. Mengetahui bahwa dia bisa mengubah takdir saja sudah merupakan sesuatu yang sangat hebat, apalagi kenyataan kalau seseorang bisa pergi ke dunia lain sesuai keinginan.

Dean menjelaskan bahwa Haldir dapat melintasi semesta, pergi ke dunia paralel melalui portal yang ada di ruang bawah tanah kuil Lileathhof. Di dunia itulah, Haldir bisa menempa dirinya menjadi sangat kuat secara singkat, karena memiliki perbedaan waktu yang signifikan.

Liv makin bingung. "Lalu, apa gunanya diriku untuk ikut perjalananmu?"

"Ada dua benda yang dibutuhkan untuk mengaktifkan mantra kuno, agar bisa pergi ke dunia lain. Pertama, sebuah objek yang berasal dari dunia tujuan. Kedua, tetesan darah bangsawan."

"Ah, jadi ... ," Liv berusaha mengambil kesimpulan. Dean mengangguk. Namun, sesaat kemudian, Liv menggeleng, lalu berkata, "Tapi perjalanan ke Nautabu itu cukup jauh dan sihirku itu sangat lemah! Apa kau yakin, tidak ingin mencari bangsawan lain saja?"

Dean menghela napas, dirinya mulai gusar. "Apa kau tidak mendengar apa yang kukatakan sebelumnya? Ada cara agar kau bisa menjadi sangat kuat! Bahkan, yang terkuat bila dibandingkan seluruh elf yang ada di dunia ini!"

"Ta-tapi bagaimana bisa?"

"Aku menulis, bahwa ketika kau mengetahui Haldir dan Melian saling jatuh cinta, kau mulai patah hati. Kau sengaja kabur dari rumah dengan perasaan marah, lalu pergi ke kota Themaris. Di kota itulah, ada bongkahan kristal mana besar yang tidak diketahui siapa pun, terletak di dalam sebuah gua terbengkalai. Kau menyentuhnya, lalu---"

"Menjadi sangat kuat?" tanya Liv, menyambung perkataan Dean.

Pemuda itu mengangguk. "Tepat. Sebelum pergi ke Lileathhof, aku akan mengajakmu ke sana terlebih dahulu. Bagaimana?"

Liv duduk di tepian tempat tidur. Pikirannya begitu berkecamuk. Gadis itu memangkukan kepala dengan kedua tangan, menyembunyikan wajahnya. Hanya dalam waktu kurang dari satu hari, Liv sudah banyak mengetahui kenyataan tentang dunia tempat tinggalnya. Lalu sekarang, Liv bisa mengubah takdir asalkan menemani manusia asing ini pergi ke kuil di puncak gunung.

Tentu saja, gadis itu ingin mencobanya. Apa pun cara agar dia bisa lepas dari kutukan yang dia terima sejak lahir, Liv mau melakukannya. Akan tetapi, permasalahannya di sini, apakah Liv diizinkan untuk pergi atau tidak.

Selama ini, ayahnya tidak pernah membiarkan Liv pergi kemana pun. Keberadaannya membuat keluarga Themaris sering mendapat hinaan. Meski begitu, Melian selalu berusaha mengajak adiknya itu jalan-jalan keluar, sekadar mencari udara segar. Tak jarang juga, Melian mendapat teguran keras dari sang ayah setelahnya. Olrun ingin agar keberadaan putri keduanya itu tetap tersembunyi, entah sampai kapan.

Jadi, meminta izin pada Olrun untuk pergi ke kuil di pegunungan, di ujung barat laut Kerajaan Legolas, sangat kecil kemungkinannya akan dikabulkan. Olrun juga tidak mungkin percaya kalau seandainya diberitahu bahwa ada cara untuk mengubah takdir Liv maupun istrinya. Dia hanyalah pria tua dengan pemikiran konservatif. Bisa-bisa, Dean justru ditangkap, lalu dibawa ke istana untuk dipasung karena rasnya yang manusia.

"Aku ... akan pertimbangkan terlebih dahulu," ucap Liv.

Dean mengernyitkan dahi, lalu berdecak. "Tch! Apa lagi yang mau kau pikirkan, hah? Ini menyangkut hidupku dan takdirmu!"

"Ayah tidak akan mengizinkanku keluar rumah dan pergi jauh seperti itu!" balas gadis elf itu gusar.

Dean menghela napas panjang. "Kita tidak punya banyak waktu."

"Maksudmu ...?"

"Portal itu hanya bisa dibuka satu kali dalam setahun. Tepatnya, malam saat fase bulan baru muncul, sebelum musim dingin tiba." Dean memang menulis seperti itu dalam ceritanya, sebagai tantangan untuk Haldir untuk tiba di kuil dalam waktu yang sempit. Dean tidak menyangka, dirinya harus mengalami hal yang sama sekarang.

"Itu berarti ... kita hanya punya waktu dua minggu dari sekarang?" tanya Liv memastikan.

"Benar. Maka dari itu, ambil keputusan cepat! Hanya kau yang bisa membantuku!" perintah Dean.

"Aku---"

Belum selesai Liv menjawab perkataan Dean, terdengar suara pintu kamar diketuk dari luar. "Liv, ini aku. Kau sedang berbicara dengan siapa?"

Liv terkesiap, lalu berbisik, "Itu kakakku! Cepat pergi dari sini!"

"Tapi---"

"Sudah, keluar dulu, sana!" Liv mendorong tubuh Dean supaya pemuda itu pergi melalui jendela. Dean melongok keluar sejenak, lalu menoleh kanan-kiri untuk memastikan keadaan sekitar aman. Kemudian, pemuda itu turun dari jendela melalui tanaman merambat.

"Ingat, ambil keputusan cepat! Kau bisa menemui aku di Penginapan Lily di Litavenue!" seru Dean sembari berbisik, sebelum akhirnya pergi meninggalkan halaman mansion keluarga Themaris.

"Liv, apa kau ada di dalam?" tanya Melian lagi dari balik pintu.

"Tunggu sebentar, Kak!" Liv segera membersihkan kamarnya, barangkali ada jejak Dean yang tersisa. Lalu, Liv membukakan pintu. "Ada apa?"

Melian melongok ke dalam kamar Liv, lalu bertanya, "Tadi sepertinya aku mendengar suara seseorang. Apa benar?"

"Ah, ummm ... itu tidak mungkin, Kak! Aku selalu sendirian di kamar ini, bukan?" Tentu saja Liv berbohong mengenai keberadaan Dean barusan.

Melian tampak mengangguk. "Baiklah. Oh iya, aku membuat kue untukmu, ada di dapur. Ayo! Kau harus mencobanya!"

"Kue? Iya, aku mau!" seru Liv bergembira. Gadis itu pergi lebih dulu dari pada kakaknya.

Melian melongok ke dalam kamar Liv sekali lagi. Merasa tidak ada yang perlu dicurigai, dia hendak menutup pintu. Namun, belum sempat pintu tertutup seluruhnya, Melian melihat ada bekas noda menghitam, seperti tetesan sesuatu di lantai kamar adiknya itu. Tidak banyak, hanya saja warna gelapnya cukup mencolok di atas lantai kayu cokelat muda.

Melian mendekat ke arah noda tersebut, lalu mencoleknya. Cairan merah kental menempel di ujung telunjuk. Melian mengamatinya saksama dan menciumnya. Bau anyir. Melian merasa mengenali aroma tersebut.

"Ini ... baunya seperti darah ... tapi kenapa warnanya merah?" tanya Melian heran. Tentu saja dia terheran. Aroma tetesan itu anyir seperti darah, sedangkan warnanya merah. Padahal, darah elf di dunia ini berwarna putih kehijauan.

***

Malam itu, Liv kembali mengunjungi tepi danau. Setiap pertengahan bulan, cahaya purnama memang akan bersinar selama maksimal tiga hari, sebelum akhirnya sinarnya menutup sebagian dan berubah jadi bulan baru. Seperti biasa, kulit hitam Liv langsung berubah menjadi putih setelah bermandikan cahaya purnama.

"Bulan baru ... ." Liv teringat akan ucapan Dean tadi siang, sembari memainkan kaki yang dicelup ke dalam danau. "Apa benar perpindahan dunia itu nyata? Tapi, aku masih belum percaya sepenuhnya ... ."

Tak berapa lama, Liv melihat Haldir datang menghampiri. Liv pun bangkit dari duduknya untuk menyambut sang Pangeran. "Haldir, kau sudah data---"

"Kenapa kau berbohong padaku?" tanya Haldir, menyela perkataan Liv. Gadis itu mengernyit tak mengerti. "Berbohong apa maksudmu?"

"Namamu ... Kau bukan Melian, kan?!"

Haldir mendelik tajam pada Liv yang tengah terkesiap. Raut wajahnya begitu panik, tetapi Haldir terus mencecar, "Namamu adalah Liv Themaris, dan Melian adalah nama kakakmu! Benar begitu, bukan?"

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!