3. Kabut Hitam

Raut wajah Melian ditekuk, sejak pulang dari rencana jalan-jalannya yang gagal bersama Liv. Pikiran gadis itu begitu kalut. Dia terus duduk termenung di sofa lobi. Menjaga Liv adalah amanah terakhir mendiang sang ibu, tetapi tidak bisa dijalani oleh Melian dengan baik.

Olrun Themaris yang tak sengaja melewati lobi dari ruang kerja melihat wajah Melian yang sedang tidak bersahabat. "Putri Ayah kenapa sendirian di sini?" sapa Olrun sembari melangkah masuk ke lobi. Melian memasang senyum di hadapan sang ayah, berusaha menunjukkan kalau tidak terjadi apa pun.

"Oh, Ayah. Sudah selesai kerjanya?" tanya Melian. Olrun duduk di samping putri sulungnya.

"Sudah. Menghitung keuangan dan mengatur pajak wilayah Themaris memang menguras pikiran. Tapi setelah ini, Ayah harus pergi menghadiri rapat bersama Yang Mulia dan para Elvenar di istana," sahut Olrun sambil menghela napas.

Melian menampilkan raut wajah khawatirnya. "Ayah jangan terlalu lelah. Ingat, jaga kesehatan!"

"Ayah mengerti, Sayang. Rapatnya tidak akan berlangsung lama. Tenang saja," balas Olrun sambil tersenyum. Pria itu menatap Melian lekat-lekat.

"Ada apa, Ayah? Kenapa menatapku begitu?" Melian bertanya heran. Olrun membelai rambut gadis itu dengan penuh kasih.

"Ayah hanya teringat pada ibumu. Wajahmu mirip sekali dengannya."

"Kepintarannya juga?"

"Kepintaranmu mirip aku!" tandas Olrun. Melian tertawa mendengarnya.

"Iya, ya. Aku berhasil menjadi juara kelas sepanjang tahun juga berkat Ayah! Hehehe!"

Memang tidak diragukan, bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Olrun di masa muda juga merupakan kebanggaan keluarga. Baik dalam pelajaran di akademi maupun pertarungan bela diri, Olrun selalu menjadi juara. Otak cerdas dan fisik kuat menjadikan Olrun ditakuti oleh siapa pun.

"Didikan Ayah berhasil padamu. Ayah jadi ingin mengirimmu sekolah ke kerajaan tetangga yang terkenal dengan pendidikannya."

Melian mengingat-ingat kerajaan tetangga mana saja yang sistem pendidikannya baik. Dia dapat mengingat satu nama dan bertanya memastikan, "Kerajaan Cowper?"

"Tepat! Ayah ingin mengirim kamu ke sana, bila kamu bersedia," usul sang ayah.

"Aku akan menuruti apa pun yang Ayah inginkan, tetapi dengan satu syarat."

Melian mengacungkan satu jari ke hadapan ayahnya. Olrun mengernyitkan dahi, tak menyangka bahwa putrinya akan memberi persyaratan. "Apa itu?

Melian menghela napas sejenak. Dia tahu bahwa permintaannya akan langsung ditolak sang ayah. Akan tetapi, Melian berpikir bahwa tidak ada salahnya mencoba.

"Aku ingin agar Ayah juga mendaftarkan Liv untuk masuk akademi," kata Melian, berhati-hati sekali. Usia Liv memang sudah cukup untuk bisa menerima pendidikan di luar rumah. Di Kerajaan Legolas, pendidikan di luar rumah sudah bisa ditempuh saat seseorang mencapai lima belas tahun. Sedangkan Liv sudah berusia enam belas tahun ini.

Wajah Olrun yang tadinya ceria spontan menegang. Urat-urat di dahi pria paruh baya itu sampai terlihat saking emosinya. Beliau beranjak dari sisi Melian.

"Jangan sebut-sebut nama makhluk itu lagi di hadapanku!" geram Olrun. Kedua tangan mengepal kuat di sisi tubuh, sampai kuku jemarinya terasa menusuk.

Melian ikut beranjak dari sofa melihat ayahnya tegang seperti itu. "Tapi, Ayah, Liv itu juga darah dagingmu! Putri kandungmu juga, sama seperti aku!"

"Dia bukan putriku!" teriak Olrun. Nafasnya terdengar memburu.

"Kenapa Ayah setega itu memperlakukan dia bagai orang asing? Apa Ayah lupa, bahwa amanah terakhir Ibu adalah untuk menjaga Liv?"

"Karena dia yang membunuh istriku dengan segala kutukan yang menempel di tubuhnya!"

"Apa?" Melian terperangah. Gadis itu merasa tidak pernah mendengar kenyataan itu sebelumnya.

"Kamu tidak tahu kejadian sebenarnya, Nak. Makhluk itu memang menginginkan ibumu tiada supaya dia bisa tetap hidup ... ."

"A-apa maksud Ayah?" tanya Melian penasaran. Gadis itu tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang bayi mungil menginginkan ibunya tiada?

Olrun mengempaskan diri ke sofa. Pikirannya menerawang. Pria itu mulai bercerita tentang kejadian silam ketika Liv baru lahir. Bayi yang begitu dinanti-nantikan, ternyata menghadirkan raut wajah kecewa dari sang kepala keluarga, yakni Olrun.

Kulit bayi tersebut hitam, tidak putih bersih seperti kakaknya yang lahir tujuh tahun lebih dulu. Rambutnya putih gading, sama seperti Olrun. Iris matanya ungu layaknya keturunan Themaris sejati. Akan tetapi, warna kulit bayi itu benar-benar seperti baru saja mendapat kutukan dari Dewa. Tangisan yang keluar dari mulut mungilnya juga memekik bising, tidak seperti tangisan bayi pada umumnya.

Olrun sampai bertanya pada tabib berkali-kali mengenai apakah bayinya normal bila seperti itu. Namun, tak ada satu pun tabib yang mampu menjelaskan secara pasti. Yang jelas, ada satu kesamaan dari jawaban semua tabib.

"Sihir anak ini amat lemah, dan tidak bisa berkembang sebagaimana elf pada umumnya. Ini fenomena yang tak pernah terjadi sebelumnya."

Meski terlahir memiliki berbagai kekurangan, Elanor – ibu si bayi yang juga merupakan istri tercinta Olrun – tetap mendekap putrinya itu. Kedua mata Elanor menunjukkan tatapan kasih sayang. Begitu Olrun melangkahkan kaki ke kamar persalinan Elanor, istrinya itu menyambut sang suami dengan semringah.

"Olrun, bayi kita cantik sekali, ya!" kata Elanor saat itu.

Sedikit pun Elanor tak pernah berpikir untuk berkomentar mengenai kulit gelap bayi tersebut. Wanita itu tetap menyusui si bayi secara telaten, seperti yang dia lakukan pada Melian saat lahir.

Tadinya, Olrun tidak pernah memiliki masalah terhadap kekurangan putri keduanya itu. Pria itu bahkan mengajak putri sulungnya masuk ke kamar persalinan, agar ia bisa menyambut kelahiran si adik.

Tadinya, Olrun sama sekali tidak membenci kehadiran bayi tersebut. Segala kekurangan si bayi akan diterima dengan lapang dada. Siapa pun yang menghina nanti akan berhadapan dengan pasukan keluarga Themaris, selama istri yang begitu ia cintai dapat tersenyum bahagia selamanya.

Tadinya, Olrun berpikir seperti itu.

Namun, yang terjadi berikutnya benar-benar di luar nalar. Bayi berkulit gelap tersebut mengeluarkan sejulur kabut hitam dari dalam mulut mungilnya. Kabut hitam itu bergerak, seolah memiliki nyawa sendiri.

Detik berikutnya, kabut tersebut masuk ke mulut dan telinga Elanor, menghisap seluruh energi sihirnya. Elanor pun tak kuasa menahan kekuatan hitam yang begitu besar. Meski si bayi sudah dijauhkan dari sang ibu, kabut hitam itu terus bergerak.

Perlahan, wajah berseri Elanor berubah menjadi pucat dan keriput. Seluruh inti sari tubuhnya terkuras habis, hanya menyisakan detik-detik terakhir napas penghabisannya. Olrun berteriak histeris, mencegah ajal menjemput istrinya, tetapi sia-sia.

Sebelum menghembuskan napas terakhir, Elanor sempat berpesan pada Melian untuk tetap menyayangi adiknya apa pun yang terjadi. Beliau juga berpesan untuk memberi nama "Liv" pada si adik, yang berarti "hidup".

"Jagalah Liv, aku ingin dia tetap hidup, itu saja."

Begitulah pesan Elanor pada Melian saat itu. Namun, Olrun tidak mengindahkan pesan tersebut. Terbakar oleh rasa amarah yang menggebu-gebu, Olrun mengambil sebilah belati. Ia mengambil Liv dari gendongan sang tabib, bermaksud ingin menggoroknya di tempat.

Meskipun Melian sudah berusaha mencegah sampai menangis, Olrun tidak peduli. Elanor adalah poros kehidupan Olrun, kini wanita itu tergeletak tanpa nyawa hanya karena seorang bayi terkutuk.

Akan tetapi, takdir berkata lain. Begitu tubuhnya mendeteksi ada bahaya mendekat, selimut kabut hitam Liv langsung muncul kembali, menyelimuti tubuh mungilnya, dan menebal.

Belati yang ditusukkan oleh Olrun berkali-kali tidak dapat tembus. Baik bagian kulit biasa maupun yang membungkus organ vital, semuanya tidak mampu melukai bayi mungil itu. Seolah kabut hitam itu ingin melindungi si pemilik tubuh.

Olrun pun berusaha menyerang bayi yang tak merasa berdosa itu dengan sihir. Namun, kabut hitam kembali melindungi. Liv, si bayi baru lahir, ternyata kebal pada serangan fisik dan sihir apa pun.

"Aku kehilangan istriku karena dia ... ."

Olrun menutup ceritanya dengan suara parau. Sehari-hari, Olrun terlihat layaknya pria kuat dan tegar. Akan tetapi, saat ini dia tampak seperti anak laki-laki yang menangis tersedu karena kehilangan sesuatu kesayangannya. Olrun sebenarnya berniat membuang Liv sejak bayi, kalau saja kala itu Melian yang masih berusia tujuh tahun tidak langsung menangis. Ia memeluk tubuh mungil Liv erat-erat, ingin tetap menjaga adiknya sampai besar, sebagai kenangan terakhir ibunya.

Melian memeluk tubuh ayahnya yang bergetar menahan tangis. "Ayah, maafkan aku. Saat itu aku juga masih kecil, aku benar-benar tidak ingat kalau kejadian sebenarnya seperti itu."

Sementara itu, di balik pintu Liv mendengarkan keseluruhan cerita sebenarnya dengan air mata yang telah membanjiri wajah. "Ternyata, aku penyebab ibu tiada? Aku yang telah membunuh ibu?"

***

Terpopuler

Comments

Ig : @smiling_srn27 🎀

Ig : @smiling_srn27 🎀

Kok serem ya 😅

2023-06-15

1

IG: @author_ryby

IG: @author_ryby

yayy makasih banyakk 😘

2023-03-28

1

SoVay

SoVay

dah aku sawer jg lhoo

2023-03-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!