8. Kritikan Pedas

Duh, mulai lagi deh! batin Dean kesal. Ia memang tidak suka bila disuruh pulang hanya karena  urusan sepele. "Mama tahu sendiri, kan, kalau aku kerja gini ya juga buat kalian."

"Apa menulisnya enggak bisa dari rumah aja, Nak?"

"Mana bisa! Di sana kan, internetnya enggak stabil. Nanti mau unggah bab baru jadi susah! Belum lagi kalau butuh riset. Terus, aku juga sebal sama lngkungan sekitar rumah!" keluh Dean.

Sang ibu terdengar kaget, saat Dean menyalahkan lingkungan tempat ia tinggal sejak kecil. "Memangnya ada apa, Sayang? Kenapa kamu sebal?"

"Ya, sebal-lah! Tinggal di sana itu harus punya kuping tebal, karena tetangga-tetangga kita itu nyinyir semua mulutnya! Mama lupa, kalau salah satu dari mereka pernah banding-bandingkan anaknya yang dapat kerja bagus di kota?"

"Mama ingat, Sayang ... Tapi itu bukan karena kamu enggak pernah dapat kerja bagus, kan? Kan kamu sendiri yang memilih untuk bolak-balik mengundurkan diri."

"Sudah pasti aku lebih baik resign ketimbang harus kerja di tempat-tempat kayak begitu! Mentang-mentang aku cuma anak magang lulusan SMA, terus mereka bisa seenaknya suruh-suruh aku buat fotokopi dokumen, antar barang. Pernah juga aku diminta masukkan data ke tabel yang jumlahnya ribuan ... posisi yang kulamar kan, bukan untuk jadi pesuruh!"

"Dean, memang yang namanya baru kerja itu seperti itu, Sayang. Itu untuk melatih kamu agar mengenal lingkungan kerja dan rekan-rekan baru. Banyak anak-anak dari saudara Mama cerita, kalau yang seperti itu biasanya hanya satu-dua bulan saja. Mereka ingin lihat, kamu cocoknya di posisi apa. Tapi, kamu baru dua minggu sudah tidak betah. Bagaimana bisa ada kantor yang cocok sama kamu kalau---"

"Ah, sudahlah, Ma! Memang semua kantor sama saja, kok! Pasti karena aku cuma lulusan SMA, jadinya mereka meremehkan!" omel Dean, memotong kalimat ibunya.

Sang ibu hanya bisa sabar sembari mengurut dada. Sifat arogan Dean mulai kambuh lagi. Putra sulungnya berubah seperti itu sejak ditinggal mati oleh ayahnya bertahun-tahun lalu. 

Pertemanan antar anak-anak di sekolahnya dulu cukup kejam. Seseorang bisa saja dirundung hanya karena tidak memiliki ayah. Namun, Dean anak yang kuat. Ia berhasil membalas mereka semua dengan tidak peduli dan selalu menyabet peringkat satu di kelas, juga banyak menjadi juara di bidang lomba tulis-menulis yang sering diadakan sekolah. 

Sayangnya, pendidikan Dean harus berhenti sampai SMA saja, karena ibunya yang hanya berjualan sayur sudah menua dan sakit-sakitan. Beliau tidak punya biaya cukup untuk Dean lanjut kuliah. Harus ada orang yang bisa mencari nafkah tambahan untuk bisa membiayai adiknya sekolah. Dean pun tak ingin, Delia bernasib sama dengannya.

"Lagian, sekarang aku sudah punya penghasilan besar! Aku bahkan bisa mencukupi biaya Delia sekolah sampai selesai! Cukup mengetik naskah dari rumah saja sudah bisa membuatku kaya!" lanjut Dean, membanggakan bakatnya dalam menulis.

"Iya, Sayang. Mama enggak larang kok, kamu mau jadi penulis daring. Tapi, pulang ya, Nak. Kamu jarang sekali pulang sejak jadi penulis ... Tinggalnya di rumah saja. Kalau cuma menulis kan, enggak harus sewa kontrakan di kota. Kalau mau internet stabil, Dean bisa antar kamu cari warnet yang bagus. Dia juga sering kok, ke warnet untuk tugas-tugas sekolahnya," bujuk ibunya sekali lagi, penuh kesabaran.

Namun, Dean memang keras kepala. Terbakar emosi, ia refleks membalas ibunya dengan bentakan, disertai gebrakan meja.

"Kubilang enggak, ya ENGGAK! Kalau aku diam saja di rumah terus dapat uang banyak, itu nanti tetangga-tetangga pasti berpikir aku pakai ilmu pesugihan!!" bentak Dean. "Sudah, ah, aku enggak mau berdebat lagi!"

Dada lelaki itu sampai naik turun saking napasnya menderu, usai menghardik ibunya sendiri. Sedetik kemudian, Dean terkesiap. Ia sadar, tak sepantasnya bertingkah seperti itu. "Maafkan Dean, Ma. Aku terlalu emosi."

"Enggak apa, Sayang ... ." Ibunya tetap berusaha memaafkan, tanpa Dean tahu kalau air mata sudah menitik di pipi beliau. Namun, wanita tua itu tetap berusaha tersenyum dan mengusahakan agar suaranya terdengar baik-baik saja di telepon.

"Mama mengerti sifat kamu. Tapi, kamu juga harus belajar, untuk memahami sudut pandang dan cara berpikir orang lain, Sayang. Dari sanalah kita bisa hidup bersosialisasi sebagai sesama makhluk hidup."

"Iya, iya ... ." Tentu saja, nasihat ibunya yang satu itu sering Dean dengar, tiap kali emosinya habis meledak, dan selalu hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

"Intinya, aku enggak bisa pulang. Masih banyak naskah yang harus dikerjakan. Sampaikan salam saja untuk Delia. Bilang sama dia, kalau mau hadiah apa pun, selama aku mampu, akan aku---."

Tiba-tiba, layar laptop di hadapannya menampilkan notifikasi chat dari grup penggemar karyanya. Dean mendekatkan wajah, lalu membaca cuplikan isi pesan yang tertera di sana.

"Kak Dean, ada yang komentar jelek soal tulisan ... ."

Jelek? Siapa yang berani komentar jelek di karyaku? 

Hanya sepenggal saja yang bisa Dean baca, bila notifikasi tersebut tak dibuka. Lelaki itu bergegas meraih tetikus dan mengeklik pesan tersebut. Grup tersebut seperti biasa penuh dengan obrolan para pembaca eksklusifnya tiap hari, tetapi Dean sendiri jarang ikut mengobrol bersama, kecuali ada yang tag namanya seperti saat ini.

"Ada apa, Nak? Kok tiba-tiba kamu berhenti ngomong?" Suara ibunya membuyarkan fokus Dean yang ingin mencerna apa yang sedang dibicarakan oleh para penggemarnya.

"Oh, Mama. Aku harus tutup telepon, mendadak ada hal penting. Sudah, ya!"

"Lho, ini Delia belum sempat mengobrol sama kamu! Dean---" Tanpa ingin mendengar apa-apa lagi, Dean menekan tombol merah di layar ponselnya untuk memutus sambungan telepon.

Dean tak lagi memedulikan perkataan ibunya barusan, ataupun adiknya yang ingin dapat giliran mengobrol. Cepat-cepat ia menggulir dan membaca satu per satu balon dialog yang muncul. Topiknya sedang panas, tentang ada seseorang yang menggunakan nama anonim untuk menghina karya-karya Dean.

"Ada yang hujat aku? Di karyaku yang mana?" ketik Dean, begitu memahami situasinya. Sesaat kemudian, berbondong-bondong para anggota grup berebut untuk mengetik, menjelaskan duduk perkaranya pada penulis idola mereka itu.

"Ini Kak, yang judulnya Pangeran Yang Terbuang!" Salah seorang di antara mereka membalas. Yang lainnya sampai melampirkan hasil tangkapan layar agar Dean bisa membaca secara jelas.

"Di sini kelihatan jelas kalau penulisnya enggak bisa bikin penokohan yang baik. Masa' karakter antagonisnya dibuat mengalami kemalangan dari awal sampai akhir cerita. Enggak ada senang-senangnya sedikit pun, kecuali pas kenalan sama si Pangeran itu doang! Itu pun juga dikhianati! Terus, protagonis wanitanya dibuat terlalu baik tanpa cela sedikit pun. Jalan ceritanya jadi aneh, terlalu enggak seimbang!"

"HAHH??" Dean naik pitam begitu membaca kritikan pedas yang panjang lebar itu. "Kurang ajar! Kayak sendirinya bisa menulis bagus saja!"

Yang barusan tadi Dean membacanya hanya dari gambar tangkapan layar. Maka setelahnya, ia cepat-cepat mencari di bab berapa kritikus tersebut menceramahinya begitu. Dean makin emosi, ketika komentar tersebut tertulis di bab yang ia unggah satu bulan yang lalu.

"Pembaca gratisan berani komentar macam-macam!" Dean mengutuk. 

Dean tahu si kritikus tadi adalah pembaca yang menikmati tulisannya secara gratis, karena ia berkomentar di bab yang sudah lama diunggah. Platform Beetale memiliki sistem baca lebih dulu.

Pembaca bisa menikmati karya penulis favoritnya secara gratis, dengan jadwal tayang yang lebih lambat per babnya, yakni seminggu dua kali. Bila ingin membaca lebih cepat, pembaca dapat membuka bab yang terkunci - yang ditayangkan setiap hari - dengan membayar koin. Nantinya, koin tersebut akan berubah menjadi rupiah dalam saldo penulis. 

Dean melihat si kritikus hanya berkomentar pada bab yang sudah terbuka, sementara yang masih terkunci aman dari hujatannya.

Ia menggulir cepat dari atas ke bawah, tiap komentar yang ditulis oleh para pembacanya. Tak pernah ada yang negatif, semuanya mengapresiasi dan memberi semangat. Hanya si anonim tersebut saja yang berani berbuat demikian.

Oh, cuma satu orang! Enggak perlu diladeni! begitu batin Dean.

Akan tetapi, kenyataan mengkhianatinya. Selang beberapa menit kemudian, kritikan tersebut mendapatkan balasan dari beberapa pembaca lainnya, yang rupanya sepakat dengan si anonim.

***

Terpopuler

Comments

mami el

mami el

wkwkw, tapi emang konsekuen kalau bikin cerita harus siap dihujat kalau ada pembaca yang engk suka karya mu

2024-03-15

1

Rum Rigel

Rum Rigel

bingung kok tiba tjba berganti latar gitu. balik lagi baca deskripsi ooh iya memang si liv bakal ketemu dean nanti wkwk

2023-07-22

0

marie_shitie💤💤

marie_shitie💤💤

banyak itu yg kyk bgtu,, berkomentar boleh tapi klo g suka tinggal di skip jng menghancurkan karya orang lain karena blm tentu km sendiri bisa sebaik dia dalam menulis dan menuangkan ide cerita

2023-05-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!