Liv Themaris tidak pernah menunggu saat-saat indah hadir dalam hidup. Kesehariannya sebagai elf yang terlahir berbeda, dilaluinya dalam tangisan dan ratapan nasib. Tidak pernah ada hal baik terjadi sejak ia membuka mata pertama kali di dunia.
Sama sekali tidak pernah, setidaknya sampai tiap kali purnama tiba sejak dua bulan lalu, seperti malam ini.
"Untuk kali ini, aku pakai yang mana, ya?"
Liv sedang sibuk memilih kain gaun berwarna apa yang akan ia kenakan. Jantungnya berdegup kencang. Liv mengeluarkan semua koleksi warna yang ada di lemari ke atas ranjang.
Pakaian wanita di Kerajaan Legolas adalah perpaduan dua kain panjang, yang satunya berwarna pastel dan lainnya mencolok. Keduanya dililitkan ke tubuh saling bertumpu, dengan warna pastel di sisi dalam.
Ternyata, kain-kain yang warnanya mencolok sudah mulai pudar. Sekarang, semua jadi terlihat pastel. Liv terlahir dengan kulit hitam keunguan, tidak seperti elf lain yang putih porselen. Ia takut warna itu tak menyatu dengan warna kulitnya.
"Kalau seperti ini, semuanya jadi tidak terlihat cocok dengan warna kulitku ... ," ucap Liv murung.
Tentu saja, warna-warna kain itu semuanya pudar, karena seluruhnya adalah lungsuran milik kakaknya. Meski begitu, Liv harus tetap bersyukur, setidaknya Melian diizinkan sang ayah memberikan pakaian-pakaian lamanya pada Liv.
Terlahir berbeda memang membuat Liv banyak mendapat ketidakadilan, bahkan dari orang-orang terdekat. Ruang loteng berukuran tiga kali tiga meter tempatnya berada saat ini pun juga bukanlah kamar yang pantas dimiliki oleh seorang putri bangsawan.
Di dalam kamar itu hanya berisi ranjang tunggal, lemari kayu lama, serta sebuah meja kayu sederhana dan kursi. Gelar Liv sebagai putri bangsawan memang sekadar nama saja. Dia tidak pernah mendapat perlakuan layaknya seorang elite.
"Oh iya, seharusnya tidak masalah aku pakai warna terang. Malam ini, 'kan, purnama!" seru Liv, kali ini bernada ceria.
Akhirnya, pilihan jatuh pada kain putih untuk sisi dalam, dan putih juga untuk sisi luar.
Liv memakai paduan kedua kain tersebut dan berkaca pada cermin kecil di atas meja. Cermin tersebut jelas tak cukup tinggi untuk mencakup pantulan dari kepala hingga kaki. Namun, apa daya, cermin lemarinya sudah pecah sejak tiga bulan lalu.
Meski begitu, Liv sudah cukup bahagia. Gadis itu tersenyum sambil sedikit memutar tubuh ke kiri dan kanan.
Kemudian, Liv menepuk-nepuk pergelangan tangan dan beberapa bagian tubuh menggunakan minyak mawar pemberian Melian. Aroma wangi bunga pun tercium dari tubuhnya.
"Sepertinya sudah cukup. Semoga nanti ia suka penampilanku malam ini," ucap Liv, sembari tersipu.
Sebelum keluar kamar, Liv mengenakan mantel biru tua bertudung. Jangan sampai para warga tahu ada seorang gadis keluar rumah di malam hari, sendirian tanpa seorang pendamping. Hal itu adalah tradisi tidak tertulis di Kerajaan Legolas. Akan menimbulkan omongan tidak sedap bila dilanggar.
"Semoga yang lain tidak sadar kalau aku pergi keluar rumah!"
Liv turun dari kamar yang terletak di dahan teratas pohon wastu kediaman keluarga Themaris. Gadis itu menuruni tanaman merambat dekat jendela kamarnya, sangat berhati-hati supaya tidak jatuh.
Liv juga berusaha untuk tidak menimbulkan suara, ketika dirinya baru saja melewati kamar Melian. Terlihat si kakak sedang belajar giat, sampai tidak menyadari Liv baru saja lewat di depan jendela.
Tak butuh waktu lama bagi putri bungsu keluarga Themaris itu untuk bisa menginjak tanah. Ia mengendap-endap dari para prajurit jaga menuju halaman belakang.
Liv berjongkok di balik semak, mencari-cari penutup lubang rahasia yang ia ciptakan sendiri di area tanah bawah pagar, untuk pergi dari pekarangan wastu.
Bulan tampak bersinar bulat utuh dan sangat terang. Cahaya yang selalu Liv tunggu-tunggu. Sebab, ketika ia bermandikan sinar purnama, Liv bisa tampak normal seperti elf lain.
Kulit gelapnya berubah menjadi putih porselen. Hanya saat purnama tiba, Liv bisa merasakan hidup tanpa hinaan.
Liv segera berjalan menuju danau di area belakang kompleks istana kerajaan. Suasana ibu kota begitu sepi di malam hari. Meski begitu, Liv tetap memilih menyusuri tanah sempit di sela-sela pepohonan yang jarang dilewati para warga. Hanya memakan waktu sepuluh menit bagi Liv untuk pergi dari distrik bangsawan ke kompleks istana.
Setibanya di tujuan, Liv duduk di tepian danau. Suasana area itu cukup ramai di siang hari, tetapi berbanding terbalik ketika malam. Rembulan tampak bersinar penuh dan cahayanya terpantul di atas permukaan air.
"Oh, dia belum di sini." Liv mengedarkan padangan ke sekitar. Tak ada seorang pun di sana.
Ada seseorang yang Liv tunggu, sampai ia nekat keluar malam sendirian seperti ini. Sudah dua bulan terakhir, Liv melewatkan waktu, bercengkerama dengannya. Mereka berdua sepakat untuk bertemu tiap malam purnama tepat di tepian danau.
Akan tetapi, kali ini rupanya berbeda. Ketimbang bertemu dengan orang yang dinanti, Liv malah mendengar ribut derap kaki. Beberapa orang sedang berlarian di sekitar danau.
Mata Liv membelalak, gadis elf itu menjadi waspada. Ia takut kalau para warga mengetahui tindakannya yang di luar etika. Kemudian, yang muncul tergesa-gesa berlari ke arahnya bukan yang Liv tunggu sejak tadi, melainkan sesosok lelaki asing.
Siapa itu?
Liv panik, ia ingin segera kabur dari sana. Namun, lelaki asing itu terus berlari mendekat. Liv segera beranjak. Ketika gadis itu mulai menjauh, tangannya langsung diraih dan dicengkeram kuat-kuat.
"Kamu! Tunggu! Namamu Liv Themaris, kan?" tanya lelaki itu. Liv segera menggeleng, menyangkal nama pemberian mendiang ibunya.
"Bu-bukan, aku---"
"Jangan bohong! Aku sangat mengenalmu! Fitur wajahmu kutulis cukup rinci, layaknya tokoh-tokoh utama lain di novel ini. Lagi pula, cuma kamu yang akan duduk di tepian danau setiap malam purnama!" sahut lelaki itu, membuat Liv terkesiap. Gadis itu tidak menyangka bahwa ada orang lain yang mengetahui rahasianya.
Sinar rembulan ikut menyinari lelaki di hadapan Liv. Rambutnya hitam dipotong pendek, tetapi panjang di samping hingga menutupi daun telinga.
Apa yang dikenakan lelaki itu terlihat tak biasa, berupa kain berlengan panjang, berwarna putih tipis, pendek hanya sampai pinggang. Tidak seperti pakaian elf pada umumnya yang cenderung panjang hingga kaki. Kedua kakinya polos tanpa alas sedikit pun, kotor berlumur tanah.
"Tapi aku tidak mengenalmu!" seru Liv dengan nada suara ditahan. Ia takut para warga lain dapat mendengar mereka.
"Aku tahu! Dengar, aku butuh bantuanmu! Ikut denganku! Akan kujelaskan semuanya!"
Liv terlihat bimbang. Jelas ia tidak ingin mengikuti seorang lelaki asing sembarangan, tetapi juga penasaran bagaimana lelaki ini bisa mengetahui namanya dan kebiasaannya pergi ke danau.
Derap kaki cepat melintas di dekat mereka, beserta teriakan-teriakan bersahutan. Lelaki asing itu segera menarik tangan Liv untuk bersembunyi di belakang semak belukar terdekat.
"Ke mana makhluk itu!"
"Aku tidak melihatnya di dekat sini!"
"Cepat cari!"
Begitu orang-orang itu menjauh, si asing langsung menggandeng tangan Liv dan mengajaknya menjauh dari area danau.
"Ayo, kita segera pergi!"
Tak ada pilihan lain, Liv segera mengikuti. Batal sudah rencana Liv untuk bertemu dengan seseorang yang ditunggunya di tepi danau. Saat ini, ia malah pergi dengan sosok yang sama sekali berbeda.
Liv melirik ke arah tangannya yang digandeng erat oleh lelaki tersebut. Seumur hidup, belum pernah Liv digandeng orang lain selain kakaknya.
Liv dan lelaki itu tiba di dekat akar pohon besar, rumah seseorang. Mereka berdua jongkok merapat di balik akar. Lelaki asing itu meminta Liv untuk menutup mulut supaya napasnya tidak sampai terdengar. Ketiga elf melewati akar tersebut tanpa mengetahui kalau ada dua makhluk bersembunyi di baliknya.
"Tidak ada di sini juga!"
"Pergi ke mana monster barbar itu! Ayo, kita cari di sebelah sana!"
Para elf yang mengejar lelaki asing itu akhirnya pergi dari lokasi. Si lelaki mengajak Liv ke arah berlawanan. Hingga akhirnya, mereka berdua berhenti di bawah akar pohon lain yang tumbuh melintang melewati kepala.
Kemudian, lelaki itu melepaskan tangan Liv dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Liv sendiri memegangi tangannya yang masih basah karena terkena keringat dari telapak tangan lelaki tersebut.
"Kau siapa? Kenapa tahu namaku?"
Orang asing itu melirik ke arah Liv, lalu duduk di rerumputan dan berselonjor. Dia tampak santai sekali setelah membuat Liv penasaran dan mengajaknya berlari-lari bersama.
"Oke, aku akan perkenalkan diri. Namaku Dean. Aku bukan berasal dari sini."
"Ah, apa kamu baru datang dari kerajaan lain? Lalu, dari mana kau tahu namaku?" tanya Liv. Dari nama Dean saja sudah terdengar berbeda di telinga Liv. Seperti nama yang bukan berasal dari Legolas.
Dean mengibaskan tangan saat mendengar pertanyaan Liv. "Bukan. Maksudku, aku berasal dari dunia lain. Bisa dibilang, aku adalah penciptamu."
"Hah? Pencipta?" Liv semakin kebingungan.
"Akulah yang menciptakan dunia ini dan seluruh isinya," jelas Dean singkat.
"Tapi, kamu tidak tampak seperti Dewa bagiku." Liv mengamati baik-baik perawakan Dean. Lelaki itu bernapas seperti biasa dan kakinya berpijak ke tanah. Sudah pasti dia adalah makhluk yang sama seperti Liv.
"Aku tidak selevel dengan Dewamu! Aku bahkan adalah pencipta Dewa yang kalian sembah-sembah itu!" seru Dean sengit.
Wajah lelaki itu tampak mulai gusar. Sebelum Liv menanyakan hal lain lagi yang lebih membuat kesal, Dean menghela napas sejenak sebelum memberi pernyataan mengejutkan.
"Namaku Dean. Aku adalah penulis. Dunia yang kamu tinggali ini dan semua isinya, termasuk kamu, adalah hasil imajinasiku dalam sebuah novel."
***
Dua bulan lalu.
"Hei, beri jalan! Si hitam mau lewat!"
"Jangan dekat-dekat, nanti kita bisa ketularan!"
Gelak tawa oleh para putra-putri bangsawan mewarnai sepanjang perjalanan Melian dan Liv ke taman. Sudah berulang kali Liv menolak ajakan si kakak bermain pada siang hari, tetapi Melian memaksa. Katanya, Liv harus menunjukkan kalau dia percaya diri dengan warna kulitnya.
"Jangan merasa rendah diri, atau orang lain akan semakin menghina kamu."
Begitu kata Melian, yang akhirnya disetujui dengan berat hati oleh Liv. Namun, pada kenyataannya hinaan itu tetap saja datang. Malah jadi makin parah, karena sekarang nama Melian juga jadi ikut terbawa-bawa.
"Melian, kamu itu sudah cantik. Untuk apa kamu bawa adikmu yang terkutuk itu sebagai pembanding?"
"Hahaha!"
Rupa Melian yang jelita, berkulit putih dan bertubuh tinggi memang berbanding terbalik dengan keadaan Liv. Gadis itu menunduk seraya melihat tangannya digandeng erat oleh Melian. Kontrasnya warna kulit mereka berdua jelas terlihat di tautan kedua tangan tersebut.
"Kalian benar-benar tidak tahu malu, ya? Menghina orang sampai seperti itu, apa kalian pantas disebut sebagai bangsawan terhormat!"
Perkataan Melian singkat, tetapi menyengat tajam pada mereka yang menghina Liv. Anak-anak itu langsung terdiam. Selain wajah dan tubuh sempurna, reputasi Melian di Kerajaan Legolas juga tidak dapat diragukan. Otak cerdas dan karisma luar biasa selama di akademi, membuat Melian begitu dikagumi dan disegani banyak pihak. Para orang tua ingin putra-putri mereka setidaknya memiliki setengah saja kemampuan Melian.
Akan tetapi, nasib Melian sama sekali tidak menular pada si adik. Liv menutupi kedua telinga dengan tangan, berharap semua cepat berlalu.
Kata-kata hinaan memang tak terdengar lagi, tetapi sesaat kemudian sebuah kerikil dilempar, mendarat tepat di kepala Liv. Selain kerikil, serangan sihir api pun juga menyambar tubuh Liv.
"Oh, Dewa! Liv, kamu tidak apa-apa?" tanya Melian khawatir. Liv hanya diam saja. Gadis itu memejamkan mata erat-erat. Bukan sakit fisik yang Liv rasakan, karena tubuhnya memiliki selimut kabut hitam yang selalu siap menguar, melindunginya dari serangan apa pun. Sakit yang Liv rasakan cenderung kepada mental, karena keberadaannya selalu ditolak oleh semua orang di sekitarnya.
Detik berikutnya, lemparan-lemparan kerikil lain datang secara beruntun. Kedua mata Melian terbelalak melihat semua itu.
"Hentikan kalian!" teriak Melian. Sesaat kemudian, gadis itu terkejut ketika melihat si adik sudah tak berada di sisinya. "Liv!"
Liv berlari pulang. Air mata jatuh berderai membasahi pipi. Panggilan sang kakak tidak lagi dia pedulikan. Melian memang sangat baik hati terhadap Liv selama ini. Kakaknya itu pula yang merawat dan mengajak Liv bermain sejak kecil. Namun, berjalan bersama sosok sempurna tanpa cela seperti Melian hanya akan membuat hinaan terhadap diri Liv semakin parah. Keputusan untuk jalan-jalan di taman bersama sang kakak tidak akan pernah lagi diambil oleh Liv seumur hidup.
Liv masuk ke kamar yang berada di lantai paling atas mansion pohon keluarga Themaris. Gadis itu langsung menutup pintu rapat-rapat dan naik ke atas kasur. Liv merogoh bagian bawah bantal dan mengeluarkan sebuah buku berisi ratusan lembar kertas linen kosong pemberian Melian sewaktu kecil.
"Namanya buku harian. Kalau aku sedang tidak bisa bersamamu, kamu bisa mencurahkan isi hati lewat buku ini. Kamu bahkan bisa memberinya nama!" pesan Melian pada Liv saat itu.
Liv membuka lembaran buku tersebut. Halaman kosongnya sudah hampir habis. Banyak hal yang Liv tuliskan di sana. Tinggal sisa satu halaman terakhir. Buku itu Liv beri nama "Ibu". Meskipun tidak mungkin terkabul, Liv sedikit berharap bahwa semua yang dia tulis di dalam buku itu akan sampai pada ibunya.
"Ibu, aku dihina lagi ... ." Liv menulis menggunakan pena bulu, sambil berderai air mata. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Kenapa aku terlahir hanya untuk dihina? Apa salahku? Kenapa bukan aku saja yang pergi? Kenapa harus Ibu?"
Pena bulu di tangannya sampai patah karena ditekan pada kata terakhir. Goresan tintanya menjadi kabur ketika air mata Liv menetes dan merembes ke kertas. Pertanyaan-pertanyaan yang sama tertulis setiap hari, dan tidak akan pernah mendapatkan jawaban.
***
Sementara itu, seorang pelayan bernama Alma menginjakkan kaki di lantai teratas mansion Themaris, sambil membawa sapu dan pengki kayu. Baru sebulan lalu, Alma bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga bangsawan tersebut. Tugasnya meliputi bersih-bersih lantai dan jendela di mansion ini, terutama lantai teratas. Di lantai ini, kebanyakan ruangannya berisi gudang untuk barang-barang tak terpakai, meskipun ada satu kamar yang berbeda. Kamar tersebut ditempati oleh seseorang.
Awalnya, Alma begitu penasaran siapa yang menempati kamar sempit itu. Dia pun tidak pernah bertemu si pemilik kamar. Akan tetapi, rekan-rekan sesama pelayan mengingatkan Alma untuk tidak pernah berurusan dengan kamar tersebut, begitu pesan sang majikan, Olrun Themaris. Alma pun hanya menurut saja. Dia takut kehilangan pekerjaan kalau makin penasaran.
Pelayan lain yang selalu menemani Alma membersihkan lantai teratas adalah Cathe. Usianya sebaya Alma, hanya Cathe bekerja setahun lebih dulu dari pada dirinya. Temannya itu selalu membawakan bahan obrolan berupa gosip terbaru seputar Keluarga Themaris maupun Kerajaan Legolas. Nama pemilik kamar sempit di lantai teratas itu pun diketahui Alma dari Cathe.
Sore ini, Cathe membersihkan deretan kaca jendela dengan raut wajah riang. Hal itu mengundang Alma untuk bertanya, "Kamu kenapa?"
"Hehehe, sedang senang saja!" sahut Cathe cengengesan.
"Senang kenapa? Habis lihat cowok tampan, ya?" Alma menebak, disambut gelak tawa Cathe. Gadis itu melirik pada Alma.
"Kamu tahu saja! Aku memang tadi siang baru lihat cowok tampan di alun-alun kota!" sahut Cathe. Tangannya bergerak mengelap kaca jendela semakin cepat, mengikuti suasana hatinya.
"Siapa?" tanya Alma semakin penasaran, sampai membuat kegiatan menyapunya terhenti.
"Itu, si calon raja baru! Dia, 'kan, baru pulang dari berperang. Tadi siang saat berbelanja, secara tak sengaja aku lihat penyambutannya. Sangat meriah!"
"Dan dia tampan?"
"Tepat! Hehehe!"
"Huuu, dasar!" cibir Alma. Kemudian, dia berkata, "Semua lelaki memang pasti kau bilang tampan!"
"Tapi Pangeran Haldir itu beda! Seolah Dewa mensketsa wajahnya terlebih dahulu sebelum diciptakan!" kilah Cathe.
"Jangan berlebihan!" seru Alma. Dia mulai menyapu semua kotoran ke dalam pengki. "Lagi pula, yang kudengar justru rumor jelek mengenai dirinya!"
"Eh, apa? Elf tampan begitu masih saja ada yang membicarakan jelek-jelek?" Cathe heran seraya mengernyitkan dahi. Alma mengibaskan tangan.
"Ah, kau tidak tahu saja!"
"Soal apa?"
Alma menengok ke kanan dan kiri, menaikkan kewaspadaan. Cathe menyadari gerak-gerik temannya itu dan berjalan mendekat.
"Kenapa? Kamu seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Ada apa?"
"Bukan aku yang memulai pertama kali rumor ini," bisik Alma, "aku mendengarnya dari para pelayan di kompleks istana."
"Rumor apa?" Cathe ikut berbisik. Lap jendela di tangannya sampai kering karena lama tak dibilas, lantaran asyik ditinggal mengobrol.
"Katanya, Pangeran Haldir itu keturunan dari mendiang Raja Aelfric dengan seorang gadis desa!" bisik Alma kembali, membuat Cathe terkesiap.
"Apa! Jangan sembarangan! Kita bisa ditangkap kalau sampai terdengar mencemarkan nama baik keluarga kerajaan!" sergah Cathe.
"Aku tidak sedang bercanda, aku mendengarnya sendiri! Para pelayan istana yang berkata demikian!"
"Kalau sampai benar begitu, berarti benar, ya, gosip yang bilang kalau ratu itu mandul---"
"Hush, jangan kencang-kencang!" Alma mencegah perkataan Cathe lebih lanjut dengan menekan telunjuk ke bibir temannya itu. Cathe langsung mengatupkan mulut.
"Yang jelas, itu berarti Pangeran Haldir bisa jadi tidak sah untuk menjadi raja. Karena ada kemungkinan, sang pangeran lahir terlebih dahulu sebelum hubungan raja dan si gadis desa disahkan!"
***
Rumor yang dibicarakan antara kedua pelayan Cathe dan Alma terus berlanjut. Mereka tidak menyadari bahwa ada Liv yang menguping obrolan mereka dari balik pintu salah satu kamar di sana. Meskipun jarang keluar rumah di siang hari, Liv tetap mengetahui kabar dan gosip terbaru dari kedua pelayan tersebut. Jadi, Liv juga mengetahui siapa itu Pangeran Haldir.
Haldir Legolas, itulah nama sang pangeran. Sesuai tradisi Legolas, siapa pun keturunan langsung raja berhak mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin melalui masa percobaan. Para kandidat raja diberi waktu satu tahun untuk menyelesaikan pelatihan tersebut. Kandidat yang paling memenuhi kriteria akan benar-benar mendapatkan gelar raja berikutnya.
Maka dari itu, Pangeran Haldir sering menghabiskan waktunya bepergian ke luar wilayah Legolas untuk berbagai urusan politik dan perdagangan. Bahkan, sesekali pangeran pergi berperang mempertahankan wilayah dari kerajaan musuh. Semua urusan raja sebelumnya yang belum selesai harus ditangani oleh Pangeran Haldir. Tak heran, banyak warga yang belum mengenali wajah calon raja baru mereka ini.
Mendengarkan gosip barusan, membuat Liv sedikit melupakan kesedihannya. Dia malah jadi ikut penasaran pada si calon raja itu.
"Pangeran Haldir, ya? Seperti apa, ya, wajahnya, sampai dipuji-puji seperti itu?"
Namun, Liv menggeleng cepat setelahnya. "Untuk apa aku memikirkan orang lain, kalau nasibku sendiri saja sudah suram!" Meskipun pangeran digosipkan sebagai anak dari seorang wanita desa, tetap saja hidupnya masih jauh lebih beruntung dari pada Liv.
Liv menatap buku hariannya. Habis sudah lembaran kosong dalam buku tersebut. "Mungkin Kak Melian masih punya buku lagi. Aku akan minta padanya nanti malam."
Matahari terbenam pun tiba. Liv sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Gadis itu memutuskan untuk beranjak keluar kamar. Dia ingin pergi menemui Melian, guna meminta buku tulis baru. Jaraknya dua lantai di bawah kamar Liv. Untuk pergi ke arah sana, Liv harus melewati lobi tempat keluarganya bersantai, ruangan yang sama sekali belum pernah dimasuki oleh gadis itu. Ayahnya tak pernah mengizinkan Liv untuk pergi ke tempat-tempat yang berpotensi dimasuki para tamu di mansion tersebut.
Liv berusaha untuk jalan lurus terus tanpa penasaran pada isi ruangan lobi. Akan tetapi, kakinya terhenti saat daun pintu ruangan tersebut terbuka sedikit. Liv mengintip, hatinya berdebar. Dia berjanji pada diri sendiri hanya ingin melihat-lihat sebentar. Namun, untung saja tubuhnya tidak masuk sepenuhnya ke lobi itu, karena ternyata di dalam ada Melian dan Olrun sedang berbincang-bincang. Liv makin penasaran dan menguping. Gadis itu terkesiap ketika mendengar namanya disebut-sebut oleh ayah dan kakaknya itu.
***
Raut wajah Melian ditekuk, sejak pulang dari rencana jalan-jalannya yang gagal bersama Liv. Pikiran gadis itu begitu kalut. Dia terus duduk termenung di sofa lobi. Menjaga Liv adalah amanah terakhir mendiang sang ibu, tetapi tidak bisa dijalani oleh Melian dengan baik.
Olrun Themaris yang tak sengaja melewati lobi dari ruang kerja melihat wajah Melian yang sedang tidak bersahabat. "Putri Ayah kenapa sendirian di sini?" sapa Olrun sembari melangkah masuk ke lobi. Melian memasang senyum di hadapan sang ayah, berusaha menunjukkan kalau tidak terjadi apa pun.
"Oh, Ayah. Sudah selesai kerjanya?" tanya Melian. Olrun duduk di samping putri sulungnya.
"Sudah. Menghitung keuangan dan mengatur pajak wilayah Themaris memang menguras pikiran. Tapi setelah ini, Ayah harus pergi menghadiri rapat bersama Yang Mulia dan para Elvenar di istana," sahut Olrun sambil menghela napas.
Melian menampilkan raut wajah khawatirnya. "Ayah jangan terlalu lelah. Ingat, jaga kesehatan!"
"Ayah mengerti, Sayang. Rapatnya tidak akan berlangsung lama. Tenang saja," balas Olrun sambil tersenyum. Pria itu menatap Melian lekat-lekat.
"Ada apa, Ayah? Kenapa menatapku begitu?" Melian bertanya heran. Olrun membelai rambut gadis itu dengan penuh kasih.
"Ayah hanya teringat pada ibumu. Wajahmu mirip sekali dengannya."
"Kepintarannya juga?"
"Kepintaranmu mirip aku!" tandas Olrun. Melian tertawa mendengarnya.
"Iya, ya. Aku berhasil menjadi juara kelas sepanjang tahun juga berkat Ayah! Hehehe!"
Memang tidak diragukan, bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Olrun di masa muda juga merupakan kebanggaan keluarga. Baik dalam pelajaran di akademi maupun pertarungan bela diri, Olrun selalu menjadi juara. Otak cerdas dan fisik kuat menjadikan Olrun ditakuti oleh siapa pun.
"Didikan Ayah berhasil padamu. Ayah jadi ingin mengirimmu sekolah ke kerajaan tetangga yang terkenal dengan pendidikannya."
Melian mengingat-ingat kerajaan tetangga mana saja yang sistem pendidikannya baik. Dia dapat mengingat satu nama dan bertanya memastikan, "Kerajaan Cowper?"
"Tepat! Ayah ingin mengirim kamu ke sana, bila kamu bersedia," usul sang ayah.
"Aku akan menuruti apa pun yang Ayah inginkan, tetapi dengan satu syarat."
Melian mengacungkan satu jari ke hadapan ayahnya. Olrun mengernyitkan dahi, tak menyangka bahwa putrinya akan memberi persyaratan. "Apa itu?
Melian menghela napas sejenak. Dia tahu bahwa permintaannya akan langsung ditolak sang ayah. Akan tetapi, Melian berpikir bahwa tidak ada salahnya mencoba.
"Aku ingin agar Ayah juga mendaftarkan Liv untuk masuk akademi," kata Melian, berhati-hati sekali. Usia Liv memang sudah cukup untuk bisa menerima pendidikan di luar rumah. Di Kerajaan Legolas, pendidikan di luar rumah sudah bisa ditempuh saat seseorang mencapai lima belas tahun. Sedangkan Liv sudah berusia enam belas tahun ini.
Wajah Olrun yang tadinya ceria spontan menegang. Urat-urat di dahi pria paruh baya itu sampai terlihat saking emosinya. Beliau beranjak dari sisi Melian.
"Jangan sebut-sebut nama makhluk itu lagi di hadapanku!" geram Olrun. Kedua tangan mengepal kuat di sisi tubuh, sampai kuku jemarinya terasa menusuk.
Melian ikut beranjak dari sofa melihat ayahnya tegang seperti itu. "Tapi, Ayah, Liv itu juga darah dagingmu! Putri kandungmu juga, sama seperti aku!"
"Dia bukan putriku!" teriak Olrun. Nafasnya terdengar memburu.
"Kenapa Ayah setega itu memperlakukan dia bagai orang asing? Apa Ayah lupa, bahwa amanah terakhir Ibu adalah untuk menjaga Liv?"
"Karena dia yang membunuh istriku dengan segala kutukan yang menempel di tubuhnya!"
"Apa?" Melian terperangah. Gadis itu merasa tidak pernah mendengar kenyataan itu sebelumnya.
"Kamu tidak tahu kejadian sebenarnya, Nak. Makhluk itu memang menginginkan ibumu tiada supaya dia bisa tetap hidup ... ."
"A-apa maksud Ayah?" tanya Melian penasaran. Gadis itu tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang bayi mungil menginginkan ibunya tiada?
Olrun mengempaskan diri ke sofa. Pikirannya menerawang. Pria itu mulai bercerita tentang kejadian silam ketika Liv baru lahir. Bayi yang begitu dinanti-nantikan, ternyata menghadirkan raut wajah kecewa dari sang kepala keluarga, yakni Olrun.
Kulit bayi tersebut hitam, tidak putih bersih seperti kakaknya yang lahir tujuh tahun lebih dulu. Rambutnya putih gading, sama seperti Olrun. Iris matanya ungu layaknya keturunan Themaris sejati. Akan tetapi, warna kulit bayi itu benar-benar seperti baru saja mendapat kutukan dari Dewa. Tangisan yang keluar dari mulut mungilnya juga memekik bising, tidak seperti tangisan bayi pada umumnya.
Olrun sampai bertanya pada tabib berkali-kali mengenai apakah bayinya normal bila seperti itu. Namun, tak ada satu pun tabib yang mampu menjelaskan secara pasti. Yang jelas, ada satu kesamaan dari jawaban semua tabib.
"Sihir anak ini amat lemah, dan tidak bisa berkembang sebagaimana elf pada umumnya. Ini fenomena yang tak pernah terjadi sebelumnya."
Meski terlahir memiliki berbagai kekurangan, Elanor – ibu si bayi yang juga merupakan istri tercinta Olrun – tetap mendekap putrinya itu. Kedua mata Elanor menunjukkan tatapan kasih sayang. Begitu Olrun melangkahkan kaki ke kamar persalinan Elanor, istrinya itu menyambut sang suami dengan semringah.
"Olrun, bayi kita cantik sekali, ya!" kata Elanor saat itu.
Sedikit pun Elanor tak pernah berpikir untuk berkomentar mengenai kulit gelap bayi tersebut. Wanita itu tetap menyusui si bayi secara telaten, seperti yang dia lakukan pada Melian saat lahir.
Tadinya, Olrun tidak pernah memiliki masalah terhadap kekurangan putri keduanya itu. Pria itu bahkan mengajak putri sulungnya masuk ke kamar persalinan, agar ia bisa menyambut kelahiran si adik.
Tadinya, Olrun sama sekali tidak membenci kehadiran bayi tersebut. Segala kekurangan si bayi akan diterima dengan lapang dada. Siapa pun yang menghina nanti akan berhadapan dengan pasukan keluarga Themaris, selama istri yang begitu ia cintai dapat tersenyum bahagia selamanya.
Tadinya, Olrun berpikir seperti itu.
Namun, yang terjadi berikutnya benar-benar di luar nalar. Bayi berkulit gelap tersebut mengeluarkan sejulur kabut hitam dari dalam mulut mungilnya. Kabut hitam itu bergerak, seolah memiliki nyawa sendiri.
Detik berikutnya, kabut tersebut masuk ke mulut dan telinga Elanor, menghisap seluruh energi sihirnya. Elanor pun tak kuasa menahan kekuatan hitam yang begitu besar. Meski si bayi sudah dijauhkan dari sang ibu, kabut hitam itu terus bergerak.
Perlahan, wajah berseri Elanor berubah menjadi pucat dan keriput. Seluruh inti sari tubuhnya terkuras habis, hanya menyisakan detik-detik terakhir napas penghabisannya. Olrun berteriak histeris, mencegah ajal menjemput istrinya, tetapi sia-sia.
Sebelum menghembuskan napas terakhir, Elanor sempat berpesan pada Melian untuk tetap menyayangi adiknya apa pun yang terjadi. Beliau juga berpesan untuk memberi nama "Liv" pada si adik, yang berarti "hidup".
"Jagalah Liv, aku ingin dia tetap hidup, itu saja."
Begitulah pesan Elanor pada Melian saat itu. Namun, Olrun tidak mengindahkan pesan tersebut. Terbakar oleh rasa amarah yang menggebu-gebu, Olrun mengambil sebilah belati. Ia mengambil Liv dari gendongan sang tabib, bermaksud ingin menggoroknya di tempat.
Meskipun Melian sudah berusaha mencegah sampai menangis, Olrun tidak peduli. Elanor adalah poros kehidupan Olrun, kini wanita itu tergeletak tanpa nyawa hanya karena seorang bayi terkutuk.
Akan tetapi, takdir berkata lain. Begitu tubuhnya mendeteksi ada bahaya mendekat, selimut kabut hitam Liv langsung muncul kembali, menyelimuti tubuh mungilnya, dan menebal.
Belati yang ditusukkan oleh Olrun berkali-kali tidak dapat tembus. Baik bagian kulit biasa maupun yang membungkus organ vital, semuanya tidak mampu melukai bayi mungil itu. Seolah kabut hitam itu ingin melindungi si pemilik tubuh.
Olrun pun berusaha menyerang bayi yang tak merasa berdosa itu dengan sihir. Namun, kabut hitam kembali melindungi. Liv, si bayi baru lahir, ternyata kebal pada serangan fisik dan sihir apa pun.
"Aku kehilangan istriku karena dia ... ."
Olrun menutup ceritanya dengan suara parau. Sehari-hari, Olrun terlihat layaknya pria kuat dan tegar. Akan tetapi, saat ini dia tampak seperti anak laki-laki yang menangis tersedu karena kehilangan sesuatu kesayangannya. Olrun sebenarnya berniat membuang Liv sejak bayi, kalau saja kala itu Melian yang masih berusia tujuh tahun tidak langsung menangis. Ia memeluk tubuh mungil Liv erat-erat, ingin tetap menjaga adiknya sampai besar, sebagai kenangan terakhir ibunya.
Melian memeluk tubuh ayahnya yang bergetar menahan tangis. "Ayah, maafkan aku. Saat itu aku juga masih kecil, aku benar-benar tidak ingat kalau kejadian sebenarnya seperti itu."
Sementara itu, di balik pintu Liv mendengarkan keseluruhan cerita sebenarnya dengan air mata yang telah membanjiri wajah. "Ternyata, aku penyebab ibu tiada? Aku yang telah membunuh ibu?"
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!