Dua garis merah tertera jelas di atas benda pipih yang sedang kupegang. Sebuah tanda yang menyatakan bahwa diriku hamil.
Ada perasaan haru yang menyeruak masuk dalam hati, menjalarkan rasa hangat yang seakan memenuhi seluruh ruang di dalam sana.
Aku hamil. Ada kehidupan lain yang tumbuh di rahimku. Sungguh, ini rasanya sangat luar biasa. Terlepas dari siapa ayahnya, entah lelaki yang kucintai secara utuh atau bukan, tapi yang jelas anak ini adalah darah dagingku. Sebuah anugerah terindah yang pernah kumiliki sepanjang waktu yang sudah kulalui.
"Mas, positif," bisikku dengan mata yang berkaca-kaca. Ya, rasa haru ini membuat air mata menggenang dengan sendirinya.
"Iya, Sayang. Ada buah hati kita di sini." Mas Alfa menjawab sambil mengusap perutku yang masih rata. Lembut gerakannya, hingga aku merasa nyaman dan menahannya cukup lama di sana.
Sejenak aku pun memejam, meresapi sentuhan yang makin lama membuat jantungku berdetak cepat. Entah kenapa, aku juga tidak paham.
"Sayang, setelah ini aku akan menjagamu dengan lebih baik lagi. Katakan apa yang kamu inginkan, jangan sedikit pun dipendam. Aku akan berusaha menuruti semua keinginanmu. Kamu dan anak kita harus sehat dan bahagia," sambung Mas Alfa.
Kali ini tidak hanya mengusap perutku, tapi juga menyandarkan kepalanya di bahuku yang terbuka, dengan sebelah tangannya merangkul tubuhku dengan erat. Posisi yang sangat mesra, dan untuk pertama kali aku berdebar karenanya.
"Makasih ya, Mas." Tanpa sadar aku sudah berucap demikian, yang kemudian kulanjutkan dalam hati, "Udah setia dan sabar sama aku. Semoga anak ini beneran bisa membuat aku nyaman dan jatuh cinta sama kamu. Aku ingin memberikan segenap hatiku untuk kamu, Mas."
"Aku yang seharusnya makasih, Sayang. Kamu mau mengandung anakku dan kelak melahirkannya. Itu adalah perjuangan yang terbesar, Sayang," ucap Mas Alfa, masih menyanjungku dengan kata-kata manis.
Mungkin dia memang tidak tahu apa yang kurasakan selama ini, jadi tetap menganggapku wanita mulia dan paling istimewa untuknya.
Setelah cukup lama berpelukan dan saling bertukar kebahagiaan atas kehamilan pertamaku, Mas Alfa dan aku bergantian membersihkan diri, kebetulan saat ini matahari sudah mulai mengintip di ufuk timur.
Dengan penuh semangat, Mas Alfa menggandeng tanganku dan mengajakku turun ke lantai bawah. Kami langsung menuju dapur, di mana di sana ada Bu Mirah yang sedang menyiapkan sarapan.
"Selamat pagi, Mama," sapa Mas Alfa dengan sorot mata yang berbinar.
Sepertinya, Bu Mirah juga keheranan. Buktinya, cukup lama menatap Mas Alfa dengan kening yang mengernyit.
"Mas Alfa lagi bahagia, Ma," ucapku sembari membantu beliau memotong wortel, yang akan digunakan untuk membuat nasi goreng sayur.
"Bahagia kenapa?" Bu Mirah menatap kami secara bergantian.
Aku tak langsung menjawab, melainkan menatap Mas Alfa yang sejak tadi sumringah, dan sepertinya dia yang ingin menyampaikan sendiri kabar gembira ini.
Benar saja, sesaat setelah kutatap matanya, dia lebih mendekati ibunya dan langsung membuka suara.
"Athena hamil, Ma."
Binar kebahagiaan di mata Mas Alfa, kini merambat ke mata Bu Mirah. Di dalam wajah yang tak lagi muda itu, Bu Mirah menatapku dengan bibir yang tersenyum lebar, juga bergerak-gerak seolah akan mengucapkan kata-kata.
"Kemarin-kemarin belum berani tes, Ma, takut mengecewakan. Tapi, ini tadi dengan ditemani Mas Alfa coba aku cek. Dan ternyata ... hasilnya positif, Ma," ucapku.
Bu Mirah tidak menyahut, tapi langsung memelukku dengan erat. Kurasakan tangannya mengusap punggungku dengan lembut. Ah, beliau pasti bahagia, karena inilah yang ditunggu-tunggu.
"Mama sangat terharu, Sayang. Ada cucu Mama di rahim kamu. Rasanya ini masih seperti mimpi," bisik Bu Mirah dengan suara yang agak serak. Aku yakin beliau menangis.
Tak terasa air mataku pun ikut keluar. Hanya dengan aku hamil, beliau sebahagia ini. Aku seperti tertampar kenyataan. Begitu berharganya kehadiranku di sini, tapi selama ini pula aku terus berpura-pura, membalas kebaikan mereka dengan sebuah dusta yang pasti sangat mengecewakan, andai mereka tahu.
"Aku janji akan terus memperbaiki diri, Ma. Maafin aku selama ini," batinku dengan perasaan yang kian sesak.
Setelah cukup lama memelukku, Bu Mirah mengurai pelukan, lantas menggenggam bahuku dengan penuh kasih sayang.
"Mulai sekarang kamu jangan ikut masak, jangan bersih-bersih rumah, jangan nyuci atau nyetrika. Nanti biar Mama carikan orang untuk bantu-bantu kita," ucapnya.
Aku terkejut mendengar itu. Berlebihan menurutku, karena yang disebut mencuci juga menggunakan mesin, menyetrika juga tidak terlalu berat.
"Kamu hanya perlu istirahat, makan yang banyak, cari hiburan. Pokoknya nggak boleh capek, harus nyaman dan bahagia. Biar cucu Mama juga sehat-sehat di sana," sambung Bu Mirah sebelum aku menyahut ucapannya.
"Ma, jangan, ini___"
"Sayang, turuti aja kemauan Mama. Ini demi kebaikan kamu, dan juga anak kita kok." Mas Alfa memotong ucapan Bu Mirah sambil tersenyum lebar.
"Tapi, berlebihan loh, Mas," protesku.
"Nggak ada kata berlebihan, Sayang. Memang ini yang harus kita lakukan."
"Suamimu benar, Athena. Udah ya, jangan protes lagi. Buruan sana tunggu di meja makan, ini biar Mama yang selesaikan," timpal Bu Mirah, membuatku tak bisa membantah lagi.
Alhasil, kuikuti langkah Mas Alfa yang mengajakku ke meja makan. Di sana, aku duduk manis sambil menunggu Bu Mirah selesai memasak. Duh, rasanya aku sangat sungkan.
"Sayang___"
Belum sempat Mas Alfa meneruskan kalimatnya, tiba-tiba ponsel yang ia letakkan di atas meja berdering nyaring. Ia pun bergegas mengambilnya dan kemudian menatap ke arahku.
"Mas Abercio," ucapnya.
Aku terkejut, "Kok tumben pagi-pagi nelfon?"
Mas Alfa mengedikkan bahu, lantas menerima panggilan tersebut dan mengaktifkan loudspeaker-nya, sehingga aku juga bisa mendengar suara di seberang.
"Kamu bisa ajak Athena ke rumah sakit sekarang?"
Aku tersentak. Rumah sakit, apa lagi yang terjadi dengan Ibu?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments