Pertama-tama aku tersenyum, agar Ibu tidak menyadari kegugupanku yang luar biasa besar. Ya, aku tidak bisa bohong. Untuk sekarang nama itu tetap menggetarkan hati, apalagi jika teringat kenangan tentangnya, langsung kacau. Dan, cukup aku yang tahu itu, Ibu jangan.
"Awal-awal ketemu dia, aku emang pernah kagum, Bu. Selama di sini kan nggak pernah ketemu bule kayak dia, cuma tahu foto-fotonya aja. Nah, pas ke Bali ketemu secara langsung, jadi ya ... emang kayak spesial gitu. Tapi, cuma sebatas kagum biasa aja, Bu, kayak kita ngefans artis gitu. Nggak ada perasaan yang lebih, apalagi sampai cinta, jelas nggak lah, Bu." Aku pura-pura tertawa, seakan pertanyaan Ibu terkesan lucu.
Namun, mungkin terlalu buruk sandiwaraku dan Ibu kurang yakin. Buktinya, beliau tetap menatapku dengan intens, seolah-olah masih menunggu jawaban lain.
"Lagi pula, Bu, dia itu kaya banget. Hotelnya di mana-mana, sultan deh pokoknya. Terus ... rumah aslinya juga di Paris sana. Ya masa, Bu, aku mencintai orang kayak dia. Seperti pungguk merindukan bulan dong," sambungku dengan candaan. Bukan hanya untuk meyakinkan Ibu, melainkan juga meyakinkan diri sendiri. Aku berbeda dengannya! Aku tidak pantas untuknya!
"Kamu yakin udah jujur sama Ibu?"
"Yakin dong, Bu. Emang beneran gitu kok," jawabku sambil mendekap jemari Ibu dan sesekali kuciumi dengan hangat.
"Terus kalau Alfa, kamu benar mencintai dia?" Lagi, Ibu melontarkan pertanyaan yang sulit untuk kujawab.
"Kata orang ... dari pada mencintai, itu lebih enak dicintai. Selama ini aku belum pernah jatuh cinta, Bu, jadi kurasa bukan hal yang sulit untuk belajar mencintai Mas Alfa. Selama ini kan ... dia juga baik sama kita, terus bertahun-tahun dia rela nunggu, nggak pacaran sama sekali, padahal aku juga nggak ngasih harapan apa-apa. Setulus itu dia, Bu, bodoh banget aku kalau menyia-nyiakan orang kayak dia. Apalagi ... kita udah kenal sama keluarga dia, dan jarak rumah juga dekat. Ibaratnya nanti abis nikah aku ikut dia, tapi masih bisa mengunjungi Ibu kapanpun. Nggak perlu menunggu ini itu. Ya, kan?"
Kubeberkan semua poin positif andai aku benar-benar menikah dengan Mas Alfa. Kuakui memang banyak hal baiknya, tapi ... sekadar logika yang bisa menerima itu, sedangkan perasaan mungkin masih menyusul belakangan.
"Baiklah kalau kamu sudah yakin, Ibu akan merestui hubungan kalian."
Antara lega dan tidak, tapi aku tersenyum saat mendengar jawaban Ibu. Lantas, kupeluk tubuh kurusnya dengan erat.
Dalam dekapan hangat itu, aku berulang kali memanjatkan doa, semoga pilihan ini tidak salah dan semoga di kemudian hari ada kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan sejati yang tidak hanya datang sekilas lalu pergi, tapi yang tetap ada sampai aku mati.
____________
Sisa dua hari yang aku lalui rasanya begitu cepat. Kini, sudah waktunya aku kembali ke Bali dan meninggalkan Ibu yang masih dirawat di rumah sakit. Tapi, keadaannya sudah membaik. Kata dokter, dua atau tiga hari lagi Ibu sudah boleh pulang.
Atas perintah Bu Naya, aku mengambil penerbangan yang paling awal, agar tiba nanti tidak terlalu siang. Jadi, masih bisa membantu yang lain menunggu toko. Aku pun menurut saja, sudah beruntung diberi cuti satu minggu. Toh waktu aku pulang kemarin aku juga mengambil penerbangan pagi.
Perjalanan kali ini aku tidak sendiri, tapi ditemani Mas Alfa. Dia bersikeras mengantarku ke sana, katanya sekaligus melihat sunset di Pantai Kuta yang terkenal indah seantero jagat.
Meski awalnya agak risih, tapi aku tidak bisa menolak. Bagaimanapun juga, sekarang status kami adalah sepasang kekasih. Aku harus bisa menghargai dia, karena itu adalah jalan utama untuk mencintai dia.
"Tidurlah kalau kamu lelah! Akhir-akhir ini kan kamu nggak beristirahat dengan baik, mana nanti kamu juga langsung kerja," ujar Mas Alfa sambil meraih kepalaku dan menyandarkan di bahunya.
Sesaat kemudian, wangi parfum dark chocolate menyeruak dalam hidung. Cukup nikmat, meski masih kalah dengan aroma mint yang biasa aku hirup.
"Maaf ya, Athena, aku cuma bisa menemanimu semalam. Aslinya aku juga pengin lebih lama, tapi ... besok aku harus pergi melihat kebun apel. Negoisasi harga sambil melihat kualitas buah, cocok atau nggak dengan standar pabrik," sambung Mas Alfa.
Dia memang putra tunggal dari pemilik pabrik keripik apel di daerah kami. Meski tidak terlalu besar, tapi hasil produksinya cukup laris dan terkenal. Bukan hanya di kota setempat, melainkan sampai ke luar kota. Makanya jika dipikir-pikir, aku cukup beruntung bisa mendapatkan dia.
"Iya, Mas, aku ngerti kok. Akhir-akhir ini kamu juga menghabiskan banyak waktu di rumah sakit, pasti ada banyak kerjaan yang terpaksa ditunda," jawabku.
"Nggak gitu juga. Ini jadwalnya emang baru besok kok. Dan lagi, aku senang tahu bisa ikut menemani Ibu."
Mendengar jawabannya, aku langsung mendongak, dan disambut dengan senyuman lebar dari bibir tipisnya.
Jika dipandang-pandang, wajah Mas Alfa tidak buruk. Kulitnya cukup putih, dengan hidung mancung dan bola mata yang hitam. Rambutnya pula hitam natural, sedikit memanjang hingga menyentuh leher. Sedangkan kumis dan jambang sama sekali tidak ada. Rahangnya yang kokoh itu terlihat mulus dan bersih.
Ahh, mudah-mudahan saja wajah tampan khas Indonesia itu bisa mencuri hatiku, secepatnya.
Karena kami mengisi perjalanan dengan obrolan dan candaan, waktu satu jam pun rasanya tidak lama. Belum lelah atau bosan, kami sudah tiba di bandara Denpasar.
Layaknya pasangan pada umumnya, kami bergandengan tangan ketika keluar dari sana. Berjalan beriringan di antara lalu lalang orang yang sebagian besar adalah bule.
"Athena, ada rekomendasi restoran yang enak nggak? Kita makan dulu yuk!" kata Mas Alfa di sela-sela langkah kami.
Aku berpikir sejenak. Restoran enak, cukup banyak. Tapi, itu adalah restoran mahal yang biasanya kudatangi dengan Kendrick. Meski Mas Alfa tidak semiskin aku, tapi kasihan juga jika kuajak ke sana. Bisa habis ratusan ribu bahkan jutaan, hanya untuk sekali makan.
"Restoran aku nggak pernah nyoba, Mas, mahal-mahal. Ke warung aja yuk, aku tunjukkan yang paling enak."
"Janganlah! Aku pengin ajak kamu ke restoran, mahal dikit nggak apa-apa. Ini kan pertama kalinya aku ke sini, harus bikin sesuatu yang berkesan buat kamu." Mas Alfa menatapku lebih dalam, seakan berharap aku mengiakan ajakannya.
"Ke warung juga bisa berkesan loh, Mas." Aku masih menolak. Entah karena terlalu kasihan dengan dompet dia atau ... takut jika melihat kembali kenanganku bersama Kendrick.
"Sayang, ayolah!"
Panggilan keramat, yang seumur-umur baru Kendrick yang menggunakan, kini dipakai juga oleh Mas Alfa. Ah, nano-nano rasanya.
"Baiklah, ayo kalau gitu!"
Tak ingin memperpanjang perdebatan, akhirnya kuiakan saja ajakan Mas Alfa. Kuajak dia ke salah satu restoran mewah yang tak jauh dari bandara, yang sudah berkali-kali kudatangi bersama Kendrick.
Kurapatkan genggaman tangan ketika langkah kami tiba di depan pintu. Mas Alfa pun menyambut baik. Ia juga merapatkan genggaman, dan mungkin tidak tahu kalau aku melakukan itu untuk menutup bayang-bayang kenangan yang pernah ada.
"Di sana yuk!" tunjukku pada satu meja kosong yang ada di sudut ruangan. Di manapun tempatnya, meja sudut adalah favoritku.
Mas Alfa mengangguk dan mengikuti langkahku ke sana.
Namun, tak lama setelahnya gerak kakiku terhenti. Karena saat itu, aku berpapasan dengan dua orang yang juga bergandengan tangan. Terlihat mesra dan ... serasi. Wanitanya cantik dengan wajah khas Asia, sedangkan lelakinya bule tampan, yang tak lain adalah Kendrick.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
ria
move on ya athena..jangan tengok belakang lurus fokus kedepan biar gk nabrak😁
2023-04-21
0
ria
aamiin
2023-04-21
0
Adi Soraya
Kok blm up
2023-03-30
1