Fajar baru saja menyingsing ketika aku beranjak dari ranjang. Rasa mual tak dapat kutahan, jadi dengan setengah berlari aku menuju ke kamar mandi. Tak peduli meski tali baju tidurku masih lepas, aku tak punya waktu untuk merapikan itu. Dari pada muntah di kamar, itu lebih mengerikan.
"Hah, hah!"
Napasku terengah-engah setelah muntah berkali-kali, rasanya perutku terkuras habis. Itu pun masih mual.
Sekitar seminggu terakhir, memang ada yang berbeda dengan diriku. Selain mual di pagi hari, aku juga tak bisa mencium amisnya daging atau gurihnya santan. Perut langsung tak nyaman, seperti diaduk-aduk. Jika dipaksa, sudah pasti akan muntah.
"Apa aku beneran hamil, ya?" batinku sambil mengusap perut yang masih agak mual.
Detik ini, sudah terhitung dua bulan sejak aku dan Mas Alfa memutuskan untuk punya anak. Namun, bulan lalu tamuku masih datang. Sedangkan bulan ini, aku sudah telat satu minggu. Tapi, aku masih belum berani berharap.
"Sayang, kamu muntah-muntah lagi?"
Mendengar suara Mas Alfa, aku langsung menoleh ke pintu. Ternyata, dia terburu-buru berjalan ke arahku. Entah sejak kapan dia bangun, pas kutinggal tadi masih tidur nyenyak.
"Kenapa nggak bangunin aku kalau perut kamu mual? Tahu gitu kan aku bisa temani kamu," ucap Mas Alfa ketika sudah tiba di sampingku.
Tatapannya sendu, menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Tangan pula tak tinggal diam, sibuk membenahi rambutku yang berantakan di sekitar wajah. Lantas, dia juga mengikat tali bajuku yang sejak tadi terlepas. Segitu perhatiannya dia padaku.
"Lain kali kalau mual lagi, kamu bangunin aku ya. Masa kamu kesakitan gini, aku malah tidur. Suami macam apa coba." Mas Alfa kembali bicara, mungkin karena melihatku terus diam.
Lantas aku tersenyum, seraya mengusap rahangnya yang kokoh, tapi mulus.
"Kamu tiap hari kerja, Mas, pasti juga capek. Aku tega bangungnin kamu, lagian ... juga cuma mual aku. Nggak sakit yang lebih."
"Kerja itu udah kewajiban aku, Sayang, begitu pun dengan jagain kamu. Banyak atau sedikit sakit yang kamu rasa, aku harus ada di samping kamu. Itu baru aku ngerasa jadi suami yang berguna."
"Baiklah, lain kali aku bangunin," jawabku.
Mas Alfa tersenyum, kemudian memelukku dan mencium keningku dengan mesra. Lalu tanpa melerai pelukan, dia kembali bicara.
"Tapi, Sayang, kamu kok akhir-akhir ini mual terus. Jangan-jangan ... kamu udah hamil."
Aku sedikit merenggangkan pelukan, lalu mendongak dan beradu pandang dengannya.
"Sebenarnya ... aku udah telat seminggu. Tapi, belum berharap lebih. Aku takut hasilnya masih mengecewakan."
"Nggak ada kata kecewa, Sayang. Mau kamu hamil sekarang, nanti, atau kapanpun itu, aku nggak akan pernah kecewa. Aku mencintaimu, Sayang, apa pun yang ada padamu aku tetap cinta."
Tanpa kupinta, bibir ini mengulas senyum tulus. Mas Alfa, andai kesempurnaan bukan hanya milik Tuhan, dia sangat pantas menyandang predikat itu. Dia mencintaiku dan menjagaku dengan sepenuhnya. Aku yang banyak kekurangan ini, rasanya menjadi wanita wanita paling istimewa, berkat dia.
"Nanti coba beli test pack ya. Nggak ada salahnya kita periksa lebih awal. Kalau negatif ya nggak apa-apa, kalau misalkan positif kan jadi tahu harus konsumsi apa aja. Kandungannya bisa dijaga dengan baik nanti," ujar Mas Alfa.
"Sebenarnya aku udah beli, pas ikut Mama belanja kemarin. Tapi, aku masih ragu mau makai," jawabku, berterus terang. Memang barang itu sudah kubeli sejak kemarin. Tidak hanya satu, tapi tiga sekaligus.
"Kalau gitu coba kamu pakai, Sayang. Jangan khawatir sama hasilnya." Mas Alfa mengusap pipiku dengan lembut, meyakinkan bahwa apa pun hasilnya tidak ada kata kecewa baginya.
Tak punya pilihan lain, akhirnya kuturuti ucapannya. Aku melangkah menuju laci yang ada di bawah wastafel, lantas mengambil test pack yang kusimpan di sana.
Karena agak malu, aku menyuruh Mas Alfa keluar dan menunggu di kamar. Dia tak membantah, langsung pergi setelah mencium puncak kepalaku.
"Apa pun hasilnya, mudah-mudahan itu yang terbaik," ucapku sembari mengambil sampel untuk dites.
Jantungku berdetak lumayan cepat, menunggu hasil garis satu atau dua. Sambil menanti itu, aku membawanya ke kamar.
"Masih belum muncul," ucapku sembari duduk di tepi ranjang, di sebelah Mas Alfa.
"Jangan tegang, aku nggak menuntut hasil apa pun, Sayang." Mas Alfa bicara sambil mengusap lenganku, hangat dan lembut.
Aku tersenyum tipis, tapi tanpa mengalihkan tatapan dari benda pipih yang sedang kupegang.
Sampai akhirnya, satu menit berlalu dan garis merah di sana menunjukkan hasil tesku.
"Ini___"
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
ria
semangaaat...
2023-04-26
0
ummu audia
kpn up k
2023-04-13
1
Kendarsih Keken
ini nganu .. akhir nya mereka bahagia karena timbul garis merah 2 di alat itu
2023-04-12
1