"Ibu kenapa, Mas?"
Aku berteriak cukup keras karena Mas Abercio mendadak diam, menggantungkan kalimatnya begitu saja. Mau tidak mau, pikiranku jadi menerawang ke mana-mana.
"Ibu lagi di rumah sakit kota, keadaannya kritis."
"Kenapa bisa, Mas? Tadi pagi Ibu masih baik-baik aja, kan? Aku sempat telfon kok sama Ibu," ucapku dengan cepat. Sungguh, aku sangat kaget mendengar kabar ini.
"Iya. Mulai siang tadi Ibu ngeluh dadanya sakit, tapi nggak mau kubawa ke rumah sakit, katanya cuma efek batuk. Terus sekitar jam tujuh tadi tiba-tiba Ibu pingsan, pas kubawa ke rumah sakit udah kritis. Kata dokter ... jantung Ibu tersumbat."
Tubuhku makin gemetar saat mendengar penuturan Mas Abercio. Jantung tersumbat, bukan hal sepele. Jika tidak mendapat penangangan yang tepat, nyawa taruhannya. Tidak! Jangan sampai terjadi sesuatu dengan Ibu. Sudah cukup aku kehilangan Ayah. Aku tidak akan sanggup jika Ibu pergi juga.
"Lalu gimana menurut dokter, Mas? Ibu bisa sembuh, kan?" tanyaku sambil mengusap air mata yang terus saja menetes. Sungguh, ini merupakan kabar terburuk.
"Bisa, meski tidak sembuh total. Hanya saja Ibu harus rutin mengonsumsi obat, tidak boleh kelelahan, dan tidak boleh berpikir terlalu keras. Kita juga harus rutin memeriksakan kondisi Ibu, karena jika memburuk, maka harus dilakukan pemasangan ring."
"Kenapa Ibu harus mengalami ini, Mas?" Kupegangi dadaku yang terasa sakit. Apa yang terjadi pada Ibu kali ini mengingatkanku pada waktu dulu, Ayah juga meninggal dengan penyakit yang sama.
"Sudah jangan nangis, ini adalah ujian. Dengan usaha dan doa, Ibu pasti baik-baik aja. Percayalah!"
Aku hanya menggeleng-geleng, meski kutahu Mas Abercio tidak akan melihatnya.
"Athena, kamu bisa pulang, kan? Mungkin nanti pikiran Ibu bisa lebih tenang kalau udah siuman dan melihatmu di sini."
"Bisa, Mas. Aku akan pulang secepatnya." Aku menjawab tanpa ragu karena kondisi Ibu adalah yang paling penting bagiku. Andaipun Mas Abercio tidak memintanya, aku akan tetap pulang.
"Iya, tapi jangan lupa hati-hati."
"Iya, Mas."
Sesaat kemudian, sambungan telepon kami terputus. Lalu aku bangkit dan duduk di tepi kasur, mencari nomor kontak atasan yang kuharap belum tidur.
Nasib baik, teleponku langsung diangkat. Lantas tanpa basa-basi kuceritakan apa yang terjadi pada Ibu.
"Baik, Athena, kamu boleh pulang. Gajianmu bulan ini akan kukirim sekarang. Kamu naiklah pesawat agar cepat tiba di sana," jawab atasanku—Bu Naya.
Hatiku lega seketika. Benar-benar beruntung dipertemukan dengan majikan sebaik beliau. Itulah mengapa aku betah bekerja di sini, sampai empat tahun.
Setelah mengucap banyak-banyak terima kasih, aku mengakhiri sambungan telepon dan bergegas mencari tiket pesawat tercepat. Memang, jarak Denpasar dengan tempat asalku—Turen, Malang, cukup jauh. Jika lewat darat, butuh waktu seharian untuk tiba di sana.
Usai mencari tiket dan mendapat penerbangan jam 08.00 pagi, aku langsung mempersiapkan barang-barang yang akan kubawa besok. Tidak banyak, hanya charger, alat mandi, dan beberapa kosmetik.
Ketika aku masih sibuk mempersiapkan semua itu, tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Tampak di sana Mbak Karin dan Nadia sedang melangkah masuk sambil menenteng beberapa camilan.
"Loh, kok kamu kayak mau bepergian gitu, Na?" Mbak Karin bertanya sambil mendekat. Dia adalah seseorang yang mengajakku ke sini. Kami termasuk tetangga di kampung, hanya beda desa.
"Iya, Mbak, besok aku mau pulang. Ibu sakit, sekarang dirawat di rumah sakit kota," jawabku dengan sedikit serak karena terlalu banyak menangis.
"Ya ampun, sakit apa Tante Arum, kok sampai di bawa ke rumah sakit?" tanya Mbak Karin. Dia cukup mengenal ibuku karena dulu kami juga berteman.
"Jantung, Mbak."
"Duh, Athena, yang sabar ya kamu. Cuma bisa bantu doa, mudah-mudahan Tante cepat sembuh." Nadia ikut menimpali. Gadis asal Blitar itu memang cukup dekat denganku, wajar, kami sudah empat tahun menjadi rekan.
"Makasih banyak ya, Nad, doa juga cukup penting." Aku tak bisa menahan air mata ketika menjawab ucapan Nadia, pikiranku kembali dihantui dugaan-dugaan buruk.
Setelah aku meneteskan banyak air mata, Mbak Karin dan Nadia memelukku dari samping, memberikan kekuatan pada diriku yang sedang rapuh. Tapi, mereka tidak tahu jika rapuhnya hati ini bukan hanya karena Ibu, melainkan ada Kendrick yang sebelumnya turut ambil peran.
Ah, entah mengapa ujian datang bertubi-tubi.
__________
Sekitar jam setengah sepuluh, aku tiba di rumah sakit tempat Ibu dirawat. Dengan langkah cepat, aku menyusuri halaman rumah sakit dan menuju ICU.
Namun, tidak kutemukan keberadaan Mas Abercio di sana, yang ada malah lelaki lain yang selama ini selalu kuhindari—Alfarezza Samudra.
"Ngapain dia di sini?" batinku tanpa menghentikan langkah, dan mungkin itu terdengar nyaring di telinganya, sehingga kepala yang semula menunduk perlahan mendongak dan menatap ke arahku.
"Athena!"
Aku tersenyum tipis, guna menanggapi sapaannya yang terlihat antusias.
"Tante Arum pasti baik-baik aja, kamu jangan terlalu sedih ya." Dia beranjak dan berjalan ke arahku, sambil menyunggingkan senyum yang mungkin menawan menurutnya, tapi tidak bagiku.
Aku pun sekadar mengangguk. Kurasa itu sudah cukup untuk menanggapi ucapannya.
"Bagaimana kabarmu, Athena? Sudah lama aku nggak bisa menghubungi," ucapnya masih dengan senyuman yang sama.
"Aku ... baik," jawabku agak canggung.
Karena bukan tanpa alasan dia tidak bisa menghubungi, melainkan karena semua akses tentangnya sudah kublokir.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
ria
alfareza samudra..nama yg keren😘
jodohkah sama athena🤔
2023-04-13
1
ria
😁😁anak turen kerja di bali
2023-04-13
1
Hervi
Yee aku juga malang..dulu sekolahku juga di Turen😁😁
2023-04-05
1