Chapter 4.3

Nun kejauhan langit timur sana, fenomena langit terbelah masih saja terlihat hingga kini menjelang matahari tergelincir. Batas antara langit biru desa Riverrun dan langit hitam di daerah Teritorial Gelap.

Di tengah aliran lembut sungai Rhinè itu, Estella berdiri menatap cerminan dirinya di permukaan air. Wajah cantik dan rupawan di satu sisi, namun juga wajah sedih dan sendu di satu sisi lain. Sedikit berbeda si 'jahe' ini.

"Aku ini sebenarnya apa?" pertanyaan itu kembali terngiang dalam benak Estella.

Tatapan yang sendu memandang cerminan dirinya di permukaan air sungai Rhinè yang mengalir lembut menuju selatan. Bahkan cerminan wajahnya sendiri seakan ingin menanyakan hal yang sama, "Siapa kau sebenarnya?"

Estella membasuh wajahnya yang berkaca-kaca. Ingin rasa dia menangis, tapi tak mampu keluar air matanya. Lagi pula Estella sudah bertekad untuk tidak menangis lagi. Ingin rasa Estella berteriak selantang-lantangnya untuk melepaskan beban itu, tapi apa daya jika suaranya tak mampu keluar.

Sendirian lagi Estella menatap wajahnya yang berkaca-kaca di atas permukaan air sungai Rhinè. Entah mengapa sungai ini selalu dapat mengalirkan perasaannya yang tak mampu diungkapkan oleh kata-kata. Mungkin karena nasib sungai ini sama dengan nasib Estella selama ini, hidup di antara dua dunia.

Konon di sebelah timur sungai Rhinè, selalu ada kegelapan di sana. Semua kehidupan layu seketika melewati sungai ini. Tanah-tanah subur berganti dengan tanah hangus. Pohon-pohon ek yang memenuhi hutan sudah diganti dengan pohon mati yang hitam kelam. Ini semua ada di sebelah timur sungai Rhinè.

Sementara di sebelah barat sungai Rhinè, kehidupan apa pun bermekaran dan subur di sana. Pohon-pohon hijau yang memenuhi seantero mata memandang. Para Fey yang terbang bermain riang di atas permukaan air sungai laun itu. Sangat berbeda dengan yang terjadi di timur sungai. Bisa dibilang sungai Rhinè hanyalah pembatas antara kedua dunia itu tapi tidak termasuk ke keduanya.

Sama seperti Estella, berulang kali nyawanya hampir melayang, tapi selalu tak kunjung tiba waktunya. Estella selalu hidup, kematian seakan selalu menolaknya bahkan saat pertama dia mendapatkan penglihatan di Malam Bulan Merah. Namun juga Estella tidak diterima di dunia kehidupan, berulang kali Estella mencoba tapi tak bisa. Kehidupan selalu menolaknya, warga-warga desa selalu menolak dan mencacinya. Tidak pernah dia diakui sebagai manusia. Mungkin seperti inilah takdir seorang penyihir. Tak diterima dimana-mana.

Angin berhembus mengibas rambut merah Estella yang cantik merona. Estella membetulkan rambutnya yang sedikit berantakan dan menghapus mata berkaca-kaca itu dengan air sungai Rhinè.

"Apa yang kau lakukan di sini Roebart?" tanya Estella pada Roebart yang tengah bersembunyi di balik pohon Ek.

Roebart tidak menjawab, dia berjalan menghampiri. "Kak kenapa—"

"Aku sudah selesai di sini," ucap Estella laun. "Mau ku bacakan lagi dongeng itu kah?" tanya Estella lagi, berusaha untuk tidak membiarkan Roebart.

"Mau!" Roebart berseru girang. Tersenyum Roebart mendengar perkataan Estella. Dia lalu duduk manis di sebelah Estella duduk seraya menatap riak air sungai Rhinè yang laun mengalir. Sangat tenang mengalir dan juga kali ini tidak ada Fey yang berisik di sekitar sungai.

Di sisi lain Estella bangkit dan mulai bola matanya berputar. Sambil tangannya dilipat Estella berkata, "Tunggu, aku ingat-ingat dulu kisahnya." Setelah beberapa saat Estella menatap langit timur sana yang terbelah, akhirnya dia menjentikkan jari. "Ah benar, waktu itu sampai mana terakhir kita?" Estella berbalik dan bertanya.

"Sang Dewa kegelapan Tivr menyelamatkan Halmar, lalu dia muncul tiba-tiba sambil meminta bayarannya!"

Lagi Estella seperti sebelumnya, melipat tangan di ketiak sambil bola matanya berputar. "Hmmm.... Aku sebaiknya melanjutkan mulai dari mana ya?" gumam Estella yang lalu matanya beralih pandang ke arah Roebart. Wajah Roebart yang lugu itu terlihat seperti mengatakan, "Yang mana saja, aku sangat menantikannya!"

"Well," desis Estella. "Tapi lanjutan kisah ini tidak berakhir bahagia." Estella berdeham kemudian dia pun mulai bercerita. "Jawaban Halmar sederhana, dia berkata pada Tivr 'aku akan membayar apa pun asalkan dapat membunuh Sang Raja!' dan jawaban Tivr pun sederhana, aku akan kabulkan semua keinginanmu.

"Lalu, Halmar mendapat kekuatan tiada dua yang dapat meluluh lantakkan dunia. Membawa naga-naga dari dunia lain dan membawa peri-peri dunia bawah. Dengan kekuatan ini, dia berjalan masuk istana Zandri, tempat istana seharusnya dia berada, dengan mata merah bercahaya."

"Bagaimana, apa Halmar berhasil mengalahkan Sang Raja jahat itu?" Roebart bangkit lalu melompat-lompat girang. Dia lalu kembali duduk saat Estella mulai ingin berkata lagi.

"Ya, bisa dibilang seperti itu, tapi aku tak ingin menyebutnya Raja Jahat." Estella berdeham, melanjutkan kembali cerita lagi dia ketika wajah Roebart semakin berbinar penasaran. "Singkatnya, Sang Raja kalah dan Halmar beserta pasukan barunya menggantikan kembali atau lebih tepatnya mendapatkan kembali posisi raja di istana Zandri. Dan kerajaan itu pun hidup makmur dan sejahtera." Suara Estella menciut di bagian kalimatnya yang terakhir.

"Hanya segitu? Lalu bagaimana dengan—"

"Ah benar, ingat bagaimana dewa kegelapan memberikan kekuatan itu pada Halmar?" tambah Estella tepat ketika angin berhembus mengibas rambut merahnya. Sementara itu Roebart bersungut-sungut setuju. Estella berdiri di tepi barat sungai Rhinè, sepatu boot itu sedikit terbasahi di ujungnya. " 'memohonlah padaku maka akan aku kabulkan" kata-kata itu hanyalah bualan semata, dan bayaran yang diminta tidaklah main-main.

"100 juta jiwa, itulah yang diminta Sang Dewa Kegelapan dan tentu ini bukanlah hal yang mudah bagi Halmar. Waktu itu jangankan kota besar, istana saja sangat jarang dan masih sedikit pula kehidupan di dunia, lalu bagaimana Halmar membayarnya?"

Roebart berpikir keras untuk menjawab. Raut wajahnya berubah-ubah setiap kali satu jawaban salah terlintas di benaknya. Matanya menyipit terus.

"Jawabannya adalah kutukan, ya Halmar beserta seluruh kerajaan barunya itu dikutuk untuk menderita kesakitan dan penderitaan tiada dua. Semakin lama Halmar hidup, semakin dia menyadari, kerajaannya berubah menjadi mayat hidup. Semua tanah kerajaan berubah hangus, pohon-pohon layu seketika dan yang paling mengerikan langit di sana tertutupi kabut kegelapan yang selamanya menghalangi cahaya matahari masuk."

Sambil tertegun Roebart mendengarkan, sambil pula pandangannya perlahan tertuju ke langit yang ditunjuk Estella. Langit sebelah timur sungai Rhinè, langit nun jauh di sana yang hitam kelam meski sedang siang hari seperti ini. Daerah Teritorial Gelap, itulah sebutan untuk tempat terkutuk itu.

Kembali terlihat sendu di wajah Estella, mata rubinya sedikit memadam. Bayaran yang sangat mahal dan bagaimana nasib Estella selanjutnya.

"Konon di kegelapan sana, Halmar masih menunggu kutukan ini terputus, dia masih menunggu di kegelapan dunia terdalam bersama rakyatnya yang terimbas. Tidak bisa hidup dan tak bisa juga mati, tak bisa pergi pula dari kegelapan abadi. Kabut itu menutup mereka agar tidak pergi keluar." Estella memandang kembali riak air sungai Rhinè yang menyalir lembut ke selatan. "Semua tidak ada yang mudah."

Hening kembali suasana tepi barat sungai Rhinè itu. Langit di sebelah barat masih sedikit tertutupi kebul asap hasil jerih payah para penambang, sangat kontras dengan langit nun jauh di timur sana yang terbelah. Hitam pekat membentang tinggi kabut itu ke atas langit timur, seperti dinding bermil mil tingginya.

"Jangan bersedih ya Halmar, kesatria Roebart akan mematahkan kutukan itu dan menyelamatkanmu!" ucap Roebart terbangga-bangga sambil membusungkan dadanya ke depan, "Dan kakak juga jangan bersedih," tambahnya setelah melihat wajah padam Estella yang tak biasa Roebart lihat.

"Aku? Ya tidak aku tidak akan bersedih, semua baik-baik saja." Jawab Estella sedikit gelisah sambil dia mengusap tengkuk lehernya.

"Penduduk desa—"

"Kalau itu karena kesalahanku." Akhirnya Estella menyerah untuk mengalihkan pembicaraan. Dari mana pun tetap dia tak bisa menyampingkan masalah tadi dengan Mrs. Adeline. "Aku sudah pernah bilang sebelumnya, bahwa tempat kita tak seharusnya di sini, tidak ada tempat untuk kita, untukku."

Suasana lengang kembali mengisi. Sangat lengang tak seperti biasanya. Tidak ada para Fey yang iseng bermain, tak ada jejak kehidupan lain juga di sana selain Estella dan Roebart. Hanya riak air sungai Rhinè yang mengalir lembut ke selatan lah yang mengisi kekosongan ini. Baik Estella maupun Roebart tak mampu berkata-kata.

"Roebart, menurutmu apa aku." Kata-kata Estella terhenti. Roebart melirik ke arah Estella seketika. "Tidak, tidak, lupakan saja, lagi pula sudah waktunya kembali," kata Estella laun sambil tersenyum manis.

Masih terlalu dini memberitahu Roebart akan kejadian sesungguhnya di Malam Bulan Merah dan sebenarnya siapa Roebart dan Estella ini. Bagaimana keruntuhan Keluarga Rosewell dan kejadian berdarah itu.

Roebart menepuk-nepuk bagian celananya yang sedikit kotor. "Kapan-kapan kita ke timur sungai Rhinè, aku ingin menyelamatkan Halmar!" seru Roebart girang.

Estella hanya terkekeh mendengar itu.

Sesungguhnya imajinasi anak kecil tak dapat diduga. Kelewat liar imajinasi mereka dan mudah percaya saja mereka. Pada kenyataannya tidak ada Halmar, tidak ada juga yang namanya Hutan Kegelapan dan istana Zandri. Singkatnya, kisah tadi semua hanyalah salah satu dongeng dan cerita dari ratusan cerita di balik misteri daerah Teritorial Gelap. Toh nama Teritorial Gelap sendiri diberikan karena tak ada satu pun yang pernah kembali dari tepi timur sungai Rhinè, tidak ada yang tahu dibalik Kabut Mimpi Buruk tersebut.

Seketika detap langkah kaki kakak beradik itu terhenti. Estella menggenggam erat tangan Roebart, membuat Roebart ikut berhenti melangkah. Ada kebingungan kecil di wajah Roebart, namun sebuah ketakutan mendalam lah yang ada di mata Estella. Kenapa tidak terpikirkan olehnya semua itu.

Hutan ujung timur saat ini begitu lengang. Tidak ada satu pun Fey terbang laun di sekitar sungai maupun pohon Ek tempat tinggal mereka. Tak ada rusa-rusa yang berlarian dan juga tak ada tupai yang selalu mengawasi dari dahan pohon. Tapi Estella yakin ada mata yang tajam mengawasi lekat-lekat dirinya dari kejauhan.

"Mari!" seru Roebart girang, sambil menarik-narik tangan Estella agar mulai berjalan. Sementara sorot mata yang mengawasi di belakang terasa semakin intens dan dekat.

Terpopuler

Comments

Tanata✨

Tanata✨

wow

2023-09-08

1

Tanata✨

Tanata✨

malang sekali

2023-09-08

1

Tanata✨

Tanata✨

be strong, come on! 😇

2023-09-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!