Senyum terkembang sempurna ketika Livy melihat buah hatinya yang ada di dalam dekapannya. Rasa lelah setelah berjuang selama delapan jam sendirian, berusaha melahirkan sang buah hati dan juga ada rasa kesal karena di saat dirinya melahirkan untuk pertama kalinya dia tidak juga ditemani oleh sang suami. Entah ke mana sang suami hingga telponya dia tidak direspons juga bukan hanya telepon dari Livy, tetapi telepon dari dokter Lili juga tidak direspon juga. Bukan hanya suami yang tidak menemaninya, tetapi mertua pun tidak ada yang perduli. Mentang-mentang dia hanya anak yatim piatu sampai-sampai apa-apa dia berusaha seorang diri.
Livy pun tidak henti-hentinya menciumi buah hatinya. Ada harapan besar dari setiap ciuman yang dia berikan. Agar buah hatinya tidak bernasib seperti dirinya yang benar-benar hidupnya sangat berat.
pernikahan yang dia harapkan bisa bahagia nyatanya hanyalah dijadikan alat untuk medapatkan harta oleh ibu mertuanya.
Memang wanita itu sudah biasa hidup seorang diri, tapi dia juga ingin di saat momen seperti ini dia mendapat dukungan dari sang suami. Livy bukan egois tidak mau mengerti keadaan sang suami, dia hanya butuh di saat dia melahirkan buah hati bersamanya. Toh di hari biasa Livy juga tidak pernah menuntut hal yang lebih. Wanita itu tahu Agam sang suami adalah pewaris utama dari perusahaan papahnya yang mana sang papah sudah sakit-sakitan sehingga dia ditugaskan bekerja lebih berat. Livy tahu itu oleh sebab itu dia selama ini tidak pernah menuntut lebih. Namun justru kesabaranya seolah dianggap sebelah mata oleh sang suami. Dapat ibu mertua yang licik pula, dan juga suami yang sulit untuk berdiri di pihaknya, membuat Livy harus benar-benar memiliki hati sekuat baja. Baja saja rasanya kalah kuatnya oleh Livy.
Bukan karena dia bodoh dan pasrah serta menyerah, tetapi Livy tidak ikhlas kalau harta suami dan mertuanya jatuh ke tangan ibu mertua yang licik, sehingga wanita itu tetap bertahan di dalam rumah yang seperti neraka itu.
Di saat wanita itu melamun dengan perjalanan hidupnya, dokter Lili masuk ke ruangan Livy dan juga menatap Livy dengan tatapan yang tajam.
Wanita berparas cantik itu memang tidak berada di posisi Livy, tetapi rasanya dia juga merasakan derita yang ibu satu anak itu rasakan. Sebagai wanita yang pernah melahirkan tentu dokter Livy tahu kalau wanita yang masih pucat itu selain sakit fisiknya juga jiwanya tersakiti.
“Apa kamu akan tetap kembali ke rumah itu?” tanya dokter Lili dengan wajah yang serius.
“Kalau Livy pergi yang ada mereka (Ibu mertua dan kedua anak kembarnya) akan enak-enakkan karena tidak ada saingan. Saya harus tetap bertahan di sana setidaknya sampai Mas Agam tahu kalau wanita itu adalah tuyul berbentuk nenek-nenek,” jawab Livy dengan senyum sinisnya.
“Soal Agam yang tidak pernah berada di pihak kamu?” tanya dokter Lili lagi.
“Saya tidak mempersalahkannya, hati ini sudah terbiasa sendiri sehingga rasanya tidak akan jadi masalah kalau Livy kembali sendiri lagi. Menangisi laki-laki juga percuma, karena suami hanya titipan. Kalu tidak diambil wanita lain ya diambil Tuhan. Saat ini saya hanya fokus pada anak dan ingin menyingkirkan tuyul itu,” Jawab Livy dengan senyum penuh arti.
"Kalau itu memang sudah menjadi keputusan kamu, aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa membantu kamu dengan doa. Kamu adalah wanita yang kuat di saat wanita lain pasti sudah kabur meninggalkan pernikahan yang dijalanin hanya sepihak dan juga mertua yang licik. Tapi kamu justru memilih tetap bertahan untuk mempertahankan harta itu yang memang lebih baik jatuh ke tangan kamu dan bisa kamu gunakan untuk kemanusiaan dari pada jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab yang ada hanya untuk berfoya-foya," balas dokter Lili dengan mengambil buah hati Livy yang seolah ingin minum ASI.
"Terima kasih Dok, meskipun hanya doa yang Dokter berikan, tetapi bagi Livy itu sudah sangat-sangat berarti mengingat memang Livy juga membutuhkan doa itu."
Livy sejak tadi sudah mentargetkan setidaknya satu tahun lagi dia tinggal di rumah bak neraka itu. Dan berharap dalam satu tahun semuanya sudah bisa terbongkar. Atau setidaknya Agam dan papih mertuanya tahu siapa Tari itu. Karena kalau harus mengulur waktu lagi Livy juga rasanya tidak kuat karena bertahan dengan tekanan dari sana dan sini itu sangat menyakitkan.
Menikah dengan suami yang lebih dikuasai oleh ibunya dan lebih percaya dengan ibunya itu sangat sulit dan juga sangat sakit. Semua yang dikatakan bisa diputar balikan faktanya.
Kini Livy pun dengan perlahan dibantu memberikan ASI pertama untuk sang buah hati. Ternyata bukan hanya melahirkan yang maha dahsyat sakitnya. Memberikan ASI untuk pertama kalinya pun sangat ngilu dan perih bahkan Livy sampai menitikan air mata. Lagi dan lagi ia teringat dengan sang ibu, bagaimana ibunya saat ini berada, di mana wanita yang telah melahirkanya berada. Meskipun wanita itu mungkin tidak minum ASI dari wanita yang melahirkanya, tetapi perjuangan sang ibu untuk melahirkan dirinya sudah sangat berarti dan berjasa besar.
Meskipun sampai detik ini Livy masih ada rasa kesal dan kecewa dengan orang tuanya, baik ibu dan ayahnya. Mungkin kalau wanita itu tahu alasan mereka membuang dirinya Livy akan mencoba mengerti masalahnya selama dua puluh empat tahun dia hidup tidak ada yang mencari dirinya atau bahkan menanyakan dirinya. Entah Tuhan akankah berbaik hati pada dirinya untuk mempertemukan orang tuanya atau justru sampai ajal menjempul Livy akan tetap tidak tahu siapa sang Ibu kandung.
Di tempat lain
Agam yang baru selesai dalam pekerjaannya terkejut ketika banyak panggilan dari sang istri dan juga dari dokter kandungan yang menjadi dokter pribadi sang istri. Satu persatu dia membuka pesan yang tertulis di layar ponselnya.
Kedua matanya memerah ketika dia melihat ada bayi berjenis kelamin perempuan dengan paras cantik terpampang di layar ponselnya. Tanpa terasa air matanya mengalir membasah pipinya. Ada segelintir batu penyesalan memenuhi relung hatinya. Entah apa yang membuatnya tidak membawa ponsel. Memang Agam ada rasa kesal ketika sang istri kadang berkabar yang menurutnya tidak penting apalagi membahas Tari yang menurutnya baik-baik saja. Sehingga Agam memilih meninggalkan ponselnya. Tidak terpikir kalau Livy akan lahiran secepat ini, mengingat usia kehamilan buah hati mereka masih tujuh bulan.
Tanpa menunggu lama laki-laki itu pun langsung mengayunkan kakinya dan meninggalkan pekerjaan selanjutnya. Ada rasa yang menariknya agar segera menemui istri dan juga putrinya.
Rasa yang aneh timbul menguasai hatinya ketika melihat foto bayi cantik itu. Penyesalan demi penyesalan pun menguasai dirinya yang selama ini mengabaikan perasaan sang istri. Namun, laki-laki itu juga tidak bisa memungkiri bahwa dia masih sangat mencintai sang mantan kekasih. Itu sebabnya dia membiarkan jarak pada sang istri. Membiarkan sang istri merasakan cinta bertepuk sebelah tangan. Hanya karena wanita lain yang sudah meninggalkan dirinya untuk sebuah karir.
Namun, setelah melihat foto buah hatinya laki-laki itu seolah diingatkan akan semua kesalahan-kesalahan pada sang istri padahal Livy menjadi istri sudah sangat baik, dia bisa melayaninya dari kebutuhan lahir dan batinya. Livy selalu berusaha menjadi istri yang baik, patuh dan tidak banyak menuntut. Wanita itu juga tidak boros seperti kebiasaan wanita lainya, terutama Livy dari orang yang tidak mampu tetapi dia tidak langsung kaget mendapatkan suami seperti dirinya yang kaya raya dan mau apa bisa dibelinya.
Sang istri masih bisa mengatur keuangan dengan sangat baik.
"Maafkan saya Livy, selama ini saya selalu mengabaikan kamu. Padahal kamu adalah wanita yang sangat baik," batin Agam selama dalam perjalanan ke rumah sakit hatinya dipenuhi dengan penyesalan karena sudah mengabaikan perasaan sang istri.
Bersambung....
...****************...
Selamat menyambut bulan Ramadhan, mohon maaf lahir dan batin....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments