Dua tahun lalu.
Sakura berguguran dengan indahnya. Mengikuti alunan melodi alam yang berhembus, membawanya entah ke mana. Kicauan berbagai burung saling bersahutan, menyambut musim dingin yang segera tiba.
Tak hanya itu, para tupai dan binatang lain juga tengah mempersiapkan ruang hibernasi dan persediaan tambahan demi terus menjaga nyawa di musim yang mencekam, musim dingin.
Di sisi lain, ada taman idaman semua orang. Ya, Taman Sakuragi, sebuah taman dengan tumbuhan sakura yang berguguran begitu indah. Daun merah muda yang kini terbawa arus angin menambah keharmonisan alam. Momen ini senantiasa tak pernah ditinggalkan siapa pun, sebab gugurnya sakura menandakan kesedihan dan menjanjikan kebahagiaan.
Di sudut tempat Taman Sakuragi, keluarga Han tengah menikmati indahnya sakura yang berjatuhan dan terbawa angin. Mereka duduk bersama di atas tikar dengan corak kotak-kotak berwarna coklat. Tak hanya itu, di atasnya pun dilengkapi berbagai hidangan yang telah disiapkan oleh ibu Han sebelum mereka berangkat untuk piknik keluarga.
Ada sushi, onigirazu, ayam katsu, sandwich, dan lain sebagainya. Ibu Han sengaja memasak begitu banyak makanan, sebab piknik kali ini akan menjadi piknik yang luar biasa setelah sekian lamanya.
Di pangkuan ibu Han, Hana yang berusia lima tahun itu duduk termenung seraya menatap sakura yang berguguran. Bibirnya begitu pucat. Ya, Hana sudah sakit sejak dirinya menginjak usia dua tahun.
Meski begitu, keluarga Han menjadi keluarga yang begitu harmonis. Banyak kehangatan yang terbangun. Han... sangat menyayangi mereka.
Mendadak, seekor burung gagak hinggap di salah satu ranting sakura. Ya, hanya seekor burung gagak. Tidak lebih. Namun, hal itu mengundang ketertarikan bagi Han kecil.
Jari mungilnya menunjuk ke arah burung gagak yang tengah berdiam diri di atas ranting, seraya mengawasi para manusia yang tengah sibuk menikmati keharmonisan alam. “Pa, ada burung gagak di ranting sakura!” seru Han gembira. Baru kali ini dia melihat gagak hitam yang asli, apalagi bersamaan dengan gugurnya sakura. Ah, semakin indah dilihat.
Kepala ayah Han pun mengikuti ke mana jari putranya mengarah. Kemudian, jidat ayah Han berkerut. Wajahnya menampakkan kegelisahan. Namun, dia langsung memberikan seutas senyum pada Han. Dia bertanya, “Han, apakah kamu tahu apa makna sakura dan burung gagak?”
Han menggeleng perlahan disusul dengan bahunya yang naik-turun, menandakan bahwa dia benar-benar tak mengetahui apa pun tentang hal itu. Sebenarnya, ayah Han sudah tahu apa jawaban putranya.
Tanpa berbasa-basi lagi, ayah Han menjelaskan tentang dua benda yang menjadi topik hangat hari itu. Sebelum mengatakan apa yang ada di pikirannya, ayah Han menghela napas sejenak, lalu tersenyum lagi dengan lembut.
“Sakura adalah bunga yang indah. Gugurnya menandakan kehangatan yang hendak hilang dan menjanjikan kebahagiaan yang akan datang.” Mata ayah Han tertuju pada salah satu pohon sakura yang baru menggugurkan beberapa daun saja.
Sementara di sisi lain, meski Han sudah berusia tiga belas tahun, tetapi dia belum mampu mencerna kalimat kompleks dari ayahnya. Dia pun hanya menatap sang ayah seraya otaknya berusaha keras menerima kalimat itu.
Kemudian, si ayah melanjutkan, “Sakura juga menandakan bahwasanya setelah kesulitan pasti ada kemudahan, setelah kesedihan pasti ada kebahagiaan, dan setelah kehidupan pasti ada kematian. Seperti halnya sakura. Setelah dia gugur, dia berpamitan dengan musim panas dan akan mengabarkan bahwasanya musim dingin segera tiba.”
Perlahan, Han mulai memahami apa yang tengah dibicarakan ayahnya ini. Dia pun semakin tertarik dengan maksud perkataan ayahnya.
“Setelah gugur pun, sakura menjanjikan kebahagiaan. Dia akan kembali bermekaran dengan indah setelah melewati musim dingin yang begitu mencekam. Kemudian sakura mekar dan kembali berguguran. Seperti halnya manusia dan seluruh makhluk yang ada di bumi.”
“Memang apa hubungan kita dengan sakura yang berguguran, Pa?” tanya Han. Dia mulai bingung kembali.
Ayah Han pun mengelus kepala mungil putranya. Dia merasa bahagia karena rasa ingin tahu di dalam diri Han begitu besar. “Tentu saja ada hubungannya. Ya, kamu tahu setelah kita hidup, pasti kita akan mengalami kematian, bukan? Sakura juga seperti itu.”
Kepala Han pun mengangguk lagi. Dia sudah tahu garis besar makna dari gugurnya bunga sakura. Namun, tak berhenti di situ saja. Ayah Han masih mempertanyakan hal lain. “Lalu, apa kamu tahu makna dari burung gagak itu?” telunjuk ayah Han mengarah ke seekor gagak yang masih bertengger santai di salah satu ranting sakura.
“Tidak.”
“Menurut mitos, burung gagak adalah pertanda sebuah kematian,” jawab ayah Han. Tatapannya mendadak kosong.
Namun, seketika ibu Han langsung memukul pelan lengan suaminya itu, membuyarkan lamunannya. “Duh Papa, zaman sekarang jangan berpikir yang macam-macam. Lihatlah, Humanpolis sudah banyak berkembang. Saking canggihnya teknologi, kematian sudah sedikit dan kelahiran makin banyak. Memang sih, setiap yang bernyawa pasti akan mengalami mati. Tapi, untuk sekarang mari kita nikmati dahulu momen-momen yang ada sambil terus mensyukuri pada apa yang kita punya.”
Ah, sungguh kalimat yang indah.
Kedua mata Han berbinar. Benar sekali. Han hanya perlu menikmati momen itu sebelum semuanya usai.
Setiap yang bernyawa, pasti akan mengalami mati, begitulah kiranya.
Kemudian, tak lama setelah momen piknik mereka, pada musim dingin di bulan pertama, Han melihat kedua orang tuanya sudah terbaring tak bernyawa di atas kasur.
Entah salah siapa.
Namun, tatkala Han menangisi kepergian kedua orang tuanya yang mendadak, dia melihat ke arah luar jendela. Di sana tampak seekor burung gagak kecil yang bertengger. Pada hari itu, Han mulai membenci burung gagak hingga saat ini.
Bahkan, di tempat ini pun, Han masih membencinya. Bagaimana tidak, kejadian masa lalu yang sudah dia kubur dalam-dalam, akhirnya bertemu juga hingga masa sekarang.
Mendengar kalimat “Utusan Gagak” membuat Han memaki sepenuhnya di dalam hati. Dia menggenggam kedua tangannya dengan kuat. Akhirnya, burung gagak muncul kembali dan membakar kebencian di dalam dirinya.
Di ruangan yang penuh dengan misteri ini, Han menatap dengan seksama para manusia bertopeng gagak yang berdiri dengan angkuh, menurutnya. Inilah kematian yang dibawa oleh seekor gagak?
“Apa maksud kalian dengan utusan gagak?! Apa kalian memang sang malaikat maut, pembawa kematian itu?! Kenapa kalian harus ada? Kalian yang membuat aku harus berpisah dengan keluarga-keluargaku! Terkutuklah kalian!”
Han terus memaki tanpa jeda sedikit pun. Semua kemarahannya pada seekor gagak membuatnya kehilangan kendali. Han meluapkan segala hal yang pernah dipendamnya. Apakah benar inilah akhir dari hidupnya?
Tatkala Han terus mengoceh, mengungkapkan isi hatinya yang perih, tiba-tiba saja ada yang meremas pundak sebelah kanannya. Sontak saja Han langsung berhenti seraya merinding ketakutan.
Dirinya baru sadar bahwa ini adalah tempat di mana dia akan diadili. Ah, tetapi dia malah seenaknya berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Mental Han pun mulai menciut, seperti kerupuk yang tersiram air.
Bahkan, mulut Han tak mampu berkata-kata lagi. Entah ke mana rasa percaya dirinya tadi. Ah, apakah setelah ini dia akan disiksa karena bertingkah seenak jidat?
“Berisik!” ucap seseorang yang meremas punggung Han dari belakang. Suaranya menggetarkan hati Han. Bukan karena kagum, melainkan saking menggemanya suara itu di dalam ruangan aneh ini dan ketakutan yang kian membesar.
Meski begitu, Han langsung menoleh. Apakah malaikat dapat bersentuhan langsung dengannya?
“Y-ya. A-aku ... a-aku akan di-diam,” jawab Han dengan terbata-bata. Aksaranya tak mampu keluar dengan sempurna sebab rasa takut lebih besar daripada keberaniannya yang seperti api di atas korek, tiba-tiba saja padam.
“Kau tahu, sudah berapa pertanyaan yang kau ajukan dan aku pusing mendengarnya?!” protes seseorang itu lagi.
Namun, Han tidak menggubrisnya sebab yang dia lihat adalah wajah dari anak lelaki seusianya. Alisnya tidak tipis dan tidak juga tebal. Hidungnya mungil, tetapi panjang. Ada tato burung gagak di punggung tangan kanannya. Tingginya sekitar 173 sentimeter, lebih pendek dua meter daripada Han.
Rambut anak lelaki itu hitam pekat seperti kedua manik-maniknya yang indah. Meski begitu, tatapan anak lelaki yang tak dikenalnya itu tampak tak berekspresi. Hanya ada kehampaan di balik binar netranya. Meski marah, tetapi wajah itu masih bisa menenangkan hati yang melihatnya.
Han pun sampai mengaguminya. Sebagai seorang lelaki juga, dia pun ingin wajah teduh seperti lelaki yang berada di hadapannya. “Apakah malaikat bisa setampan ini? Dia pun bisa menyentuh dan berbicara denganku. Apakah memang ini adalah akhirat?” Han hanya berbisik di dalam hatinya.
“Dasar agen baru yang merepotkan!” maki lelaki itu, membuat Han terkejut seketika dan kembali menaruh pertanyaan.
“A-agen baru?”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments