Malam hari tiba.
Seluruh teman-teman Han mencarinya. Sudah hampir setengah hari Han tidak tampak batang hidungnya setelah menengok apa yang tengah terjadi antara Gibran dan Therra. Sebagian merasa, Han sudah lolos dengan mudah. Namun, yang lain berpikir bahwa pertahanan The Raven begitu kuat. Tidak ada yang bisa keluar begitu saja kecuali kucing liar.
Benar.
Han memang tak bisa ke mana-mana. Setelah pelariannya, dia mencoba mencari jalan keluar. Namun, dia tak bisa lepas dengan mudah dari The Raven. Dia sudah menelusuri setiap sudut dari dinding kokoh organisasi paling ditakuti oleh seluruh distrik di Humanpolis.
Tepat malam hari ini, Han berada di sebuah gudang penyimpanan, duduk dengan penuh penyesalan. Dia duduk seraya memeluk kaki, berusaha melindungi dirinya yang melemah. Berkali-kali dia memaki dirinya sendiri yang tak mampu melakukan pembebasan. Otaknya yang terasa kecil tak mampu lagi memikirkan cara yang cerdik.
Han termenung menatap cahaya rembulan yang memaksa masuk lewat jendela kecil di atas sana. Dinding tembok tanpa cat itu memiliki jendela yang tak dapat terjangkau tanpa menggunakan tangga atau semacamnya.
Selain itu, jendela tersebut tak akan bisa menjadi alternatif untuk kabur Han. Maka dari itu, cukup sampai di sini Han merencanakan pikiran liciknya untuk terbebas dari The Raven. Dia hanya mampu memandangi jendela kecil itu seraya berharap ada keajaiban bahwa jendela itu dapat membesar dan mudah untuk dijangkau oleh tubuhnya yang tidak terlalu tinggi seperti Gibran.
Bicara tentang Gibran, Han kembali teringat. “Pasti sulit bagi Kapten Gibran untuk melewati ini. Kenapa juga The Raven menargetkan wanita hamil yang tentu tidak bersalah?” Han merasa bahwa The Raven benar-benar organisasi yang gila. Dia pun mengutuk The Raven tanpa ampun.
Namun, sebanyak apa pun kata-kata haram yang keluar dari mulut mungilnya, itu tak dapat mengubah fakta bahwa dirinya juga termasuk bagian dari The Raven. Ah, Han semakin menyalahkan dirinya saja yang tak mampu melawan nasib paling malang ini.
“Aku ingin bertemu dengan Hana,” lirihnya seraya menutup matanya di balik ruangan minim cahaya ini. Han harap, setelah dirinya membuka mata, dia bisa bertemu kembali dengan sang adik tercinta. “Sedang apa ya, dia di sana?”
Baru saja kelopak mata Han tertutup sempurna, tiba-tiba terdengar seseorang yang berkata, “Syukurlah, kau baik-baik saja, Han.”
Sontak, kalimat itu langsung membuat Han membuka matanya. Terkejut. Sungguh, dia hampir senam jantung karena mendadak melihat seorang pria duduk di sampingnya dengan seringai penuh kelegaan.
“K-Kapten Gibran?!” Han berlonjak kaget. Dia hampir saja berteriak, tetapi tangannya langsung menutup mulut, menahan aksara yang keluar dengan lantang dari tenggorokannya.
Ya, tepat sekali Gibran duduk di samping Han yang hampir tertidur pulas. Wajah Gibran sudah tak cemas lagi, malah bibirnya naik beberapa senti, menyunggingkan senyum yang mampu menghilangkan kegundahan hati.
“Apakah gudang adalah tempat nyaman untukmu tidur?” tanya Gibran seraya mengelus kepala Han.
Diperlakukan begitu, tentu saja membuat kedua mata Han berbinar penuh kehangatan. Tangan Gibran yang mengelus kepalanya mengingatkan dia akan kasih sayang kedua orang tuanya. Sudah lama Han tidak diperlakukan dengan lembut.
Namun, apakah kasih sayang ini sungguhan?
Han menyingkirkan tangan Gibran yang mengelus lembut kepalanya. Plak. “Apakah tanganmu itu sudah bertobat?” Han tampak kesal. Dia pun mengalihkan pandangannya dari Gibran, tak berani menatap bagaimana ekspresi pria itu.
“Tidak. Tangan ini sudah berada di jalan yang benar.” Gibran tersenyum seraya menatap tangan kanannya yang tadi mengelus kepala Han.
“Apa maksudmu berada di jalan yang benar?! Kau sebagai kapten dari organisasi pembunuh yang hanya mampu memutus kehidupan seseorang! Apa itu bisa disebut jalan yang benar, hah?!” Kali ini Han tak dapat menahannya lagi. Dia sudah muak dengan organisasi yang menyeretnya dan membuat dirinya sampai terpisah dengan Hana.
“Han,” lirih Gibran. “The Raven adalah malaikat maut Humanpolis. Mau tak mau, tangan kita ini hanya dibuat untuk memutus rantai kehidupan.”
“Hanya? Sebenarnya, apa arti kehidupan bagi kalian, hah?! Bukankah Kapten sendiri akan merasa sedih jika harus memutus nyawa istri sendiri?”
Mendengar itu, Gibran terdiam sejenak. Namun, dia sadar bahwa dirinya memang ditakdirkan begini. Kemudian, dia berkata, “Bagi kami, Humanpolis sudah mati. Tidak ada nyawa yang mampu diperjuangkan lagi.”
Tatapannya lurus ke depan, entah menatap apa. Yang jelas, Gibran seperti tengah berada di kehidupan yang lain.
“Kita sudah tidak bisa percaya dengan manusia di Humanpolis, Han. Semua orang yang kita sayangi pada akhirnya akan meninggalkan kita. Mereka yang kita kenal, bukanlah mereka lagi. Semuanya tidak bisa dipercaya. Hanya diri kita saja lah. Maka dari itu, mari berjuang bersama di The Raven, Han. Sebab, Komandan Raymond sudah melindungi anggota The Raven dengan baik. Hanya merekalah yang bisa kita percaya sekarang.”
Gibran tampak begitu serius, berusaha meyakinkan Han yang saat ini masih bimbang dan terus menyalahkan nasibnya karena masuk ke dalam organisasi konyol ini.
Hening.
Han tak merespons apa pun. Memang benar apa yang dikatakan Gibran pasal manusia yang tidak bisa dipercaya di Humanpolis. Sekarang, semuanya tampak keji dan laknat. Han tidak menafikan itu.
Namun, jika dirinya juga menjadi zalim kepada orang lain, apakah dia tidak bisa dibilang sama dengan para manusia Humanpolis yang kejam?
Di sisi lain, Gibran sebenarnya sudah tahu apa yang dipikirkan oleh Han. Maka dari itu, dia mencoba untuk memberikan dorongan kepada Han.
Dunia ini memang sangat memuakkan, tetapi sebagai manusia terakhir, lantas apa lagi yang bisa diperjuangkan selain nyawa sendiri? Itulah yang terus bergelayut di dalam pikiran Gibran. Bahkan, saat ini dia tak bisa percaya lagi dengan istrinya.
“Haruskah aku memang mengambil tindakan segera?” batin Gibran mendadak menanyakan hal itu setelah dirinya teringat kondisi sang istri yang saat ini tengah terbaring di rumah sakit, tak berdaya.
“Humanpolis memang negeri yang kejam, Kapten.” Han mulai angkat suara lagi. “Namun, menyayangi dan melindungi nyawa seseorang bukanlah suatu hal yang salah. Jika memang manusia di Humanpolis kejam padamu, setidaknya selama kau hidup, kebaikanlah yang terus kau berikan. Mungkin setelah kau tiada, kau akan dilupakan. Tetapi, orang yang menyayangimu selalu menyimpan dirimu dalam bingkai kehidupannya.”
Glek.
Gibran tertegun mendengar kalimat indah dari Han. Benar apa kata anak lelaki itu. Gibran menjadi sedikit malu karena tak bisa berpikir secara dewasa meskipun usianya tak lagi muda.
“Kamu benar, Han.” Gibran mulai setuju dengan kalimat Han setelah beberapa saat dia terdiam dan berpikir sejenak. “Namun, Humanpolis akan berada di titik puncaknya dan kita sebagai anggota The Raven adalah gagak hitam yang akan menghabisi bangkai-bangkai itu!”
Mendadak saja, seperti ada api yang membara di sekitar tubuh Gibran. Han mengerutkan keningnya. Ada apa dengan Gibran? Mengapa dia mendadak bersemangat?
Kemudian, Gibran bertanya kepada Han, “Kau rindu adikmu, bukan?”
Pertanyaan Gibran membuat kedua netra Han melebar. Bagaimana Gibran tahu tentang isi hatinya?
Hening.
Saking bingungnya, Han tak mampu berkata-kata. Dia hanya terdiam meski hatinya menjawab 'ya'. Han tak mau jika Gibran menganggapnya lemah hanya karena dirinya seorang kakak yang sangat peduli dengan adiknya.
“Tenang saja, dia baik-baik saja di sana. Mari kita lihat bersama, sedang apa dia di sana.”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments