“Kamu terlalu memaksakan diri, Gibran. Sebenarnya, hal itu tidak perlu kamu pikirkan. Cepat atau lambat, kamu pun harus segera melakukannya.” Therra berkata demikian seraya membersihkan luka Gibran akibat ulah dari anak didiknya.
Namun, Gibran tak nyaman. Dia memegang erat pergelangan tangan Therra yang tengah mengobati dirinya. “Aku bilang jangan ikut campur urusanku, tetapi kenapa kamu selalu begitu, Therra?!”
“Aku hanya peduli padamu, Gibran!” Therra segera membalas kekesalan Gibran. Dadanya sesak melihat Gibran selalu menentang dirinya. Padahal, selama ini Therra selalu memperhatikan segala hal tentang pria itu. “Sadarlah, cepat atau lambat, wanita itu akan mati di tanganmu! Dia sudah menjadi target The Raven. Komandan Raymond-lah yang menyadari itu, makanya dia memberi perintah, Gibran!”
Napas Therra tersengal setelah dia mengeluarkan kekesalan juga di dalam hatinya. Gibran yang keras kepala membuat Therra muak. Dia pun akhirnya mau tak mau mengatakan apa yang selama ini mengganjal pikirannya.
Sementara Gibran hanya terdiam mendengar kalimat Therra. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya dari wanita itu. “Tinggalkan aku sendiri,” pungkas Gibran, menyudahi pertikaiannya dengan Therra.
Jujur saja, pikirannya saat ini sedang berantakan. Dia tak mau jika Therra semakin menambah beban di otaknya. Gibran memilih untuk sendiri agar pikirannya kembali jernih.
Tanpa berpikir lagi, Therra pun bangkit. “Baiklah, jika itu maumu. Tapi, kau harus segera mengambil tindakan.” Kemudian, Therra berlalu meninggalkan Gibran meski hatinya seperti diremas-remas mendapati Gibran sangat memegang erat wanita yang menjadi bagian dari hidup Gibran.
Sementara di luar, kedua mata Han melotot lebar setelah mendengar percakapan Therra dan Gibran. “A-apakah Kapten Gibran juga akan membunuh seseorang?” batin Han kembali menyadari bahwa The Raven adalah organisasi pembunuh tingkat atas yang mampu melakukan kekejian itu tanpa meninggalkan jejak apa pun.
Tubuh Han pun gemetar. Dirinya yang selama beberapa hari ini terasa menikmati pertemanan, kini mulai tersadar kembali. Dia hampir saja merasa nyaman dengan keadaan ini dan melupakan tujuan utamanya. Sebab, baru pertama kali dia merasakan hidup damai dan memiliki banyak teman.
Perlahan, Han melangkah mundur. Panik. Dia tak tahu harus melakukan apa. Yang jelas, dia harus segera kabur dari tempat kezaliman ini.
Namun, tiba-tiba saja Therra keluar dengan mata yang basah. Terkejutlah dia tatkala mendapati anak didik Gibran berdiri di depan pintu kamar kapten mereka. Sontak saja Therra langsung mengelap matanya, berusaha tegar di hadapan anak-anak.
“Apa kalian mengkhawatirkan Kapten Gibran?” tanya Therra santai, seperti tak terjadi apa pun.
Hening.
Ace dan Bima tidak menjawab apa pun, membuat Therra kebingungan. Namun, Lucas berkata, “Kau sungguh benar-benar kapten yang merepotkan, Kapten Therra.” Kemudian, Lucas menyodorkan handuk kecil dari sakunya. “Kau tampak berotot dan kuat, tapi hatimu lemah! Apakah pantas dirimu disebut seorang kapten?!” Kedua bola mata Lucas bergulir, tampak sungkan meladeni Therra lagi.
Namun, Therra yang sudah mengerti maksud Lucas pun berkata dengan senyumnya, “Terima kasih, Mr Sadistic.”
Melihat sikap Lucas, Ace pun menyenggol lengan Lucas meski dibalas dengan enggan. “Bisa jadi, nanti kau merebut Kapten Therra dari Kapten Gibran loh,” goda Ace.
“Tidak akan begitu karena Kapten Therra selamanya adalah milik Kapten Gibran. Titik. Aku hanya menyetujui itu, sih,” balas Bima begitu yakin. Sementara Lucas tampak tak peduli.
Pernyataan anak-anak didik Gibran membuat Therra mengerutkan alisnya. “Hah, apa yang sedang kalian bicarakan?” Therra kebingungan.
“Bukankah Kapten Therra dan Kapten Gibran adalah sepasang kekasih?” Bima menyergah dengan cepat, berusaha menjelaskan keadaan yang ada di pikirannya.
Meski Bima tampak bersemangat, tetapi Therra membalas dengan tawa gelinya. Kemudian, dia menepuk-nepuk pundak Bima yang terasa empuk itu. “Hahaha, mana mungkin aku jadi kekasih orang yang sudah beristri bahkan hendak punya anak?”
Tawa Therra begitu menggema, tetapi di sekitarnya tampak hening dihiasi dengan tatapan mengejutkan dari anak-anak didik Gibran. Mereka begitu tercengang dengan fakta yang dikatakan oleh Therra.
Benarkah begitu?
Therra pun menyadari bahwa dirinya hanya tertawa sendirian. Kemudian, dia menatap satu persatu anak-anak Gibran mulai dari Bima hingga ke Han yang berdiri menjauh. “Kenapa kalian tampak seperti terkejut? Aku mengatakan hal yang sejujurnya, loh.”
Mendadak, Joey dan Mai muncul dari balik pohon besar. Keduanya dari tadi mengamati teman laki-laki mereka yang penasaran dengan Gibran dan Therra. “T-tapi, Kapten.” Joey seakan tampak sangat kecewa.
“Loh, Joey dan Mai?”
Di depan kamar Gibran tampak ramai hanya karena permasalahan begini. Mereka adalah anak-anak yang hanya ingin mempertahankan keharmonisan meski memendam rasa penasaran juga.
“Bukankah kalian tampak dekat?” Bima pun tak terima.
Melihat tatapan berbinar dari anak-anak didik Gibran yang seakan ingin tahu banyak tentang kapten mereka, membuat Therra tidak tahan. Dia pun segera menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.
“Ya, Gibran sudah menikah dua tahun lalu sebelum kalian semua masuk ke dalam The Raven. Namun, istrinya sakit selama dua bulan ini. Di perut istrinya sudah ada janin berusia empat bulan. Jadi, Gibran tidak bisa mengambil tindakan berani itu.” Therra menghela napas begitu panjang.
Han yang sedari tadi berdiam diri, kini pun mulai angkat bicara. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. “Apakah istri Kapten Gibran masuk ke dalam target The Raven? Bukankah itu sangat keji?”
“Perintah Komandan Raymond adalah mutlak. Kita sebagai alatnya juga harus melaksanakan tugas dengan baik. Jadi, kita ha—”
“Kita bukan alat! Manusia bukanlah alat yang bisa melakukan hal keji atas dasar perintah orang lain yang hanya ingin memuaskan nafsu mereka!” Han berteriak, menafikan kalimat Therra sebelumnya.
Tubuh Han gemetar, wajahnya terlihat panik. Sementara Therra merasa bersalah karena mengatakan hal yang tidak seharusnya di depan Han. “H-Han, maksudku bukan begitu.”
Tanpa berkata-kata lagi, Han pun berlari meninggalkan teman-temannya. Bisa dibilang, dia syok atas semua yang terjadi. Di mana pun tempatnya berada, Humanpolis hanyalah berisi orang-orang berotak kejam yang hanya mampu diperdaya oleh nafsu.
Begitulah manusia.
Han mengira bahwa dia telah menemukan tempat yang nyaman di sini dan kelak, dia akan membawa Hana menuju tempat damai ini. Namun, mendengar kenyataan itu membuat Han kembali menanamkan kebencian pada nasibnya sendiri yang harus menjadi bagian dari The Raven.
Ah, Hana, sungguh Han saat ini hanya ingin bertemu dengan dirimu seorang. Han sudah tak tahu lagi. Dia rasanya ingin melompat dari benteng nan berdiri dengan angkuh ini. Namun, dinding dari batu bata putih benar-benar seperti kastel atau benteng yang sulit ditaklukkan. Han, terpenjara di dalam sini bersama orang-orang yang hanya mengotori tangan mereka dengan darah orang lain demi mengisi perut mereka sendiri.
Kejam dan menyakitkan.
Setelah kepergian Han, kini gadis bernama Eris yang muncul. “Huh, dasar kelompok yang berisik!” katanya dengan penuh keangkuhan. Dia tidak peduli dengan keadaan sekitar dan terus berjalan mendekat ke kamar Gibran.
Namun, langkah Eris terhenti seketika tatkala Therra menoleh kepadanya dan berkata, “Gibran ... bukanlah targetmu, Eris!”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments