“Kakak sudah pulang?”
Han sedikit teringat momen bersama Hana. Saat itu, Han mendapat gajiannya yang pertama.
Seperti biasa, Hana duduk di atas kasur seraya menyambut kakak tercintanya yang baru saja selesai bekerja. Raut wajah yang tadinya suram dan menandakan kesepian, kini telah berubah cerah tatkala sang kakak masuk ke kamarnya.
“Ya, Kakak sudah pulang,” jawab Han dengan semangat, tetapi sedetik kemudian semangat itu menguar seketika. Bagaimana tidak, gajian pertamanya setelah berpindah-pindah pekerjaan malah direbut oleh para bandit. Sedangkan sisanya diminta paksa paman dan bibinya.
Kini, Han tak membawa pulang apa pun kecuali dirinya yang tidak terluka sama sekali, tidak seperti biasanya. Han memilih menyerahkan jatahnya kepada mereka daripada nyawa yang jadi taruhannya. Toh, uang masih bisa dicari, pikirnya. Namun jika nyawa melayang, bagaimana Hana bisa hidup dengan baik?
“Wajah Kak Han kenapa? Kok hari ini tampaknya murung?” tanya Hana begitu polosnya. Bola mata berwarna coklat gelap milik Hana membuat Han tak tega jika kedua netra itu meneteskan air mata kesedihan.
Tanpa berkata-kata lagi, Han mendekat kepada adiknya. Kemudian, dia tenggelam dalam pelukan bersama dengan tubuh mungil Hana. Sebagai harapan satu-satunya Hana, Han tidak mau adiknya itu melihat kelemahan dirinya.
Namun, tiba-tiba saja Hana merintih kesakitan. “Aw,” lirihnya seraya memegang lengan kanannya. Sebenarnya, Hana sudah berusaha menahan rasa sakit itu, tetapi Han yang bersemangat ingin memeluknya membuat Hana tak dapat menafikan rasa sakit di lengannya.
Tentu saja Han panik. Dia langsung memeriksa lengan kanan Hana. Kedua bola mata Han melebar tatkala dirinya melihat bekas merah di lengan adiknya itu. “Apa ini?!” tanya Han penuh nada interogasi.
Sementara Hana hanya tersenyum kecut, berusaha menyembunyikan semuanya dari Han. Dia langsung menutup lengannya agar Han tidak melihat luka itu lagi.
“Ini pasti gara-gara Paman dan Bibi, ‘kan?!” simpul Han dengan geram. Giginya mengerat. Sedangkan kedua tangannya mengepal dengan kuat. Hatinya terbakar emosi. Ah, ingin rasanya dia menghabisi siapa saja yang melukai Hana.
Terlebih paman dan bibinya. Han tahu, tubuh Hana sudah tak semulus dahulu. Banyak bekas luka di sekujur tubuh mungil adiknya itu. Selain luka bakar dan luka sayatan, bekas merah dari cambukkan juga ada.
Penyiksaan. Ya, ini adalah penyiksaan yang begitu keji. Namun, Han yang masih menjadi anak yang lemah tak mampu berbuat apa pun. Melihat adiknya kembali terluka membuat Han tak dapat menahan gejolak amarahnya.
Meski Han terbakar api amarah, Hana berusaha menenangkan hati kakaknya itu. “Tak apa, Kak. Ini sudah biasa.”
“Biasa apanya?! Kamu disuruh membereskan rumah sambil disiksa oleh mereka, ‘kan?!” Han kian geram. Dirinya sudah tahu perbuatan apa yang dilakukan oleh paman dan bibinya pada Hana.
Mendadak, seseorang datang seraya berkata, “Memang benar. Daripada menjadi beban dengan rebahan terus menerus, bukankah lebih baik menggerakkan anggota tubuh? Itu juga melatih agar tubuhnya tidak lum—”
Plak!
Han tak sanggup lagi. Cukup sudah!
Seseorang yang tak lain adalah bibi Han itu pun langsung mendapat tamparan pedas dari Han yang sudah naik pitam. “Jangan pernah sakiti Hana atau kau akan tahu akibatnya!” ancam Han dengan tatapan tajam dan menantang.
Sementara bibi Han membeku. Perilaku ponakannya itu di luar pikirannya. Dia tak pernah membayangkan sedikit pun bahwa Han dapat melawannya, bahkan memberikan tamparan yang begitu menyakitkan. Sebab, yang dia tahu, Han hanyalah seorang penurut yang bodoh. Namun, ada apa dengan kali ini? Apakah harimau tertidur sudah bangun kembali?
“Cih, sialan! Pergi saja kau dari sini daripada menjadi beban!” umpat bibi Han, kemudian dialah yang keluar dari kamar Hana seraya membanting pintu, merasa muak.
Han masih berdiri dengan menundukkan kepalanya. Cukup. Sudah, cukupkan saja semua penderitaan ini. Han, hanya ingin hidup damai bersama adiknya. Tanpa sadar, dia meneteskan air matanya sembari menatap pintu yang menjadi korban kekesalan bibinya.
Melihat kakaknya semakin tersiksa sendiri, Hana berusaha menenangkan. Ya, dia merasa bahwa semua ini adalah salahnya. “K-Kak ... tidak apa-apa, kok. Hana akan menjadi kuat seperti Kakak.”
Kalimat itu membuat Han semakin tidak tega. Tanpa berkata-kata lagi, Han kembali memeluk Hana dengan erat dan tak mau melepaskannya. Sebab, Hana adalah satu-satunya cahaya kehidupan bagi Han.
“Maafkan Kakak, Hana. Ingat, Kakak berjanji padamu bahwa Kakak akan senantiasa membahagiakan dirimu. Kakak juga akan berjuang dengan keras demi menyembuhkanmu. Kakak akan bekerja dengan cara yang baik agar bisa memberikan kehidupan yang layak buatmu, Hana.” Han bertekad. Kelak, Han akan mewujudkan janji itu.
Kembali ke masa sekarang.
Han masih terpaku. Dia sudah mengingat janji yang diucapkannya pada Hana. Han rela melakukan pekerjaan apa pun asal itu baik agar penyembuhan Hana bisa mendapat berkah juga. Namun, kini dirinya masuk ke dalam The Raven hanya untuk menjadi pembunuh bayaran?
“T-tidak!” Bibir Han gemetar hebat. Apalagi, dia membayangkan betapa tragisnya kematian paman dan bibinya. Dia tak sanggup. Bayangan darah hitam masih teringat jelas di kepalanya.
Han tak mau melihat itu lagi. Sangat muak. Dia berpikir, meskipun dirinya sangat membenci paman dan bibinya, bukan berarti Han dapat bertingkah seperti pembunuh mereka. Jika memang Han tak punya hati nurani, sudah sejak dulu dia menghabisi dua nyawa yang hanya mempersulit hidupnya tanpa harus bergabung dengan The Raven.
“Aku menolak semua ini! Tolong ... tolong bebaskan aku saja! Aku ingin bertemu dengan Hana!” Han terus memohon seraya menangkupkan kedua tangannya di depan dada untuk menunjukkan bahwa dia bersungguh-sungguh. “Lepaskan saja aku. Hana tengah membutuhkanku, Tuan.”
Sulit rasanya jika harus menerima kenyataan ini.
Melihat Han semakin teguh dengan permintaannya, lelaki yang meremas pundak Han, Lucas namanya pun mulai angkat suara kembali. “Lupakan saja adikmu itu. Setelah kau masuk ke dalam The Raven, tandanya kau sudah tak memiliki apa pun.”
Deg.
Seketika Han kembali mematung. “A-apa?!” Kedua netranya melotot lebar. Apa maksud dari perkataan Lucas?
“Masuk The Raven, artinya kau sudah tak punya siapa-siapa. Bahkan, rasa belas kasihan di dalam hatimu ... kau juga harus hapuskan itu. Sebab, The Raven akan membunuh targetnya tanpa ampun. Jadi, terimalah kenyataan ini dengan lapang.” Lucas kembali melanjutkan penjelasan agar Han lebih bisa menerima kata-katanya itu.
Mendengar hal tersebut, membuat kaki Han lemas seketika. Dirinya tak bisa membayangkan bahwa dia harus berpisah dengan Hana. Jika dia di sini, lantas ke mana Hana pergi?
“Ke mana? Ke mana dia? Di mana kah Hana?!” Han memegang kedua lengan Lucas. Menggoyang-goyangkan tubuh Lucas yang lebih kecil darinya. “Hei, jawab aku! Apakah Hana akan baik-baik saja? Di mana dia berada, hah?!”
Seperti biasa, hanya Han yang berisik dengan banyaknya pertanyaan yang dia lontarkan seakan tidak sanggup bersabar untuk menerima jawabannya.
Sementara di sisi lain, Simon dan Raymond saling berpandangan sekilas, seakan saling bertukar informasi. Kemudian, keduanya sama-sama menyeringai. Inilah saatnya, pikir mereka bersamaan.
“Terima saja nasibmu, Han. Kau tak sendiri, mereka adalah teman-temanmu yang senasib. Mereka tak memiliki apa pun selain diri mereka sendiri. Jadi, bekerjalah sesuai tugasmu!” Kali ini Raymond yang berbicara. Dia melempar sebuah lencana yang di sana terukir kepala gagak, persis seperti logo di jubah mereka.
Han tanpa sadar menangkap lencana itu. “Kau menangkapnya, berarti kau menerimanya, Han. Selamat datang dan selamat bekerja,” lanjut Simon diselingi senyumannya yang ramah. Seperti biasa, senyum tipuan.
Kemudian, Raymond dan Simon pun membalikkan badan, berniat untuk meninggalkan Han. Mereka tak mau menjelaskan apa pun lagi. Mau tak mau, Han memang harus menerima nasibnya untuk masuk ke dalam The Raven, organisasi pembunuh yang paling ditakuti oleh pemerintah dan para penduduk dari distrik mana pun.
Namun, baru beberapa langkah Raymond meninggalkan ruangan pengap nan sedikit cahaya itu, dia teringat sesuatu yang telah dilupakannya. Tanpa basa-basi, Raymond pun menoleh. “Ingat, sebelum kau mampu menghabisi target, maka tidak ada makanan untukmu di hari itu. Mengerti, Han?! Ini juga berlaku untuk semuanya!” tegas Raymond. Kemudian dia melanjutkan langkahnya bersama Simon, keluar dari tempat itu.
Sementara mulut Han menganga. Ah, bagaimana bisa dia mengisi perutnya dengan mengakhiri hidup orang lain? Sungguh biadab!
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments