Keesokan harinya.
Lapangan berdebu penuh dengan anak-anak dari squad ganjil. Tentu saja pasukan dari Gibran dan Therra juga termasuk. Mereka semua tengah melakukan latihan. Ada yang berlatih memanah, menembak, atau sekadar bertarung pedang meski ini sudah memasuki zaman yang modern.
Namun, pasukan Gibran mengambil posisi lebih jauh daripada pasukan yang lain sebab anak didiknya akan melakukan latihan menembak dengan pistol.
“Baiklah anak-anak, saat ini kita akan melatih ketajaman dan ketepatan dalam menembak. Jangan sampai fokus kalian kendur, ya!” Gibran begitu bersemangat seraya menyerahkan beberapa pistol kecil kepada anak-anak didiknya seakan memang tak pernah terjadi apa pun padanya kemarin.
“Kapten Gibran benar-benar hebat,” lirih Han tanpa dia sadari, tetapi Ace mendengarnya meskipun saat ini dia sudah memakai penutup telinga agar tidak pekak dan kacamata hitam untuk menghalau silau. Kedua alat itu penting sebagai alat perlindungan diri tatkala melakukan latihan menembak.
“Begitulah kehebatan kapten kita. Tetapi, kita juga harus bisa menjaga rahasia loh.” Ace meletakkan jari telunjuk di atas bibirnya seraya mengedipkan sebelah matanya.
Namun, perilaku Ace membuat Lucas yang sedari tadi sedang memasang strategi dengan mengarahkan pistolnya ke papan sasaran pun protes, “Hentikan itu, menjijikkan!”
Kemudian, dia melanjutkan kegiatannya lagi seraya mengancang-ancang tembakan selanjutnya akan mengarah ke mana. Sementara Han hanya berdiri gemetar setelah mendengar beberapa kali suara “duar” yang keluar dari pistol Lucas.
Terlebih, dia tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan memegang senjata yang berbahaya ini. Tangannya pun kembali gemetar tatkala dia memegang sebuah pistol kecil yang digenggamnya di sebelah kanan.
Sebuah Magazen atau magasin yang berisi 20 peluru melingkar di pinggangnya dengan ikat pinggang yang begitu kuat. Semua orang sudah berulang kali menembakkan peluru yang sudah menjadi jatah latihan mereka, kecuali Han.
Bahkan, seorang Bima yang pemalu bisa menjadi Bima yang lain di mata Han. Bagaimana tidak, kali ini tatapan Bima begitu serius, seperti bukan dirinya saja. Meski dia gagal beberapa kali, tetapi dirinya tampak tidak mau menyerah. Apalagi, Gibran selalu memotivasinya dari belakang.
Glek.
Han hanya menelan ludahnya. “Jadi, seorang pemalu saja bisa bersikap sangat serius, ya? Lantas, apakah aku bisa menggunakan tanganku ini demi mengisi perutku?” Han kembali memandangi tangannya yang dia gunakan hanya untuk bekerja menjadi bawahan orang lain.
“Semua bersiap!” lantang Gibran setelah sepuluh tembakan bebas bergulir dari pistol mana pun. Namun kali ini, dia ingin memberikan satu kali komando untuk anak-anak didiknya.
Semuanya pun bersiap, mengambil posisi. Tak hanya anak lelaki saja, tetapi anak perempuan yang berada di bawah didikan Gibran pun sudah bersiap. Tatapan mereka begitu tajam, bahkan membuat anak didik yang lain berhenti latihan saking tersanjungnya mereka pada anak didikan Gibran.
“Keren,” batin Han menatap tiga perempuan seusianya sangat serius membidik target di depan sana. Namun, dirinya hanya berdiri seraya memuji teman-teman yang begitu tampak hebat dan kuat, tidak seperti dirinya.
“OKE READY! ONE, TWO, THREE, SHOOT!” komando Gibran dengan lantang hingga mampu menarik perhatian semua orang.
Bunyi letusan pistol pun bergulir dari pistol satu ke pistol lainnya yang menembak setiap sasaran. Terdengar suara “duar” yang memekakkan telinga dan sorak-sorakan dari anak lainnya yang latihan dan menonton.
Suasananya seperti mereka memang melakukan penyerbuan sungguhan, begitu mendebarkan. Bahkan, keenam anak didik Gibran yang sudah terlatih itu tak ada yang salah sasaran, semuanya tepat. Sungguh fantastis. Terlebih seorang perempuan yang postur tubuhnya hampir seperti Therra, dia seperti sedang membidik seekor mangsa di tengah hutan.
Setelah sepuluh tembakan terdengar bersahutan, mereka pun akhirnya berhenti karena jatah peluru untuk latihan memang sudah habis, kecuali Han yang sama sekali tidak menggunakan peluru itu satu butir pun dan hanya berdiri memperhatikan teman-temannya saja.
“Ada apa, Junior?” tanya perempuan yang tadi sempat Han kagumi. Namanya adalah Joey, gadis cantik tetapi tampak tegas itu adalah lambang wanita kuat The Raven. Bahkan, kekuatan Joey bisa disamakan dengan sepuluh lelaki berbadan kekar.
Gadis itu berperawakan menarik dengan kulit sawo matang yang menawan. Rambutnya selalu bermodel kucir kuda. Otot-ototnya tampak segar karena selalu dilatih. Maniknya berwarna hijau kehitaman, sementara tingginya sekitar 170 sentimeter, lebih pendek delapan sentimeter dari Han maupun Ace. Meski begitu, tinggi Joey mengalahkan standar tinggi gadis seusianya di The Raven.
“Tak perlu takut, kita hanya latihan. Meski suaranya sangat memekakkan telinga, latihan menembak ini membuat kita belajar fokus.” Joey mencoba meyakinkan Han. Tampak sekali di wajahnya rasa antusias yang besar. Agaknya gadis ini memang menyukai kegiatan menembak.
“Betul.” Gibran mendekat, ikut bergabung dengan anak didiknya yang tengah mengobrol pasca latihan. “Latihan menembak dengan pistol itu bermanfaat untuk melatih ketepatan dan fokus kalian, selain itu juga melatih lengan dan tangan juga loh. Jadi, bersemangatlah!”
Tangan?
Latihan menembak untuk menghabisi nyawa orang lain?
Bukankah ini terlalu kejam?
Han menggeleng tak percaya. Meski teman-temannya, bahkan Gibran berharap lebih kepada Han, tetapi Han segan untuk melakukan hal yang sama dengan mereka. Dia masih belum terima jika tangannya yang dia gunakan dengan baik, nanti malah menjadi tempatnya melakukan dosa.
Tanpa berpikir lagi, Han tak menggubris dorongan semangat dari Joey maupun Gibran. Dia segera melepas peralatan latihan menembaknya. Kemudian, Han berlari meninggalkan lapangan.
Entah kenapa, dirinya merasa bahwa dia masih belum siap melakukan semuanya. Dia yang awalnya hanya warga sipil biasa yang berusaha untuk meraih kebahagiaan, malah terseret menjadi calon buronan negara.
“Gila, aku tak mungkin bisa melakukan ini!” batin Han merasa pesimis. Dirinya mungkin mengagumi yang lain, tetapi jujur saja Han masih belum bisa seperti mereka.
Di pertengahan pelariannya, dia melihat seorang gadis kucir dua yang tengah berlatih pedang dengan melawan Therra. Sudah pasti gadis itu adalah anak didik Therra. Namun, Han melihat sesuatu yang lain.
Keringat sudah membanjiri tubuh gadis tersebut dan juga Therra. Keduanya mencoba mengatur napas bersamaan, tampak begitu lelah. Namun, di netra masing-masing terlihat sesuatu yang berbeda.
Keduanya pun kembali melakukan serangan demi serangan, saling berusaha melukai yang lain demi menemukan pemenangnya. Teknik lincah dari gadis kucir dua itu sebenarnya masih kalah jauh dengan Therra yang menangkis lebih baik, bahkan menyerang balik tanpa ragu sedikit pun.
Pada ayunan terakhir, Therra mampu membuat gadis kucir dua itu terpaku sebab ujung mata pedang tepat berada di depan wajahnya.
“Melakukan latihan pedang dalam keadaan marah hanya membuatmu kehilangan kendali, Eris!” Kalimat Therra membuat gadis itu mengeratkan gigi. Kemudian, dia bangkit dengan penuh kekesalan.
Dia benar-benar berontak. “Sudah cukup, aku letih! Lagi pula, Kapten yang terlalu bersemangat!” katanya dengan lantang seraya melempar sebilah pedang yang tadi dia gunakan untuk berlatih. Ah, hampir saja pedang itu mengenai anggota lain. “Aku muak! Aku berhenti latihan saja hari ini!”
Setelah itu, tanpa berkata-kata lagi gadis kucir dua pun berlari dengan membawa kekesalannya tanpa peduli lagi dengan sekelilingnya atau ejekan teman satu pasukannya. Sementara Therra hanya tersenyum lembut seperti sudah terbiasa dengan kelakuan anak didiknya itu.
Ya, mau bagaimana lagi?
“Selanjutnya siapa yang akan melawanku?” tanya Therra dengan senyumnya yang meyakinkan seperti tidak terjadi apa-apa. Sontak saja anak didik Therra yang lain bersemangat, bahkan berebutan posisi untuk segera melawan kapten wanita idaman The Raven. Mereka juga melupakan keegoisan gadis tadi makanya tidak ada yang peduli.
Sementara Han memandangi gadis itu yang berlari menjauh dari latihan seperti dirinya. “Apakah dia juga tak mau jadi seorang pembunuh?” tanya Han di dalam hati. Jika iya, Han merasa bahwa dia telah menemukan teman yang satu pemikiran dengannya.
Tanpa ragu lagi, Han pun mengejar gadis yang dia belum tahu jelas namanya. Dia ingin berbagi pemikiran dengan gadis itu. Apakah Han bisa menemukan partner yang bisa diajak kerja sama untuk kabur dari The Raven?
Di sisi lain, Therra yang menyadari itu pun membatin, “Memang menarik Han ini. Semoga kau tidak kaget dengannya, Han.”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments