“Aku harus segera pergi dari sini!” batin Han, bertekad kuat. Kedua tangannya mengepal, menunjukkan kesungguhan dirinya. Gigi Han juga mengerat, menahan gejolak amarah yang tak bisa dia lampiaskan begitu saja.
Sementara keenam manusia bertopeng itu satu persatu meninggalkan Han di ruangan sesak nan minim cahaya ini. Entah apa kegiatan selanjutnya yang akan dilakukan oleh mereka, Han tidak peduli. Kini yang hinggap di otaknya hanyalah rencana busuk demi menyelamatkan nyawanya yang sudah menjadi korban The Raven.
Sungguh, Han sama sekali tidak tertarik dengan organisasi yang telah memaksanya masuk tanpa persetujuan darinya. Untuk saat ini juga, Han hanya ingin bertemu dengan Hana dan melanjutkan perjalanannya menuju masa depan yang gemilang.
Perlahan, Han pun berjalan keluar, meninggalkan ruangan misterius itu. Dia mengendap bak maling yang hendak mencuri. Namun, baru beberapa langkah saja, Han mendengar keramaian. Jika begini, apakah dia bisa keluar dengan mudah?
Han menggeleng kepalanya dengan cepat, berusaha mengusir rasa pesimis yang hendak menelan pikirannya. Kemudian, dia kembali menyusuri tempat aneh yang terasa seperti gua bertembok. Ah, jika dipikir, bisa juga seperti kuil raja iblis yang penuh dengan kegelapan.
Keramaian tersebut makin terdengar dengan keras dari ruang sebelah. Han berjalan perlahan mendekati sumber suara itu, penasaran dengan apa yang terjadi di sana sembari menyusun strategi agar dirinya dapat keluar dengan aman. Ternyata, ruang tersebut adalah ruang makan.
Tampak beberapa orang yang tertawa atau sekadar mengobrol. Ya, seperti di kantin saja. Mereka bersenda gurau sembari menikmati makan. Hidangannya pun tak main-main. Hal itu membuat perut Han berdendang, minta diisi.
Namun, Han masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya termasuk golongan mereka. Sekali lagi, Han melihat tato burung gagak di balik pergelangan tangannya dengan kesal. Kemudian, tanpa sadar dia meneteskan air mata. Entah kenapa, Han juga tak tahu.
Dia menangis seraya menahan lapar yang teramat sangat sebab dirinya sudah tidak makan selama dua hari penuh. Tubuhnya gemetar dan lemas karena kekurangan energi. Tenggorokannya kering dan perutnya terasa perih.
“Aku ... ingin makan.” Han hanya bisa mengatakannya di dalam hati. Teringat juga bahwa Hana belum makan seperti dirinya. Ah sebenarnya, di manakah gadis itu sekarang? Apakah Hana sudah makan dengan layak?
Melihat makanan-makanan dengan bau lezat dan rasa yang mampu menggoyangkan lidah, membuat Han meneteskan air liurnya juga. Dengan sigap, dia langsung mengelapnya, berusaha menahan rasa lapar itu.
“Aku tidak boleh lemah! Aku harus segera mencari cara untuk kabur dan mencari pekerjaan yang layak demi bisa memberi makan Hana dengan baik!” Han berusaha menguatkan dirinya meski pada kenyataannya, dia sekarang juga butuh energi untuk melakukan janji dan tekadnya itu.
Agar dirinya bisa terus sadar, Han menepuk kedua pipinya. Plak. Plak.
“Sadarlah, Han!” katanya dengan semangat. Kemudian, dia kembali melangkahkan kakinya seraya mencari celah di setiap sudut agar dirinya bisa segera keluar dari tempat penuh dosa ini.
Namun, baru saja kakinya melangkah beberapa meter, seorang anak lelaki dengan wajah dinginnya menghadang Han. Siapa lagi jika bukan Lucas.
Tatapannya yang datar dan dingin membuat Han membeku seketika. Terlebih dirinya takut jika Lucas mengetahui apa yang sedang dia lakukan. Namun, pikiran Han dibuat kacau seketika tatkala Lucas menyodorkan piring yang penuh dengan nasi dan lauk pauk.
“Makanlah,” katanya, masih dengan memalingkan muka. Entah malu atau gengsi, agaknya Lucas memang tidak ingin terlihat peduli pada anggota baru itu.
Meski cahaya tampak remang-remang, terlihat begitu jelas wajah Lucas yang memerah. Han pun berbisik di dalam hati, “Ah dasar lelaki yang canggung.” Kemudian, dia pun tertawa kecil, sekadar mencairkan suasana dan menyelamatkan Lucas dari situasi yang baginya memalukan.
Mendengar tawa Han, Lucas pun kini menatap Han seraya menahan malu. “H-hentikan!” katanya dengan wajah yang tentunya masih memerah. “Kumohon hentikan tawamu itu!” Lucas merasa bahwa dirinya tengah digoda oleh Han.
Ya, anak lelaki berusia lima belas tahun, sama dengan Han itu memang memiliki harga diri yang cukup tinggi. Meski begitu, sebenarnya dia memiliki hati yang lembut dan hangat kepada orang lain. Hanya saja, terkadang dia cukup canggung dan kalimat dinginnya seringkali disalah-artikan oleh orang yang belum mengenalnya cukup dalam.
“Mau makan atau tidak? Cepat ambillah sebelum Komandan Raymond melihatnya!” Lucas kembali menyodorkan piring berisi makanan tersebut seraya melirik ke sana dan kemari, memastikan bahwa Raymond tidak melihat pelanggaran yang dilakukannya ini.
Melihat itu, Han menghembuskan napas dengan perlahan diselingi senyumannya yang lembut. Dia merasakan kehangatan hati Lucas meskipun dari luar tampak seperti lelaki yang dingin. Namun, Han tidak bisa menerima pemberian Lucas begitu saja.
“Ini jatah harianmu, bukan? Makanlah, kau sudah berjuang. Jangan sampai perjuanganmu itu diambil oleh orang lain.” Han berusaha menolak meskipun hatinya sangat menginginkan sepiring nasi itu. Ah, tetapi jika dipikir kembali, memilih jalan penuh dosa ini bukanlah suatu hal yang mudah. Jadi menurut Han, Lucas yang berhak menerima hadiah itu. “Kamu sudah bekerja keras. Jadi, tak perlu memikirkan orang lain.”
Meski dia berkata demikian, hatinya merasa lega sebab masih ada orang berhati mulia di tengah hiruk pikuk zaman yang tak beradab ini. Lucas masih memiliki nurani yang lembut dan mampu menghangatkan sekelilingnya.
“Tak apa,” jawab Lucas singkat. “Aku tahu bahwa tanganku telah berdosa karena mengakhiri hidup orang lain. Tapi, aku juga boleh memberi hidup orang lain, bukan? Lagi pula, aku sudah kenyang. Makanan ini tak seberapa dibandingkan dosa yang kuperbuat selama ini.”
Tanpa sadar, bulir bening menetes dari manik Lucas yang berwarna hitam, dia pun segera mengelapnya agar Han tak melihat sisi lain dari dirinya yang memalukan. Namun, Han sudah tahu, bahkan hal itu makin menggugah kelegaan Han. Rupanya memang benar, masih ada orang baik di Humanpolis.
Mendadak, seseorang dengan rambut pirang dan mata berwarna biru laut pun datang menghampiri mereka. Wajahnya begitu ceria. Tanpa aba-aba, dia langsung merangkul pundak Lucas. “Wah ada apa ini? Apakah Lucas menangis?” katanya seraya menoel pipi Lucas, membuat Lucas memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rautnya yang tengah menahan malu.
Sementara Han hanya melongo. Kedua alisnya mengerut. “S-siapa kamu?” tanyanya tanpa berpikir dua kali. Ya, dia bingung sekali sebab baru pertama kali melihat orang seceria ini. Bahkan, tatkala orang itu datang, Han merasa bahwa orang tersebut membawa cahaya kehidupan yang baru, suatu masa depan gemilang yang telah dinanti semua orang.
“Aku Ace. Masa kamu lupa? Aku yang tadi pakai topeng gagak itu loh,” jelasnya dengan percaya diri diselingi senyumnya yang lebar, terasa mencerahkan. Ibarat kata, bunga-bunga di sekitarnya pun ikut bermekaran di sekelilingnya, menghiasi wajahnya.
Namun, Han mencoba untuk mengingat raut wajah lelaki bernama Ace itu. Dirinya berulang kali menemukan wajah Ace di antara manusia bertopeng gagak itu, tetapi hasilnya nihil. “Ah, aku tak sadar kalau kamu ada di sana,” jawab Han dengan polos. Ya, bagaimana mungkin dia mengingat satu persatu wajah manusia topeng gagak yang menyergapnya sedangkan ruangan juga minim cahaya.
Mendengar pengakuan itu, Ace memajukan bibirnya. “Masa kamu tak mengenaliku sih? Padahal, wajahku yang paling tampan loh.”
“Mana ada!” protes Lucas seraya melepaskan rangkulan Ace yang sedari tadi melingkar di lehernya. “Saking tampannya kamu, Han tidak mengenalimu, tahu!”
Deg.
Han terdiam sejenak. “L-Lucas, k-kamu tahu namaku?”
Lucas yang sedari tadi ribut sendiri dengan Ace, dia pun berhenti sejenak. “Lah, kamu juga tahu namaku, padahal kita belum berkenalan.”
Mendengar itu, Han menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Hm, ya mungkin karena pria sangar itu pernah memanggilmu. Jadi, aku ingat kamu.”
“Loh, kalian dari tadi mengobrol tapi belum berkenalan?” Ace menyela. Dia sempat terkejut karena dari jauh keduanya tampak akrab, bahkan Lucas yang dingin mampu meneteskan air matanya, meski langsung dihapus sih.
“Belum,” jawab Lucas dan Han bersamaan, seperti anak kembar. Sontak, Ace pun tertawa geli sebab baru kali ini dia melihat dua orang yang kompak macam ini.
Tanpa berlama-lama lagi, Lucas dan Han bersalaman, saling memperkenalkan diri. Kemudian, Ace membentangkan kedua tangannya seraya tersenyum lebar seperti biasa. Dengan wajah ceria dia berkata, “Selamat datang di The Raven, Han!”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments