“Serahkan semua yang ada di kantongmu!” teriak seorang pria berbadan kekar dengan kumis tipisnya. “Sudah kubilang, setiap hari kau harus menyerahkan jatahmu!”
Suara kerasnya menggetarkan dinding gang yang sempit. Sementara di hadapan pria itu ada pemuda yang berdiri dengan kaki gemetar. Namanya Han, seorang pemuda miskin yang baru saja pulang dari bekerja, tetapi seperti biasa nasibnya sial.
Padahal, sudah dari awal dia mencoba untuk menghindar, tetapi hasilnya tetap sama. Setiap pulang, dia dikepung oleh para bandit rakus yang hanya ingin terpuaskan tanpa kerja keras.
Lima tahun telah berlalu setelah kejadian mengerikan di laboratorium pemerintah. Humanpolis menjadi negeri dengan peningkatan penduduk paling drastis. Kelahiran meningkat pesat, sementara kematian hanya beberapa persen saja. Hal itu membuat ketersediaan pangan, tempat, dan ekonomi di sekitar distrik menurun. Tak ada distrik yang hidup berkecukupan, kecuali di ibu kota.
Humanpolis dikelilingi oleh tujuh distrik. Mulai dari Pabon, Kasuari, Deverth, Astria, Jinzei, Ozu, dan Hiroshi. Astria adalah distrik yang lebih makmur dibanding lainnya. Tak jarang para penduduk Humanpolis menyebutnya dengan Ibu Kota. Sementara distrik-distrik yang lain masih dibilang dalam taraf ekonomi yang rendah.
Rasa lapar mengundang kejahatan di mana-mana. Keinginan untuk menang dari orang lain demi bertahan hidup pun tak bisa dipungkiri. Semua orang rela melakukan apa pun agar perutnya tetap terisi.
Seperti halnya para jagoan kampung yang kini sedang menahan Han di gang kumuh. Beberapa bagian tubuh pemuda berusia 15 tahun itu sudah membiru. Sementara hidung mungilnya meneteskan cairan merah akibat hantaman kuat dari tangan besar nan berdosa itu.
“Mau kubuat bonyok lagi, hah?!” Kembali berteriak, bandit itu kian memaksa dengan ancaman. Tangan jagoannya sudah mengepal dan berhadapan langsung dengan wajah Han, siap meluncur tanpa memikirkan belas kasihan.
Meski dengan badan yang gemetar dan pipi yang sudah lebam, Han mencoba untuk lebih kuat daripada sebelumnya. “I-ini b-biaya untuk pengobatan a-adi—”
Belum sempat Han membela diri, satu pukulan mendarat di perut yang kini tengah menahan lapar.
Bug!
“Kau pikir kita hidup di zaman apa, hah? Urus perutmu sendiri, tak usah mengurusi adikmu yang lemah! Biarkan saja dia, nanti juga akan menjadi bangkai!”
Deg.
Kalimat yang diucapkan si bandit menyulut emosi Han. Rasa amarah yang selama ini dipendamnya dalam-dalam akhirnya meminta untuk berontak. Tangan Han pun mengepal dengan kuat, siap membalaskan dendam.
Mendadak, hawa di sekitar terasa mencekam. Para bandit yang biasa menahan Han, seketika tubuh mereka merinding. Bulu kuduk berdiri secara bersamaan. Ada aura mengancam yang mampu meruntuhkan keangkuhan hati mereka.
Kemudian, tangan kanan Han mengorek saku celananya. Dari awal, dia sudah menyiapkan benda itu untuk berjaga-jaga dan kali ini, akankah Han melakukannya?
Namun, sebuah sirene membuyarkan amarah Han. Dia letakkan kembali belati kecil yang dibawanya dari rumah. Sementara ketiga bandit pun lari tunggang-langgang meninggalkan Han di sudut gang.
Mereka seperti kucing yang mencuri ikan, lari terbirit-birit hanya dengan mendengar sirene polisi pemerintah yang tengah berpatroli siang ini. Han pun demikian, dia tak ingin polisi mendapatinya dengan membawa belati peninggalan ayahnya di saku kecilnya.
Han berlari menembus dinding-dinding rapuh yang sudah termakan keadaan. Distrik Kasuari memang paling miskin dan tak terawat. Bagaimana mungkin para penduduk merawatnya, sedangkan untuk mengisi perut sendiri di tengah kepadatan ini saja belum tentu bisa. Apalagi, masih banyak perut lain yang minta diisi.
Sungguh ironis.
Saking tidak sanggupnya untuk bertahan, para orang tua yang sudah kehilangan harapan seringkali membuat dirinya tega untuk mengakhiri nyawa yang seharusnya diberi hidup. Tak jarang juga sesama saudara saling berjuang dan ingin menang dari lainnya.
Meski hampir semua orang berpikiran demikian, tetapi tidak bagi Han. Adiknya yang bernama Hana saat ini jatuh sakit, tak berdaya. Hanya berbaring dengan pasrah, seperti siap menyambut malaikat maut untuk datang menjemputnya.
Namun, Han tak mau itu terjadi. Dirinya bekerja keras agar satu-satunya hal yang paling berharga di hidupnya akan terus berada di sisinya. Han, amat menyayangi Hana. Dia rela banting tulang dan putus sekolah demi membiayai pengobatan adiknya, juga untuk mengisi perut mereka berdua.
Han terus berlari dengan penyesalan. Ya, ada sedikit penyesalan yang timbul di hatinya. Andai saja para polisi pemerintah itu tidak datang, mungkin Han sudah terpuaskan karena dendamnya pada para bandit itu terbalas.
Di sisi lain, nurani Han juga tak tega. Dunia yang begitu kejamnya ini telah membuat manusia-manusia melakukan dosa tanpa peduli pada yang lain.
Tak berapa lama, Han pun sampai pada rumah kecil di sudut distrik. Ini bukan rumahnya, melainkan rumah bibinya. Kedua orang tua Han telah menghadap sang Illahi dua tahun lalu karena kekacauan negeri ini.
Dengan perasaan yang berat, Han melangkah masuk. Lagi, dia akan memasuki wilayah yang sama sekali tak membuatnya hidup dengan damai. Meski dia diperbolehkan tinggal, tetapi paman dan bibinya berpikiran sama dengan manusia zaman sekarang.
Mereka hanya peduli dengan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain meskipun sudah diberi tanggung jawab oleh ayah Han. Sementara demi terus bertahan hidup, mereka melenyapkan darah daging sendiri. Namun, tetap saja meminta jatah kepada Han. Kejam, bukan?
“Sip, hari ini jatahku tidak diminta para bandit. Jadi, aku bisa menyerahkan sisanya kepada Bibi, dan sisa lainnya untuk aku tabung demi makan serta pengobatan Hana.” Han tersenyum kecil seraya memutar engsel pintu.
Namun, terkejutlah dia tatkala seorang manusia bertopeng gagak berdiri di depan dua seonggok daging yang sudah tak bernyawa. Han mengenal siapa mayat itu, tetapi tidak dengan manusia bertopeng gagak dan jubah hitam laiknya malaikat maut.
Kostum yang dikenakannya begitu aneh, seperti Plague Doctor di abad 17. Topeng burung gagak yang tentunya memiliki paruh melengkung, kedua matanya berlubang tetapi tetap dilapisi kaca agar tidak menghalangi pandangan. Di atas kepala manusia misterius itu terdapat topi bundar berwarna hitam yang terbuat dari kulit. Sementara tubuhnya ditutup jubah hitam dan tangan dibalut dengan sarung tangan putih.
Sungguh aneh dan mengerikan.
Manusia bertopeng itu melirik sekilas pada Han, kemudian dia berjongkok, mengambil jarum mematikan yang dikenal dengan Punctura di tepi leher dua korbannya. Setelah itu, dia memasukkannya ke dalam tongkat kayu yang dibawanya dan melesat pergi dengan cepat tanpa meninggalkan jejak apa pun.
Sementara Han masih mematung selama beberapa saat. Terlebih, tiba-tiba saja sebuah cairan kental berwarna hitam keluar dari mulut paman dan bibi Han. Sontak saja, kedua mata Han melotot. Cairan itu bukan sembarang cairan. Sebab, bau amis tercium juga dari sana.
Kaki Han melangkah ragu, mendekat pada dua mayat yang selama ini memberikannya rumah. “D-darah?!” Han terkejut setelah dirinya semakin dekat dengan mereka. Cairan kental berwarna hitam itu tampak seperti darah, hanya saja berbeda warna.
Han pun menjauhinya seketika. Sementara tangannya menutupi mulut, berusaha menahan rasa mual akibat melihat hal yang mengerikan.
Kemudian, tak berapa lama, Han teringat adik kecilnya. Dia pun berlari seraya ketakutan sendiri. “Jangan sampai ini terjadi juga dengan Hana!” pintanya di dalam hati.
Dia terus berlari, menaiki anak tangga yang terasa tak ada habisnya. Sambil terus menahan sesuatu yang hendak keluar dari perutnya, Han berharap bahwa Hana akan baik-baik saja.
“Hana!” teriak Han begitu kerasnya. Dia langsung membuka pintu kamar Hana yang berada di lantai dua.
Setelah pintu terbuka dengan paksaannya, tubuh Han langsung melemas hingga kakinya tak mampu menopang badannya sendiri, alhasil Han pun ambruk di atas lantai. Sementara bulir bening meluruh dari manik matanya.
“H-Hana ...”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments