Dua hari berlalu.
Therra baru saja keluar dari kamar putra anak didik Gibran. Dia baru saja memberi obat suntik antivirus untuk mereka sebagai rutinitas. Biasanya sih Gibran sendiri yang memberikannya. Namun, saat ini Therra yang ditugaskan oleh Gibran sebab pria itu tengah melakukan kunjungan kepada seseorang.
Dia menutup pintu perlahan agar anak didik Gibran tidak terbangun karena suara decitan. Tatkala dia membalikkan badan, tampaklah Gibran yang datang dengan wajah penuh kecemasan, tetapi dia tetap menyempatkan diri menengok anak didiknya.
Kedua tangan Therra menyilang di depan dada. Dia masih berdiri tak jauh dari pintu. “Ada apa, Kapten? Apa kau resah karena harus melakukan hal berat itu?” tanya Therra membuat Gibran mulai tersadar akan kehadiran Therra.
Awalnya saking kacaunya pikiran, Gibran sampai tak tahu bahwa Therra sudah berada di sana. “T-Therra, apa yang sedang ka—”
“Segera lakukan, Gibran. Ini juga demi keselamatan kita. Ingat, dia bukanlah dia yang dulu. Dirinya sudah berubah!” sergah Therra dengan lantang.
Mendengar hal itu, Gibran mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu, Therra?”
“Dia menjadi salah satu target The Raven, bukan?”
Glek.
Gibran semakin merasa terpojok. Mulutnya seakan kelu, tetapi pikirannya terus menanyakan dari mana Therra tahu hal itu. Sementara tatapan Therra menukik tajam kepadanya, membuat Gibran semakin kehabisan aksara di tenggorokannya.
“Kau harus segera mengambil tindakan, Gibran. Jika bukan kamu, maka akulah yang akan—”
“Tidak akan pernah, Therra!” Gibran menaikkan nada suaranya, terdengar jelas dan lantang.
Kegaduhan itu membuat seisi kamar Han terbangun. Mereka segera mendekat ke pintu, mengintip kejadian apa yang tengah membuat mereka tak bisa tidur dengan damai. Tatkala Han, Lucas, Ace, dan Bima melihat Gibran, awalnya wajah mereka semringah, tetapi wajah bahagia itu berubah seketika tatkala melihat Gibran hendak melayangkan tangannya ke wajah Therra.
Namun, Gibran masih memiliki hati. Dia pun kembali menurunkan tangannya. Meski begitu, nada bicaranya masih terdengar kesal. “Aku tidak akan pernah melakukan itu, Therra! Apa lagi kamu! Dia berharga buatku, jadi tolong kamu jangan ikut campur lagi urusan pribadiku!”
Setelah mengatakan itu, Gibran berlalu dengan kekesalannya. Hampir saja dia menendang tembok. Namun, Gibran terus menahan diri agar wibawa yang selama ini dia bangun tidak hancur akibat kemarahannya belaka terhadap keadaan.
Sementara di sisi lain, Therra hanya bisa menghela napas seraya tersenyum kecut. “Begitu besar perasaanmu terhadapnya ya ... Gibran? Tapi, cepat atau lambat kamu harus melakukannya karena dia termasuk korban terinfeksi dan masuk ke dalam target The Raven.”
Kalimat itu membuat keempat anak lelaki yang sedari tadi mengintip pun terbelalak. Mereka semua tidak mengerti dengan kalimat Therra yang terdengar ambigu. Terasa ada sesuatu yang kedua kapten itu sembunyikan.
“Apa Kapten Gibran sudah punya pacar?” tanya Ace acak setelah Therra meninggalkan tempat itu.
Ctak!
Satu sentilan pun mendarat di jidat Ace dari tangan Lucas. “Bodoh!” makinya singkat.
“Tapi, aku melihat selama ini Kapten Therra selalu memperhatikan Kapten Gibran. Pun sebaliknya, bukan?” Kini Bima yang berbicara. Bima terkenal sebagai pengamat andal meski dirinya hanyalah seorang anak pendiam dan pemalu.
Sementara di sisi lain, pikiran Han berperang. Dia seperti tengah menyatukan kepingan-kepingan yang terpecah belah. Bahkan, masalah virus yang pernah dibicarakan oleh Therra membuatnya penasaran. Lantas, ada apa sekarang?
“Tapi, dua hari lalu aku melihat Eris begitu dekat dengan Kapten Gibran,” terang Han penasaran. “Kira-kira, apa hubungan mereka?”
“Eris dari Squad Tujuh itu, ‘kan?” tebak Ace secepat kilat.
“Dia juga memiliki rumor dengan Kapten Gibran. Ah, aku jadi semakin penasaran.” Bima yang pendiam kini seperti terobsesi dengan hal semacam ini.
“Kita lihat saja besok,” pungkas Han melerai rasa penasaran teman-temannya.
Esok yang ditunggu pun tiba.
Hari ini adalah jadwal pasukan ganjil untuk latihan. Seperti biasa, Squad Lima sudah memenuhi lapangan bersama yang lain. Kali ini mereka melakukan latihan memanah. Han yang awalnya masih belum menerima sebagai bagian The Raven, kini mencoba untuk masuk ke dalamnya dengan sepenuh hati sebab dirinya mulai merasa nyaman bersama teman-teman.
Dia memang masih belum menerima tugas seperti anggota yang lain, tetapi tetap mendapat jatah makan. Raymond memberikan kelonggaran kepada Han selama dua minggu karena dia adalah anggota yang baru masuk. Setelah itu, peraturan kembali berlaku kepadanya.
Meski mereka berlatih, tetapi Gibran tampak tak mendampingi dengan benar. Tatapannya terasa kosong. Dia terus menatap ke arah tanah. Pikirannya seperti entah ke mana meskipun tubuhnya hadir sepenuhnya di sini.
“Lihatlah, Kapten Gibran seperti sedang tidak baik-baik saja.” Ace memulai penyelidikan. Sedari tadi dia memang terus memperhatikan Gibran hingga akhirnya menyimpulkan demikian.
Kalimat Ace mengundang perhatian Han, Lucas, dan Bima. Mereka yang tadinya hendak mengambil posisi untuk menembak target, kini fokus mereka beralih kepada Gibran yang duduk di bawah pohon rindang.
Keempatnya menatap terus menerus tanpa berani menyapa Gibran dan hanya menyimpulkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Hingga pada akhirnya, Gibran pun berdiri. Sepertinya dia hendak menuju ke suatu tempat sebab perhatiannya tidak tertuju kepada anak didiknya.
Namun, baru beberapa langkah, sebuah nasib sial menimpanya. Mendadak saja sebuah batu kecil terlempar dari salah satu anak di pasukan tujuh. Mereka tengah latihan menembak sasaran menggunakan katapel. Batu tersebut mengenai dahi Gibran. Sontak saja darah segar keluar dari sana tanpa Gibran sadari.
Dia hanya mengaduh, lalu berjalan lagi seperti tak terjadi apa pun. Namun, Therra yang melihatnya pun kini mengejar Gibran.
“Agak lain memang si Gibran ini. Aku harus segera bertanggung jawab!” tekad Therra seraya terus mengejar Gibran yang mulai berjalan dengan sempoyongan.
Kemudian, Therra menitah Gibran dan membawa pria itu ke kamar, lalu mengobati luka yang disebabkan oleh anak didiknya. Sementara di sisi lain, keempat bocah yang sedari tadi memperhatikan pun tertawa kecil.
“Kapten Gibran ada-ada saja,” kata Ace dengan tawanya. Begitu pula yang lain. Namun, tentu saja Lucas berusaha menahan tawanya agar tetap bertingkah seperti lelaki yang dingin.
“Tapi, aku penasaran apa yang terjadi dengan mereka berdua. Apa kita mau menyelidiki kasus ini?” Bima si ahli pengamat pun mengajukan idenya yang langsung disetujui oleh Han dan Ace.
Lucas sebenarnya juga setuju, tetapi dia berkata seperti ini dahulu, “Dasar teman-teman yang merepotkan!” Meski begitu, mereka sudah mengerti bahwa Lucas juga akan bergabung dengan mereka karena ini terkait dengan Gibran, kapten mereka.
Tanpa berlama-lama lagi, mereka berempat kembali meletakkan seperangkat alat panah di tempatnya. Kemudian, mereka menuju ke kamar Gibran untuk mendapatkan informasi yang seharusnya.
Sementara di sisi lain, Joey pun tertawa geli. “Mereka benar-benar unik ya, Mai. Biasanya para wanita yang selalu penasaran dan suka bergosip. Tapi, kayaknya mereka seperti spesies yang lain,” kata Joey seraya menatap kepergian teman-teman satu pasukannya itu.
Di samping Joey, berdiri seorang gadis yang bernama Mai. Dia anggota Squad Lima juga, sama seperti Han dan yang lainnya. Gadis itu lebih pemalu daripada Bima, apalagi cara bicaranya yang selalu gagap dan takut salah. Meski begitu, dia termasuk gadis cantik bermata sayu yang memakai kacamata. Kedua rambutnya berwarna coklat dan selalu dikepang dua. Tampak culun, tetapi Mai adalah gadis terpintar di timnya.
Tinggi Mai hanya berkisar 165 sentimeter, lebih kecil daripada Joey yang berbadan kekar dan tato Mai yang berukir burung gagak khas The Raven ada di tengah dadanya.
“A-aku ju-juga me-merasa mereka itu u-unik, Joey. A-aku senang bisa ber-teman dengan me-me-mereka,” tambah Mai.
“Aku jadi penasaran dengan apa yang sedang mereka lakukan.” Joey melirik ke arah Mai. “Hei, apa kita buntuti saja mereka?” Joey begitu bersemangat seperti mendapat tantangan baru.
Sementara Mai hanya mengangguk, menuruti keinginan Joey. Kemudian, Joey melirik kepada gadis yang sedari tadi terus menembakkan anak panah tepat sasaran. Namanya adalah Rein, gadis berkulit putih yang tak begitu peduli dengan sekitarnya.
Tato Rein berada di punggungnya, sama seperti Therra. Rambutnya pirang, dia memang gadis blasteran, sementara maniknya berwarna biru kehitaman, tampak indah. Dia juga salah satu anak didik Gibran.
Joey pun melambai kepada Rein dengan penuh semangat. “Hei Rein, apa kau mau ikut bergabung?” ajak Joey tampak sangat antusias.
Namun, Rein hanya melirik dengan tajam. “Bukan urusanku!” jawabnya begitu dingin.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments