Beberapa menit yang lalu.
“Kenapa mendidik mereka saja kamu tidak becus, Gibran?!” Raymond berkata demikian dengan nada yang begitu tinggi setelah dia memberikan lima cambuk pada tubuh Gibran yang duduk di atas tanah tanpa mengenakan kaos. Hanya celana panjang yang dia kenakan.
Gibran terus menunduk seraya menerima setiap perilaku keras dari komandannya. Dirinya tak berani melawan sebab inilah yang memang pantas diterima olehnya. Gibran hanya bisa pasrah tanpa mampu melawannya.
“Mengontrol kekuatan mereka adalah tugasmu, Gibran! Jika mereka lepas kendali, bagaimana mereka akan bertumbuh menjadi pembunuh yang andal?!” Gigi Raymond mengerat, tampak di sorot netranya sebuah kekecewaan yang besar.
Hatinya membara sebab kapten yang diunggulkannya kini melakukan sebuah kesalahan. Sebenarnya, ini juga bukan kesalahan penuh Gibran. Hanya saja, Raymond-lah yang terlalu menaruh ekspektasi begitu tinggi terhadap Gibran sehingga kesalahan kecil pun membuatnya merasakan kekecewaan yang amat besar.
Begitulah manusia.
Gibran juga tak tahu sebenarnya apa kesalahan dirinya, tetapi dia yang tak memiliki kekuasaan lebih hanya bisa menerima injakan dari yang lebih tinggi.
“Han adalah anak andalanku setelah lama kucari-cari, Gibran! Tugasmu hanyalah melatihnya, bukan malah membiarkannya. Mengerti?!”
Setelah mengatakan itu, Raymond kembali melayangkan sepuluh cambuk ke badan Gibran tanpa ampun hingga dia merasa puas. Kemudian, Raymond pun berlalu meninggalkan Gibran dengan tubuh yang penuh luka dan dia tidak peduli akan hal itu. Menurutnya, Gibran memang pantas mendapatkan hukuman.
Gibran pun akhirnya tersungkur di atas tanah. Tak berapa lama, keempat anak didiknya datang dan melihat badannya yang penuh dengan luka cambuk. Sementara tangannya terbelenggu ke belakang dengan tali besar yang mengikatnya begitu kuat. Tato burung gagak yang gagah di lengan atas sebelah kanannya kini berlumur darah. Wajah Gibran sudah berlepotan karena bercampur dengan keringat dan tanah.
“Sungguh penampilan yang tidak keren,” katanya di dalam hati seraya tersenyum kecil tatkala melihat raut kecemasan di wajah anak-anaknya yang tengah berlari menghampiri dirinya.
Lucas dan Ace segera mengambil tindakan, melepaskan ikatan yang membelenggu kedua tangan Gibran. “Apa yang sedang terjadi denganmu, Kapten?” tanya Ace seraya melepas ikatan itu. Sementara Han dan Bima membantu Gibran untuk kembali duduk.
Banyak hal yang ingin mereka ketahui dengan apa yang tengah terjadi pada Gibran. Sungguh, inikah yang dimaksud dengan pertemuan antara komandan dan kapten? Mengerikan.
Han pun menggenggam tangannya, menyimpan sebuah amarah di sana. Kejam. Ini sungguh kejam baginya. Gibran sadar bahwa Han sedang memendam benci. Dia pun hanya tersenyum kecil dan berkata di dalam hati seraya melirik pada Han, “Melatihnya ... kah?”
Sejujurnya, Gibran sama sekali tidak mengetahui tentang Han yang baru ditemuinya dan langsung dimasukkan ke dalam squad-nya yang terkenal dengan “Perkumpulan Pemburu Andal” sebab anak-anak didik Gibran selalu istimewa di mata Raymond, begitu pula dengan kaptennya sendiri.
Memang sih, tatkala dia melihat Han dengan amukannya bak monster yang haus darah membuat binar mata Gibran berkilauan. Dirinya baru pertama kali melihat tatapan penuh kebencian seakan Han adalah pemburu profesional. Dia langsung tertarik, tetapi melihat kekacauan yang ada membuat Gibran segera bertindak biasa dan melerai kegaduhan yang dibuat oleh anak didiknya yang baru itu.
Mengingat itu, membuat Gibran semakin tertarik dengan Han. Dia merasakan ada sesuatu yang tengah disembunyikan oleh anak lelaki itu. Gibran pun memegang tangan Han yang gemetar karena mengepal dengan kuat. Dia tersenyum pada anak didiknya yang baru. “Sudah tak apa. Aku baik-baik saja,” katanya mencoba menenangkan Han meski dirinya menahan perih yang teramat sangat.
Setelah itu, mereka pun membawa Gibran dengan perlahan kepada Simon agar pria tua itu segera mengobati luka kapten kesayangan Raymond.
“Lagi-lagi dia begitu keras kepada anaknya,” lirih Simon seraya membersihkan tubuh Gibran. Sementara keempat bocah itu berdiri di samping ranjang Gibran dengan tatapan penuh khawatir.
Awalnya, Simon sempat terkejut sebab jika seorang kapten baru saja melakukan “pertemuan” itu, dia akan datang sendiri kepadanya dan keluar dari ruangannya seperti tidak pernah terjadi apa pun. Begitulah kuatnya para kapten The Raven.
Namun, kali ini Gibran membawa "ekornya", bahkan anak-anak itu tampak begitu khawatir. Gibran seperti sudah menjadi ayah bagi mereka.
Sesekali Gibran mengaduh kesakitan. Ini hukuman ke sekian kalinya selama dirinya menjadi kapten squad lima. Sebetulnya, Gibran sudah terbiasa dengan ini. Namun, entah mengapa Raymond begitu termakan emosi hingga melupakan posisi Gibran di matanya.
“A-apa Kapten Gibran akan sembuh, Dokter Simon?” tanya Han seketika. Dia tak sanggup melihat luka-luka itu. Terbayang olehnya luka cambuk di sekujur tubuh Hana. Ngeri. Han paling tidak suka melihat hal itu, terlalu menyakitkan baginya.
Sementara Simon pun melirik, lalu berkata, “Tentu saja akan sembuh. Kapten kalian begitu kuat.” Dia berusaha menghibur Han dan anak-anak didik Gibran lainnya. Namun, di sisi lain dia mengamati gerak-gerik Han. “Seperti bukan dirinya saja. Apakah kekuatannya sudah hilang setelah sekian lama?” bisiknya di dalam hati seraya terus menatap Han dengan senyum palsunya.
Setelah Gibran diobati oleh Simon, dia pun beristirahat di kamarnya. Sementara anak-anak didiknya menuju kamar mereka masing-masing sebab saat ini sudah mulai larut, semua orang sudah berhenti beraktivitas.
Malam ini memang begitu dingin.
Di ruangan yang minim cahaya, Gibran terbaring lemah seraya menahan rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya. Padahal, dirinya ingin sekali mengambil segelas air putih.
Awalnya dia hanya pasrah, tetapi setelah berpikir dua kali, dia enggan jika dirinya menjadi kapten yang hanya bisa dikasihani oleh anak didiknya. Tanpa berpikir lama lagi, Gibran pun mulai bangkit. Namun, baru saja dia mengambil posisi duduk, tiba-tiba seorang wanita masuk ke ruangannya.
“Jika tidak mampu, lebih baik tak usah dipaksakan,” katanya seraya mengambil segelas air minum untuk Gibran.
“Semua itu karena ulahmu, ‘kan?” tebak Gibran seraya mengambil posisi duduk yang sempurna di atas ranjang yang tak bisa dibilang empuk itu.
Sementara wanita yang tak lain adalah Therra tak menggubris pertanyaan Gibran. Dia melakukan tugasnya dengan baik untuk membantu Gibran, memberikan segelas air itu kepada rekannya, lalu mengambil posisi duduk tepat di sebelah Gibran.
“Kamu sudah lihat dia, bukan?” Kini Therra yang bertanya.
Suasana menjadi begitu hening. Hanya jangkrik yang menjadi teman keheningan. Di luar, bulan bersinar begitu indahnya. Sementara bintang bertaburan seraya berkerlap-kerlip menghiasi langit, memberikan harapan kepada semua orang. Begitu damai.
Gibran mengangguk setelah meneguk air putih yang diberikan oleh Therra tadi.
Kepala Therra menunduk, tampak dari netranya sebuah kecemasan. “Jujur saja aku takut jika waktu yang diprediksi oleh Komandan Raymond dan Profesor Simon itu benar adanya dan datang pada saat yang tepat.” Therra menghela napas panjang. “Apa kita mampu mendidik mereka dengan baik agar bisa disiapkan saat waktunya tiba?”
“Tentu. Lagi pula aku yakin pada anak didikku. Mereka adalah anak emas dan jurus pamungkas The Raven. Mereka harapan satu-satunya untuk menghadapi kiamat dunia ini.” Hening. Kemudian, Gibran melanjutkan, “Meski begitu, janganlah mendekati anak-anak didikku lagi!” Gibran duduk menjauh dari Therra.
Sementara wanita itu malah bergeser untuk terus mendekat dengan Gibran seraya menggodanya. “Oh ayolah, anak-anakmu sangat lucu. Aku ingin sekali memakannya.”
“Pergilah, dasar wanita iblis!” Gibran berusaha terus menjauh, tetapi Therra terus menggodanya.
Ruangan itu pun mendadak ramai karena tawa Therra dan suara Gibran yang berusaha mengusir tamu tak diundangnya itu. Dia sampai kelelahan sendiri karena perilaku Therra. Namun, tatkala Gibran sudah mencapai batasnya, Therra langsung dengan sigap mengobati dan merawat Gibran dengan baik.
Hal itu mengundang api cemburu dari seseorang yang tengah mengintip di kejauhan seraya memegang handuk kering dan obat-obatan. Dia menahan kemarahan hatinya seraya menatap tajam pada Therra dan Gibran yang baginya tengah asyik sendiri.
“Menyakitkan,” lirihnya dengan tatapan yang tajam.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments