“Jangan merengek!”
Lagi-lagi, Han terbayang masa-masa kelam tatkala dirinya tak mampu melakukan apa pun.
“Jangan merengek dan teruslah bekerja!”
Begitulah kiranya kalimat yang senantiasa dia dengar dari mulut paman dan bibinya. Tak lama setelah itu, pasti datanglah satu atau dua tendangan hingga tubuh Han makin melemah.
Han, tentu tak dapat melakukan apa pun. Saat itu, tubuhnya masih sangat lemah karena sudah hampir tiga hari penuh dirinya tak mengisi perut sama sekali. Jatah makannya yang diambil setengah oleh paman dan bibi dia berikan kepada Hana.
Menderita.
Sesak.
Dan lapar yang teramat sangat.
Apakah esok dia masih bisa melihat dunia yang penuh kezaliman ini lagi? Jika tidak, bukankah lebih baik dia mengakhiri semuanya dan mencari kedamaian di tempat lain?
Masih dengan tubuh yang lemas dan gemetar seraya menahan rasa sakit akibat siksaan paman dan bibinya, Han hanya bisa membayangkan masa depan yang cerah dan kesembuhan Hana.
Penyiksaan itu sudah makanan sehari-hari bagi Han maupun Hana. Malah, makanan yang seharusnya dapat dia makan dengan layak tak sebanyak siksaan itu. Han hanya bisa pasrah. Sesungguhnya, dia ingin segera lepas dari rantai ketidakberdayaan yang hanya bisa bergantung pada paman dan bibinya.
Namun, Han masih kecil dan belum tahu banyak tentang negeri yang penuh dengan kesesatan ini. Andai saja dia sedikit lebih kuat.
Tatkala paman dan bibinya sudah puas menghilangkan stres dengan menyiksa Han, mereka pun pergi meninggalkan Han dengan tubuh penuh luka. Entah ke mana hilangnya empati di dalam diri mereka.
Busuk dan hina!
Han hanya bisa memandangi punggung keduanya dengan perasaan kesal yang dia tahan selama ini seraya menangisi ketidakberdayaannya. “Aku benci diriku yang lemah!” Han hanya bisa merutuki dirinya yang tak berdaya di dalam hati.
Api yang membara di dalam tubuhnya senantiasa dia padamkan. Dirinya tak mau menambah masalah hanya karena nafsu haus darahnya bangkit. Dia tak ingin melukai orang lain lagi, sebab dia tahu rasanya dilukai.
Perasaan yang tidak semua orang tahu. Namun, Han yakin, seluruh penduduk Humanpolis, pun paman dan bibinya sebenarnya sama-sama terluka. Hanya saja, mereka berusaha bertahan dengan melukai orang lain demi menyelamatkan diri mereka sendiri.
Masih dalam keadaan terbaring di atas lantai yang dingin, Han pun menatap tangannya yang bergetar, entah karena rasa sakit ataukah karena dirinya tak makan selama tiga hari, Han tidak tahu itu. Namun, melihat tangan kecilnya yang mungil dan tak berdaya itu menyimpan sesuatu yang besar di dalam hati Han.
Kemarahan itu... membuat Han bertekad. “Aku ingin kuat! Aku ingin melindungi diriku dan Hana. Aku akan melakukan perubahan dengan tanganku ini!”
Namun, saat ini tangan yang menjanjikan perlindungan malah mampu melukai orang lain demi menyelamatkan yang lain. Han kehilangan kendali atas dirinya sendiri setelah dia melihat seseorang yang tak berdaya ditindas hari ini di depan matanya.
Sebelum mengambil tindakan berani, Han menempatkan dirinya di posisi anak lelaki berbadan gempal. Dia terbayang tatkala dirinya masih juga lemah dan senantiasa mendapat siksaan dari paman dan bibinya.
Mengingat itu saja membuat api dendam Han tersulut. Tanpa berpikir dua kali, Han pun bertindak, berusaha membela meski saat ini dia tak tahu siapa yang mengendalikan tubuhnya. Perlahan, dirinya juga hilang kesadaran.
Hanya amarah yang membawanya melangkah hingga ke titik ini. Han terus melayangkan tinjunya dengan brutal. Dia seperti berubah menjadi orang lain. Tanpa memandang siapa, berapa umurnya, bagaimana kondisi kesehatannya, Han terus melayangkan tinju ke arah wajah dan juga perut penindas tadi.
Meski si penindas yang tadinya bertingkah angkuh memohon ampun pada Han, lelaki ganas itu sama sekali tidak menghiraukannya. Han asyik sendiri melakukan apa yang penindas lakukan pada anak lelaki berbadan gempal.
Tangannya seperti terbebas dari ikatan yang selama ini membelenggunya. Entah apa, Han juga tak tahu. Di sisi kesadarannya, Han merasakan perasaan aneh yang membuatnya begitu bahagia.
“Ah gawat! Aku terbawa suasana!” bisik dirinya yang setengah sadar menyerang penindas. Han tak tahu mengapa dia sangat menikmati ini.
Namun, samar-samar terdengar suara bahwa Han harus segera menghentikan kegilaan yang dibuatnya. Tak hanya itu, seseorang juga menarik dirinya, menjauh dari penindas itu. “Sadarlah, Han!”
Suara itu... suara yang Han kenal. Itu adalah suara Ace. Lelaki itu memegang tubuh Han dari belakang, menjauhkannya dari korban Han hari ini. “Tahanlah dirimu, jika kamu terus menyerangnya, bisa-bisa nyawa dia melayang!”
Deg.
Han kembali tersadar secara penuh. Perlahan, dia melihat penindas tadi sudah babak belur. Darahnya keluar dari mana-mana, sementara wajahnya sudah lebam membiru.
Tangan Han pun gemetar. “Ah, aku melakukannya lagi! Sungguh biadab!” rutuk Han pada dirinya sendiri. Giginya bergemeletuk, sementara matanya tak sanggup menahan air mata penyesalan.
Dirinya baru tersadar bahwa dia telah melakukan hal yang sama seperti paman dan bibinya dahulu. Han ketakutan. Dia amat takut jika memang penindas yang jadi korbannya itu malah hidupnya jadi berakhir.
Sungguh, jika itu terjadi, Han tak dapat mengampuni dirinya sendiri sampai kapan pun. “A-Ace, a-apa dia akan b-baik-baik saja?” tanya Han dengan gemetar. Meski begitu, hatinya terus berharap bahwa dia tak melakukan kesalahan yang begitu keji.
Namun, Ace juga tak tahu seberapa parah luka yang dialami korban Han. Dirinya sendiri malah terkejut dengan Han yang berubah seperti dikendalikan oleh iblis. “Apa kamu kerasukan setan, Han?” tanya Ace dengan polosnya tanpa melihat situasi.
Mendengar pertanyaan itu, Lucas yang ternyata sedari tadi berdiri di samping Ace pun menjitak pucuk kepala lelaki polos itu seakan mengatakan bahwa Ace belum saatnya mempertanyakan itu pada Han. Kemudian, Lucas melirik ke arah Han yang masih ditahan oleh Ace.
Sejenak, dia menghela napas kasar. “Tenanglah, aku yakin dia baik-baik saja.” Jawaban Lucas membuat Han sedikit lega. Namun, tentunya rasa sakit akibat perbuatannya itu tidak bisa dianggap remeh juga, bukan?
Mendadak, situasi yang ramai itu menjadi tegang kembali tatkala seorang pria dengan pakaian jenderalnya datang. Rambut pria itu sedikit bergelombang, matanya berwarna hazel, sungguh indah. Perawakannya tinggi, sekitar 190 sentimeter dengan otot yang seimbang, tampak kuat dan gagah.
Bahkan, para wanita di dalam ruangan itu sampai menatapnya dengan mata yang berbinar-binar, seakan melihat bintang dunia. Sementara bagi para pria, mereka langsung menunduk hormat.
Entah siapa, tetapi pria tampan itu pun membuat Han menaruh perhatian kepadanya. Dia penasaran dengan pria penuh wibawa dan kharismanya itu. Meski seperti bumi dan langit, Han merasa bahwa dia akan aman bersama pria itu.
Tatapan teduh dan percaya dirinya serta badannya yang kuat membuat Han berpikir bahwa pria itu siap melindungi dan berjuang bersama dengannya. Namun, siapakah dia?
“Ada apa ini?” tanya pria tersebut, membuat seisi ruangan hening seketika.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments