“Hm, ada apa, Kak Han?” tanya gadis kecil dengan rambut pendek berwarna coklat yang begitu indah. Kepalanya menoleh perlahan, agaknya sedari tadi dia menatap jauh ke luar jendela. Maniknya yang berwarna dark brown bersinar, memantulkan cahaya mentari. Senyumnya lembut dan menghangatkan hati. Dia adalah Hana, adik Han.
Hana terkejut tatkala mendapati Han duduk di atas lantai dengan mata yang basah. Tak hanya itu, mata Han memantulkan ketakutan dan kengerian. “K-Kakak ... baik-baik saja, kan?!”
Kedua bola mata Hana melebar. Sejujurnya, dia ingin memeluk Han, tetapi tubuh lemahnya ini tak dapat melakukan apa pun selain duduk di atas kasur yang sudah seperti rumahnya sendiri. “K-Kak? Jawab aku!” Seutas kekhawatiran muncul di raut wajah Hana. Terlebih, lagi-lagi wajah Han lebam seperti biasanya. “Kakak dihadang lagi sama bandit-bandit bodoh itu?”
Hana yang seakan sudah tahu semuanya pun langsung menyimpulkan. Namun, bukan itu yang membuat Han kini terduduk lemas di atas lantai, melainkan kejadian super mengerikan yang bisa saja membuat isi perut Han keluar seketika. Dia juga khawatir dengan keadaan adik kecilnya, tetapi untung saja Hana masih sehat tanpa luka sedikit pun.
Tanpa berpikir panjang lagi, Han bangkit dan langsung memeluk Hana. Ketakutannya menguar seketika, terbawa angin kedamaian. Meski begitu, bibir Han masih gemetar. Dia menahan dan melupakan rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat hantaman keras dari para bandit. Sebab, kini hatinya amat bersyukur mengetahui bahwa Hana masih bisa tersenyum untuknya.
“Hana, berjanjilah untuk tetap bersamaku, ya. Kakak juga janji bahwa Kakak akan selalu menjagamu.” Kedua tangan Han memegang pipi Hana yang mungil. Tatapannya penuh dengan harapan yang besar, selain itu tersirat juga ketakutan yang amat dalam. Han tak ingin kehilangan Hana.
Sementara Hana kebingungan sendiri. Justru, saat ini yang dikhawatirkan adalah kondisi Han yang babak belur. Namun, Hana tak mau suasana itu terus-terusan menjadi tegang. Dia pun memilih untuk tersenyum lembut dan membalas tatapan penuh harap dari kakak tersayangnya.
“Ya, Hana akan selalu bersama Kakak. Kita akan hidup damai.” Satu senyuman Hana menenangkan kekhawatiran Han. Kini, bulir bening pun kian meluruh dari mata Han. Tak sanggup. Han tak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi pada malaikat kecilnya.
Hana yang berusia tujuh tahun itu amat disayanginya. Kini, hanya Hana satu-satunya keluarga yang dia punya. Semua kerabat Han sudah saling menghabisi satu sama lain hingga tak ada yang bertahan lagi. Hanya mereka berdua.
Lagi, Han memeluk tubuh mungil adiknya. “Aku berjanji untuk selalu menjagamu, Hana. Aku tak akan pernah pergi dari sisimu. Aku akan menyembuhkanmu.” Han terus bertekad di dalam hatinya.
Kemudian, tak sengaja matanya menatap papan besar yang baru dipasang. Di sana terpampang tulisan “Astria Kota Metropolitan” yang begitu besar. Tak hanya itu, di sana juga tertulis berbagai janji yang begitu manis.
Han pun melepas pelukannya terhadap Hana, lalu dia melongok keluar jendela agar dapat melihat papan besar yang dipasang di seberang jalan rumahnya. Kedua mata Han menatap dengan serius seakan tak ingin melewatkan sekecil apa pun dari pengumuman tersebut.
“Pekerjaan yang layak, kah? Apa aku bisa menyembuhkan Hana juga?” tanya Han di dalam hatinya. Sebab, selama ini dia hanya bekerja serabutan dengan hasil yang tak seberapa. “Jika aku pergi ke Astria, maka aku bisa menghasilkan uang yang banyak untuk Hana.” Lagi, Han terus bermonolog sendiri di dalam batinya. Pikirannya sibuk membayangkan kemakmuran jika dirinya mengambil langkah tersebut.
Sementara Hana memajukan bibirnya. Kedua tangan sudah disilangkan. Dia merasa diacuhkan oleh kakak tercinta. “Kak Han lihat apa sih? Aku sampai diabaikan begini,” protes Hana dengan wajah cemberutnya.
“Ah, maaf.” Han pun langsung kembali duduk berhadapan dengan Hana.
“Ada apa sih di luar? Kok kayaknya seru sekali?”
Han menggelengkan kepalanya setelah ditanyai begitu oleh Hana. Dia tak ingin adiknya ini tahu apa yang memenuhi otaknya sekarang. Namun, sedetik kemudian Han langsung mengambil sikap. “Ayo kita pindah!” ucapnya tanpa ragu dengan mata yang berbinar, menaruh harapan baru.
Kedua alis Hana berkerut. Pindah?
“A-apa yang Kakak katakan? Bukankah di sini kita sudah aman?” Hana mempertanyakan itu semua sebab selama ini dia hidup dengan damai meski tak jarang paman dan bibi menyiksanya. “B-bagaimana dengan Paman dan Bibi? Kita ak—”
“Lupakan mereka!” Sontak Han menaikkan suaranya, membuat Hana sedikit ketakutan dengan perubahan sikap Kakaknya yang mendadak itu.
Han tidak ingin lagi mengingat hal yang mengerikan. Meski dirinya melihat mereka dihabisi oleh seorang manusia gagak, tetapi Han tidak merasa menyesal karena tak sempat menyelamatkan paman dan bibinya. Hanya saja, dia tak mau Hana melihat hal ini juga. Akan seperti apa mentalnya nanti setelah tahu bahwa paman dan bibinya sudah tiada dengan darah yang berwarna hitam pekat?
Melihat Han semakin memaksa, Hana hanya bisa mengikuti kemauan kakaknya. Tubuhnya memang gemetar karena Han tiba-tiba bersikap seperti itu. “A-apa yang membuat Kak Han menjadi sangat ketakutan?” Hana hanya bisa mempertanyakan itu di dalam hatinya.
“Kita akan ke Astria dengan jalan kaki.” Han bangkit dari duduknya. Kemudian, dia mempersiapkan diri, menata barang apa yang kiranya perlu dibawa bersamanya.
“Lantas aku?” tanya Hana masih meragukan. Bukannya dia tidak yakin, hanya saja saat ini untuk bangkit dari tempat tidur saja tak bisa, bagaimana dia akan melewati lima distrik lain dengan berjalan kaki?
Distrik Kasuari adalah distrik paling ujung dan tentunya sangat jauh dari ibu kota Humanpolis. Jika pergi menggunakan kendaraan, itu akan menempuh waktu berhari-hari. Lantas, bagaimana jika berjalan kaki? Apakah mereka mampu?
Melihat adiknya yang menaruh keraguan di dalam hati, Han berjalan mendekat dan kembali memegang pipi Hana. Kemudian, seutas senyum penuh keyakinan terlukis begitu indahnya. “Aku akan menggendongmu. Kita harus pindah saat ini juga. Kakak janji akan memberikan kebahagiaan yang layak untukmu, Hana.”
Ini terlalu mendadak bagi Hana. Bisakah mereka mencapai tujuan bersama?
Meski Hana masih belum yakin, tetapi melihat tekad Han dari kedua binar di matanya, membuat Hana menyetujui ajakan Han. “Terima kasih karena selalu menolongku, Kak.” Hana tersenyum, ikut menenangkan hati Han yang saat ini ribut sendiri ingin segera sampai dan memberikan kelayakan hidup untuk adiknya.
Tak berapa lama, akhirnya mereka siap. Han menggendong Hana di belakang, tangannya yang sudah tak lagi halus pun menjadi tumpuan adiknya. “Percayakan padaku, Hana,” batin Han seraya menguatkan dirinya.
Tatkala mereka melewati lantai satu, Hana diminta untuk menutup matanya dengan sebuah kain lusuh.
“Jangan dibuka sebelum Kakak yang minta.” Begitulah kiranya perintah mutlak dari Han. Tanpa bertanya-tanya lagi, Hana hanya bisa menurut.
Namun, bau bangkai dan amis menjadi satu. Rasanya ada sesuatu dari dalam perutnya yang berontak ingin keluar setelah mencium bau aneh. Hana pun langsung menutupi mulutnya untuk menahan rasa mual itu. “B-bau apa ini, Kak? Apa ada bangkai tikus yang besar? Hana mau lihat—”
Kalimat Hana terpotong karena teriakan keras dari Han, “Jangan dilepas!”
Sontak saja Hana yang baru sedikit membuka kain penutup mata, kini dia kembali menutupnya dengan sigap. Dia menjadi takut tatkala mendengar suara keras dari Han dan tubuhnya pun mendadak bertindak secara spontan, sungguh mau tak mau dia harus menurut.
Kemudian, keduanya terus menyusuri jalanan berliku demi sampai ke Astria, distrik idaman semua penduduk Humanpolis. Meski dengan keringat yang membanjiri tubuh, kaki yang mulai menegang, tangan yang bergetar karena tak sanggup menahan beban, Han terus melangkah menembus jalanan penuh terjal ini.
Hanya tekad dan semangatlah yang membuatnya masih bertahan hingga detik ini. Jika dirinya kehilangan harapan, maka sudah sejak tadi dia tersungkur karena tak sanggup melewati sukarnya perjalanan menuju masa depan yang cerah.
“Sedikit lagi. Di ujung sana aku bisa sampai.” Han terus-terusan menyemangati diri meski dia tahu bahwa distrik yang ditujunya masih terlampau jauh. Mungkinkah dia bisa menggapainya?
Namun, di tengah perjalanan yang penuh dengan perjuangannya, mendadak enam manusia dengan topeng gagak dan jubah hitam menghadangnya.
Mata Han terbelalak. “M-mau apa kalian?!” teriaknya, berusaha menjadi kuat di hadapan manusia gagak yang sudah seperti malaikat maut.
Tidak. Han tak ingin mereka merebut Hana juga darinya setelah membuat paman dan bibinya kehilangan nyawa. Dia pun makin mengencangkan tangannya yang melengkung di belakang tubuhnya sebagai pangkuan Hana. “Aku tak akan menyerahkan Hana pada kalian!”
Sementara Hana menenggelamkan wajahnya di punggung Han. Tubuhnya gemetar. Manusia macam apa mereka yang membawa hawa kematian?
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments