Sesak dan gelap.
Dada Han seperti dihimpit oleh benda berat. Sementara matanya masih terpejam, sedangkan telinganya mendengar sedikit keramaian yang entah seberapa jauh sumber suara tersebut. Tak hanya itu, Han juga merasakan tubuhnya seperti lumpuh seketika dan rasa seperti terbakar di area pergelangan tangan kanannya kian memanas.
Apa ini?
Samar-samar, sosok Hana muncul di dalam bayangannya. Namun, tatkala Han hendak memeluk adik satu-satunya itu, tanpa kata apa pun, sosok Hana menghilang seketika, laiknya asap.
Terasa gelap dan menakutkan. Di dalam kegelapan itu, Han terus memanggil nama Hana. Dirinya kehilangan arah. Ruangan gelap nan sesak ini membuatnya tak dapat bergerak bebas.
“Hana, di mana kamu?” Han terus memanggil, berharap adiknya segera menampakkan diri lagi. Sungguh, Han tidak bisa jauh dari Hana. Lantas, ada apa dengan semua ini?
Semakin membayangkan betapa menyakitkannya jika harus berpisah dengan Hana, tanpa keraguan lagi, Han pun membuka matanya dengan cepat. Dia berharap bahwa semua itu adalah mimpi belaka.
Meski terasa sangat kecil peluangnya, Han berharap, setelah matanya terbuka lebar, dia bisa melihat sosok Hana. Ah, mungkin saja dia sudah sampai di Astria dan siap menjalani hidup yang layak bersama adiknya itu. Siapa tahu, bukan?
Namun, harapan itu rupanya semu. Setelah membuka matanya, pandangan Han masih samar, tetapi dia melihat enam sosok berdiri mengelilinginya.
“Siapa ... mereka?” tanyanya di dalam hati. Tubuh Han terasa tak berdaya. Namun, dia merasakan bahwa saat ini tangannya diikat ke belakang.
Perlahan, pandangan Han kian jelas. Gelap. Sesak. Tampaklah enam manusia bertopeng gagak. “Siapa kalian?!” Kini Han tidak ragu lagi dan langsung mengajukan pertanyaan tersebut. Dia berontak, bahkan rasanya dia ingin segera lepas dari kursi yang membelenggunya. “Di mana adikku, hah?! Lepaskan aku!” teriak Han mendeklarasikan perlawanan.
Kemudian, enam manusia misterius itu pun akhirnya membuka topeng gagak secara perlahan. Tampaklah wajah asli mereka. Tiga anak lelaki dan tiga gadis seusia Han berdiri seraya mengarahkan tongkat kayu ke arah Han.
Sontak mata Han melebar. Apa maksud semua ini?
Han meneguk salivanya. Ini seperti sebuah penghakiman. Namun, wajah Hana senantiasa terlintas di pikirannya. Dia bertekad untuk terbebas dari tempat misterius ini dan kembali bertemu dengan Hana.
“Apa yang kalian lakukan?! Lepaskan aku!” Han terus berontak untuk melawan. Entah dia percaya bahwa mereka benar-benar manusia atau malaikat maut, Han tidak peduli tentang itu. Han hanya tidak mau berpisah dengan Hana saat ini juga, sebab dia tahu bahwa adiknya itu masih membutuhkan dirinya.
Kemudian, seorang gadis berambut hitam lurus sepunggung dengan poni di antara mereka pun mendekat pada Han dan melepaskan ikatan di kedua tangan Han. Gadis itu tidak berekspresi sama sekali. Kedua mata dan tangannya hanya fokus pada ikatan sampul yang membelenggu tangan Han. Hal itu mengundang pertanyaan besar di dalam diri Han. Alisnya pun mengerut. Apakah dia akan dibebaskan?
Setelah tali yang mengikat tangannya itu terlepas, Han berdiri dengan penuh pertanyaan. Sebenarnya, tempat apa ini dan siapa mereka? Han tidak mengerti dengan semua kegilaan yang ada di Humanpolis. Perlahan, Han melirik pada mereka. Satu persatu dia telusuri lewat mata dark brown-nya. Han terus memindai seraya menyimpan begitu banyak pertanyaan.
Sementara kepala seluruh manusia yang tadi menggunakan topeng gagak pun saling berpaling. Mereka tak mengacungkan dengan angkuh tongkat kayu itu lagi. Malah, kini mereka tak berani menatap Han. Tampak sekali ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Mereka menunduk dengan pasrah, seperti sudah menyerah dengan keadaan.
Di saat Han memperhatikan orang-orang asing tersebut, tiba-tiba saja Han kembali menyadari sesuatu yang amat panas di pergelangan tangannya. Seperti ada sesuatu yang telah membakarnya. Tak hanya itu, rasa perih dan bayangan tertusuk jarum masih terasa dengan jelas. Apakah ini hanya ilusi semata? Atau rasa panas nan bercampur perih ini akibat dari tangannya yang sudah dibelenggu sekian lama?
Ah, sebenarnya sudah berapa lama Han berada di tempat misterius ini?
Daripada terus bertanya sendiri tanpa menemukan jawaban yang melegakan, Han pun melirik ke pergelangan tangan kanannya sendiri, melihat ada apa di sana. Namun, terkejutlah dia tatkala mendapati sebuah ukiran kepala burung gagak yang sama persis dengan logo di jubah para manusia bertopeng itu.
Ya, setelah Han amati betul-betul jubah mereka, sungguh benar dia melihat ukiran burung gagak di bagian atas dada sebelah kanan. Tak hanya itu, bahkan, ruangan gelap dengan tembok kokoh yang dihiasi tanaman merambat itu pun tampak patung logo yang begitu besar terpasang di salah satu dinding.
Patung perak yang sudah berlumut. Indah dan gagah. Namun, sayangnya saking sulitnya mentari menembus masuk, maka logo itu tidak memantulkan cahaya.
Han pun semakin terkejut. Bagaimana bisa sebuah ukiran kepala burung gagak berwarna hitam itu ada di pergelangan tangannya? Bahkan, sama seperti logo di jubah manusia bertopeng dan pada salah satu dinding ruangan misterius ini? Apakah ini memang sebuah berkat ataukah kutukan mengerikan?
“A-apa ini?!” tanya Han dengan geram. Kedua matanya terbelalak. “I-ini tato, bukan?!” Han berusaha menghapus tanda itu, tetapi tidak bisa. Agaknya, ukiran itu memang bersifat permanen. Han begitu panik.
Meski Han terus melontarkan pertanyaan, tetapi tetap saja hanya dirinyalah yang berisik. Semua orang terdiam seraya menundukkan kepala. Mengapa?
Han semakin penasaran. Dia tidak tahu apa-apa tentang semua yang terjadi disini, terlebih tato dengan ukiran burung gagak itu, Han benar-benar menyimpan pertanyaan yang besar tanpa mendapat jawaban yang pasti.
Semu.
Dan membingungnkan.
“A-apakah aku sudah mati? Apakah ini adalah akhirat?” simpul Han seketika. Mendadak, lututnya melemas setelah dia mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
Meski pikirannya sedang kalut, Han mencoba mengingat-ingat kejadian yang membuatnya terpisah dari Hana. Ya, tentu saja saat dia masih di pertengahan jalan dan dihadang oleh beberapa manusia bertopeng gagak.
Han semakin yakin bahwa dirinya telah menuju ke alam yang mana dia harus benar-benar pulang. Sebab, dia juga teringat kembali bahwa burung gagak adalah pertanda kematian. Lantas, benarkah ini kematian yang sejati itu?
Bulir demi bulir mengalir tanpa permisi dari balik mata Han. Tubuhnya gemetar. Rupanya, malaikat maut memang benar-benar ada. Namun, Han tidak berpikiran bahwa bentuknya seperti ini.
Jika memang inilah waktunya untuk pulang, sejujurnya Han belum siap sepenuhnya. Masih ada Hana yang harus dia jaga. Ah, apakah ini waktu yang tepat untuk meninggalkan Hana? Han tak bisa membayangkan bagaimana Hana akan kesulitan hidup sendirian tanpanya.
Tes. Tes.
Tangis Han semakin deras tatkala terbayang Hana yang tak mampu melakukan apa pun tanpa dirinya. Hingga akhirnya, Hana pun akan menjemput ajalnya juga setelah mengalami berbagai kesulitan tanpa hadirnya Han.
Tidak.
Han tak mau itu terjadi. Secercah harapan pun kembali bersinar. Han yakin, dirinya masih belum benar-benar kembali kepada Tuhan. Dengan penuh keyakinan, Han mengusap kedua matanya.
Ini bukan saatnya menangis, pikirnya. Han berusaha kuat demi Hana. Sekali lagi, dia ingin bertanya kepada para manusia bertopeng gagak itu. “Siapa ... kalian sebenarnya?”
Tanpa berbasa-basi lagi, keenamnya menjawab secara bersamaan. “Kami ... utusan gagak.”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments