Rembulan bersinar begitu terang, memberikan kedamaian malam kepada seluruh manusia. Jalanan yang hanya disinari beberapa lampu, kini tampak sepi. Semua orang sudah kembali menghangatkan diri di bangunan kecil masing-masing.
Han berjalan beriringan dengan Gibran tanpa menggunakan pakaian dinas. Keduanya tampak seperti warga sipil biasa, bahkan para 'anjing pemerintah' tidak sadar bahwa mereka adalah bagian The Raven.
Benar, The Raven adalah buronan terbesar polisi pemerintah dan malangnya, sebagian besar anggota masuk ke dalam daftar hitam kantor kepolisian, sehingga mereka tidak bisa keluar-masuk ibu kota.
Han menghela napas lega, menghirup udara Astria yang mulai mendingin seiring kejamnya penduduk di dalamnya. Ah, beginilah suasana ibu kota yang tampak lebih damai dari distrik yang Han tempati dahulu.
Meski tampak tenang dan damai, para anjing pemerintah berkeliaran seraya membawa alat pamungkas milik mereka. Entah untuk apa, tetapi rasanya senjata itu juga sama angkuhnya seperti pemiliknya.
Busuk.
Humanpolis bukanlah negeri Atlantik yang didambakan manusia seluruh zaman. Negeri ini sungguh hanya menjadi tempat kezaliman bagi pemuas nafsu. Sebenarnya, tidak ada kedamaian kecuali manusia yang menjadi alat saja.
Entah mana yang bisa dipercaya, Han tidak tahu.
The Raven maupun petinggi negara tidak ada yang bisa dipercayainya. Seperti kata Gibran, tak ada yang bisa dipercaya di Humanpolis. Namun, mau mempercayai The Raven, rasanya sungguh sulit bagi Han sebab The Raven agaknya lebih kejam dibanding manusia penikmat nafsu.
“Katanya, jika sudah masuk The Raven, itu artinya kita sudah tak memiliki apa pun. Lantas, apakah benar aku masih memiliki Hana?” tanya Han seketika tatkala sudah setengah perjalanan mereka tempuh bersama.
“Semua yang kau katakan adalah benar.” Gibran menatap langit malam yang sepi tanpa satu pun bintang di sana. Entahlah, sepertinya bintang saja muak melihat manusia-manusia yang mengotori bumi dengan dosa mereka. “Anggota The Raven tidak memiliki apa pun.”
“Lalu ... aku dan Hana?”
“Kau pun juga sama. Di dalam The Raven, kita hanyalah manusia yang tak memiliki rantai kehidupan dengan manusia di luar The Raven. Namun saat berubah menjadi warga sipil, buanglah The Raven sejauh-jauhnya.”
Han mengernyitkan kedua alisnya. Apa maksud Gibran sebenarnya?
“Tanyalah masa lalu anggota The Raven. Mereka datang tidak untuk mencari keluarga, tetapi untuk mencari tempat di mana mereka bisa diterima.” Gibran menghembuskan napas berat. “Saat kau masuk The Raven, terputuslah ikatan masa lalumu dengan orang lain, lalu kita berubah menjadi gagak si pemutus rasa sakit dan pembawa kematian. Hanya itu tugas kita. Tak ada kehidupan yang kita inginkan. Hanya menjadi seekor gagak sajalah yang mengantarkan kita menjadi manusia.”
Han tidak mengerti!
Kalimat Gibran terlalu berbelit-belit. Sementara otak Han tak mampu mencerna semua itu.
“Aku tahu saat ini kamu bingung. Tetapi, kelak kamu akan memahami apa yang dimaksud perkataanku malam ini.”
Dingin.
Udara luar mulai menusuk hingga ke tulang. Bulu kuduk kian berdiri bersamaan. Merinding. Angin mulai berhembus perlahan, menyentuh epidermis.
Han tidak tahu lagi harus bagaimana menanggapi kalimat Gibran. Entah dia harus terima sebagai anggota The Raven dan menjalani hidupnya ataukah dia akan kembali ke kehidupannya yang dulu.
“Tapi percayalah, Han. Masuk ke dalam The Raven adalah jalan yang benar. Sebagai anggota The Raven, kita adalah manusia-manusia terpilih yang akan menghadapi kiamat negeri ini.”
“Apa maksudnya? Bukankah yang membuat kiamat adalah kalian sendiri? Kalian membunuh manusia tak bersalah dengan tangan keji kalian. Apa itu yang disebut manusia terpilih?” Han sebenarnya kesal dengan kalimat Gibran yang merasa sudah berada di jalan yang benar.
Namun, apakah memang kalimat Gibran dapat dipercaya?
“Yang namanya dosa ya tetap dosa.” Han terus membatin, berusaha menjaga kalimatnya yang bisa menciptakan jarak antara dirinya dengan Gibran. Jujur saja, Han tidak ingin itu. Makanya dia hanya mengiyakan kalimat Gibran meskipun hatinya menafikan hal tersebut.
Tak berapa lama, keduanya tiba di sebuah gedung rumah sakit. Namun, bukannya masuk lewat pintu, Gibran malah menyuruh Han untuk memanjat sebuah pohon. “Cepatlah, Han. Kita tidak punya banyak waktu!”
“Hah? Kita benaran memanjat pohon ini, Kapten?” tanya Han masih tak percaya. Kepalanya mendongak, menatap Gibran yang sudah beberapa senti di atas sana.
Ah, mau tak mau Han mengikuti Gibran yang terlihat nekat. “Kupikir, kita berpakaian seperti warga sipil biasa juga sikap kita akan normal. Tapi, kenapa malah jadinya begini, Kapten?”
“Sudah cepat, pohon ini aman untuk dinaiki dua orang dewasa.” Gibran berbicara demikian seraya mengatur napasnya. Kaki dan tangan Gibran begitu lincah, sekarang dia sudah berada di atas salah satu ranting pohon yang tampak kokoh. “Aku sudah melihat Hana. Adikmu saat ini sedang minum obat itu.”
Mendengar nama Hana, kedua mata Han terbelalak. Tanpa berpikir panjang lagi, Han mulai memanjat seperti Gibran yang kini sudah duduk santai di atas sana seraya memperhatikan Hana.
“Hana, aku datang. Aku rindu sekali padamu. Apakah kamu baik-baik saja?” batin Han terus-terusan berharap di hatinya bahwa Hana baik-baik saja dan bersama orang-orang yang tepat. Tanpa sadar, setetes air bening mengalir dari sudut matanya.
“Jangan menangis, Jagoan! Di atas sini sangat menyenangkan loh,” seru Gibran dari atas sana. Dia melihat Han yang masih dalam proses memanjat, tetapi malah tiba-tiba terdiam. Rupanya Han tengah menangis di pertengahan jalan.
“Siapa yang menangis!” tolak Han. Dia segera mengusap air matanya dan bersusah payah menaiki pohon agar bisa melihat kondisi Hana dari atas sini.
Tak berapa lama, akhirnya Han sampai ke puncak meskipun napasnya tersengal dan pakaiannya berantakan. Dia mengambil tempat di sebelah Gibran persis seraya tangannya memegang salah satu ranting sebagai tumpuan. Masih dengan tubuh gemetar, Han mengomel, “Kapten, ini sungguh merepotkan! Melihat ke bawah rasanya membuat kepalaku pusing! Caramu sungguh ekstrem, Kapten!”
Mendengar itu, Gibran hanya terkekeh. Rupanya jagoan yang satu ini mengalami akrofobia, yaitu fobia ketinggian.
“Kenapa kita tidak langsung masuk saja ke sana dari pada naik pohon? Bukankah ini malah menunjukkan bahwa sikap kita mencurigakan? Bisa-bisa penjaga melihat kita dan tahu identitas kita!”
Han terus protes kepada Gibran, sementara pria itu hanya tertawa geli sedari tadi merespons Han. Kemudian, Gibran berhenti terkekeh. “Tapi, di sini menyenangkan, bukan?” Kepala Gibran memberikan kode ke sebuah ruangan yang gordennya masih terbuka lebar.
Han pun menoleh, mengikuti ke mana arah yang Gibran maksud. Sontak saja kedua mata Han terbelalak mendapati Hana tengah meminum obat bersama seorang suster cantik yang menemaninya. Sedetik, dua detik, Han tak berkata apa pun.
Hening.
Terpaan angin membawa kesegaran tersendiri bagi Han. Dinginnya malam kini tak sedingin nasib yang membawanya. Hati Han gemetar tatkala melihat adiknya masih baik-baik saja dan dirawat di tempat yang seharusnya.
Tanpa terasa, air matanya sudah mengalir begitu deras. Bibirnya hanya menyebut nama Hana. Sungguh, tubuh Han yang sedari kemarin menegang, kini mulai lemas tatkala melihat sumber kebahagiaannya masih bernafas. Sebab dia pikir, dirinya benar-benar sudah kehilangan sang adik tercinta.
“Indah, bukan?” Gibran membuat Han kembali sadar akan keindahan yang dimaksud dari perkataannya.
Han pun mengangguk, mengiyakan. “Kini aku tahu maksud Anda, Kapten. Perjuangan naik pohon bukanlah apa-apa dan rasa letih hilang seketika setelah bisa melihat Hana dalam keadaan baik-baik saja.” Tangan Han mulai mengusap matanya. Ah, dasar kakak yang cengeng.
“Sama seperti hidup.” Mendadak tatapan Gibran lurus ke depan dengan pikiran yang seakan mengawang ke angkasa. “Suatu keberhasilan membuat kita lupa akan perihnya perjuangan dan pedihnya kegagalan. Sebab, nikmat dari keberhasilan adalah obat dari letihnya perjuangan.”
Kalimat Gibran membuat kedua netra Han berbinar seketika. Dia tahu, sangat tahu sekali rasanya berjuang, apalagi di era revolusi Humanpolis ini. Han baru merasakan satu kenikmatan kecil, yaitu dapat melihat Hana setelah dirinya hampir menyerah. Namun, nikmat itu sungguh besar baginya dan mampu memberikan semangat di dalam hidup Han lagi.
“Begitu pula The Raven. Semua berjuang agar bisa hidup meski harus mengotori tangan sendiri dengan darah orang lain. Kejam, memang. Tapi, inilah jalan The Raven sebagai malaikat hitam yang hanya merenggut kehidupan orang lain demi perut sendiri.”
Kalimat Gibran barusan membuat kekaguman Han yang tadi sempat membuatnya kembali bersemangat, kini luntur. Han teringat bahwa The Raven hanyalah organisasi pembunuh yang kerjanya memutus kehidupan manusia.
“Tapi, kamu tak akan pernah tahu maksud The Raven sesungguhnya sebelum dirimu mencobanya, Han.” Gibran menyodorkan sebuah jarum yang di dalamnya sudah terisi sebuah cairan aneh. Jarum tersebut adalah satu-satunya senjata yang digunakan para manusia gagak untuk melancarkan aksinya.
Ya, alat itu adalah Punctura, seperti jarum akupuntur yang dibuat khusus sebagai senjata The Raven dalam melayani targetnya dengan baik.
“Cobalah, maka kamu akan tahu bagaimana targetmu menginginkan kematian. Dan kamu perlu tahu, sebagai The Raven, tugas kita hanyalah menyudahi rasa sakit itu dan mengantarkan mereka hingga ke tempat yang paling damai.”
Glek. Sontak saja kedua mata Han terbelalak seraya menelan ludahnya melihat Punctura, alat yang memutus kehidupan Paman dan Bibinya tempo hari. “A-apakah aku benar-benar harus ... melakukannya?”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments