Kedua tamu itu masih berada di teras rumah, dan aku masuk bersama bang Jepri. setelah bang Jepri selesai mandi lalu memintanya untuk berpakaian.
Sikap dan perilaku bang Jepri masih seperti anak yang berumur tujuh tahun, itu karena kekurangannya.
"bang Bernat, bang Jepri. yuk makan, masakan sudah terhidang di meja."
Ujar Riyan, kepada kami berdua. karena Riyan adalah juru masak di rumah ini, itu dikarenakan masakannya sangat enak.
"bawa bang Jepri makan ya, ada tamu di depan, nanti abang nyusul ya."
Riyan hanya mengangguk lalu meraih tangan bang Jepri untuk makan bersama, dan aku melangkahkan kaki ke depan rumah untuk menemani tamu seraya membawa air mineral dalam kemasan.
"lama juga ya bang Damar datangnya, oh iya pak saya tanya boleh?"
Pintaku kepada bapak paru baya itu seraya menyajikan air mineral dalam kemasan tersebut. terlihat si bapak mengganguk kepala pertanda bahwa saya bisa bertanya kepadanya.
"ini rumah peninggalan kakek kami pak, dan masih ada anak-anaknya yang lain. karena mama kami yang paling kecil dan belum punya rumah, sehingga kami bisa tinggal disini.
Apakah ahli waris yang lain sudah mengetahui kalau bapak yang membeli rumah ini?
Oh ya berapa bapak membeli rumah ini?"
"maaf, saya tidak bisa menjawab pertanyaan dari kamu sebelum dokter Damar kemari."
Seketika kami terdiam, dan tidak berapa lama kemudian bang Damar bersama kak Reva sudah tiba di sini.
Tapi bang Anggi dan bang Firman kemana ya?
"kenapa pak Ridwan? ada masalah apa?"
Bang Damar yang baru tiba langsung bertanya kepada pria paru baya yang bernama pak Ridwan itu.
"anak ini bukan penjaga tanah ini, tapi cucu pemilik rumah ini. coba dokter jelaskan kepada anak ini tentang jual beli yang sudah terlaksana antara saya dengan dokter."
Lalu bang Damar mendekatiku kemudian memegang bahu kananKu.
"ini memang adik ku, namanya Bernat. saya tugaskan untuk menjaga rumah dan tanahnya, rumah dan tanah ini sudah lama di hibahkan kakek kepada saya pak."
"kapan bang? bagiamana bisa almarhum kakek menghibahkan rumah dan tanah ini kepada abang?
Sertifikat rumah dan tanah sampai saat ini masih di bank sebagai jaminan, keluarga kita bisa tinggal disini karena almarhumah mama kita tidak mempunyai rumah.
Kita disini hanya menumpang bang, bukan sebagai pemilik."
Bang Damar masih terlihat santai, dan kemudian meminta dokumen kepada kak Reva.
"Bernat....
inilah peralihan hibah ke Abang ya, kamu baca. oh iya kamu bisa baca? atau perlu saya membacanya untuk mu."
Bang Damar menunjukkan dokumen tersebut, dimana ada photo copy sertifikat dan tertulis nama bang Damar, yang beralaskan Hibah.
Tidak habis pikir kenapa hal itu bisa terjadi, karena setahu ku, sertifikat rumah ini masih berada di bank.
Bang Damar tersenyum setelah aku melihatnya, seolah-olah mengatakan kalau saya salah total.
"jadi dimana sekarang sertifikat aslinya bang?"
"oh itu, ah..... itu ....lagi di urus. kemarin itu kena banjir dan sertifikat rusak."
Kali ini kak Reva yang jawab dengan terbata-bata.
"baiklah kalau begitu, begini saja ya. sebagian barang-barang sudah saya pindahkan dari rumah ini, dan saya masih tetap berada disini karena di tahan oleh Om Bayu.
Anak kandung laki-laki dari almarhum kakek dan almarhumah nenek, dulu om Bayu juga mengetahui kalau sertifikat rumah ini dijadikan sebagai jaminan, jadi saya akan pergi dari sini jika Om Bayu datang.
Karena Om Bayu adalah anak laki-laki dari kakek dan nenek kami, jadi om Bayu yang lebih berhak tentunya.
Ataupun jika bang Damar bisa menunjukkan asli sertifikat rumah ini, dan bertuliskan di sertifikat tertera nama bang Damar, saya bersedia pergi dari rumah ini sekarang saat ini juga.
Jika pak Ridwan sebagai pembeli rumah merasa keberatan, silahkan lapor ke polisi pak.
Jika bang Damar dan pak Ridwan memaksa saya keluar dari rumah ini sekarang, tanpa menunjukkan bukti sertifikat yang asli, maka saya meneriaki kalian berdua sebagai maling."
"sebentar dulu, saya membeli rumah ini secara tunai dihadapan notaris Reva. karena dokter Damar berkata ini adalah property nya.
Dokter Damar, apa maksud semuanya ini? kenapa jadi ribet seperti ini?"
Pak Ridwan sebagai pembeli terlihat sudah mulai panik, dan mempertanyakan kejelasan kepada bang Damar.
"sebentar ya pak, disini memang dua adik tinggal untuk menjaga rumah ini, hanya saja kedua kurang secara mental alias cacat pak.
Kedua adikku ini akan segera saya kirim ke rumah sakit rehabilitasi agar mendapatkan penanganan medis."
sertttt...... sertttt......
Darah ini mendidih dan terasa mengalir di tubuh, bisa-bisanya bang Damar berkata kalau kami berdua adiknya cacat.
"Riyan...... Togu......
Panggil pak Kepala lingkungan kita, atau perangkat yang lainnya.
Disini ada orang yang mengakui kepemilikan akan rumah ini."
Riyan dan Togu belum bergerak tapi sekelompok warga mendatangi kami, salah satunya ada pak Bima.
Pak Bima adalah kepala lingkungan, atau pak RT di lingkungan kami ini, beliau sudah puluhan tahun menjadi kepala lingkungan di area tempat tinggal kami ini.
"ada apa ini Bernat? kok dari kejauhan sana sudah terdengar suara keributan disini."
"bapak siapa?"
Pak Bima lantas menoleh pembeli rumah ini, yang bernama pak Ridwan.
"saya kepala lingkungan disini, orang yang bertanggungjawab akan keamanan warga saya. ada apa ini pak? pagi-pagi kok dah bersitegang begini?"
"begini pak Kepling, saya membeli rumah ini dari dokter Damar, karena rumah ini adalah milik dokter Damar, tapi penjaga rumah ini tidak pergi dari sini."
Sejenak pak Bima menggaruk kepalanya dan kemudian menoleh ke bang Damar.
"ya ampun Damar, nenek mu baru kemarin di kebumikan, sekarang kamu sudah menjual rumahnya.
Begini bapak, saya sudah kepala lingkungan disini sejak tamat SMA sampai sekarang, dan sebentar lagi saya akan memiliki cucu.
Rumah ini dan tapak nya, itu bersamaan dibeli oleh almarhum Atok Serkam bersama dengan almarhum ayah saya.
Lalu setelah saya kepala lingkungan di sini, dan memohon kepada badan pertanahan untuk menyediakan program sertifikasi gratis dan itu terwujud.
Saya dan almarhum Atok Serkam yang mengurus sertifikat rumah ini pak, jadi sepengatahuan saya, rumah ini belum pernah dialihkan kepada siapapun.
Setahu saya juga rumah ini sudah digadaikan di Bank, untuk membangun peternakan Bernat, demikian juga dengan rumah saat ini.
Almarhum Atok dan saya, secara bersamaan mengajukan permohonan kredit dan sama-sama juga di terima.
Kredit saya untuk usaha anakku, sementara kredit atok untuk usaha Bernat.
Hemat saya pak, pinjaman itu belum lunas. bagiamana bisa bapak membeli rumah yang masih agunan Bank?"
Lagi-lagi bang Damar masih terlihat tenang, tapi berbeda dengan kak Reva.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments