“Selamat pagi Ayaaaannnggg ...”
Gadis manis yang kini tengah menggunakan celemek dan memegang spatula itu melirik ke belakang, menatap suaminya yang baru saja bangun dari tidurnya, masih dalam keadaan acak-acakan, pria yang tengah berjalan untuk meraih gelas berisi air putih itu sudah disambut dengan sedemikian berisik oleh istrinya.
Cuaca dingin khas puncak langsung menggigit kulitnya, pria itu sedikit bergidik, tidak memperdulikan sapaan dari sang istri yang masih heboh menyapa.
“Ayang? Selamat pagi” Asha mendekat, lalu bergelayut di tangan sang suami, Briyan dengan malas mengangguk, lalu meletakkan gelas di atas meja makan.
“Pagi Sha, Lo lagi apa?” tanya Briyan basa-basi.
“Aku lagi masak, Ayang gak lihat aku lagi bawa apa?” Asha terkekeh, mengacungkan spatula yang tengah di genggamnya.
“Hmh, gak usah masak, kita pesan aja Sha” Briyan menggeleng, selalu ragu dengan rasa masakan istrinya sendiri.
“Jangan Ayang! Ini momen pertama kita tinggal serumah, aku mau belajar jadi istri yang baik, aku mau masak, cuciin baju Ayang, siapin Ayang baju, mijitin Ayang kalau lelah ...”
“Udah Sha, kalau Lo mau masak, masak aja, Gue mau jalan-jalan ke depan” Briyan bergegas melangkah, hendak meninggalkan Asha yang masih menimbang-nimbang.
Briyan berjalan menuju pintu utama, lalu membuka langsung pintu tersebut, hawa dingin kian terasa waktu baru menunjukkan pukul tujuh, tapi kabut masih menyelimuti, pohon cemara yang berada di depan villa melambai-lambai, suasana cukup asri dan begitu menentramkan, Briyan menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, menatap pada segumpal kabut yang tengah saling merajut.
“Ayang ...”
Briyan sedikit terjingkat kala sepasang tangan menjulur di perutnya, memeluknya dari belakang, lalu menggesek kepalanya di punggung kokohnya.
“Sha, Lo bilang kan mau masak, kenapa malah ngikutin ke sini?” Briyan berusaha melepaskan tangan Asha, namun Asha masih kukuh memeluk Briyan dengan erat.
“Aku berubah pikiran, aku gak bisa pisah sama Ayang, kemarin pisah satu minggu aja aku ngerasa stres banget” Asha mengadu dengan manja.
Briyan terdiam, bingung merajai hatinya, bagaimana cara dia menjelaskan jika sebentar lagi dia akan pergi ke luar negeri, meninggalkan Asha dalam waktu yang cukup lama, hati Briyan sangat terbebani, pundaknya terasa berat. Dia masih ingin mengejar mimpinya, tapi meninggalkan Asha pasti akan menjadi perdebatan panjang dengan kedua orangtuanya.
Asha selalu saja menjadi penghalang baginya, terlebih sekarang Asha sudah jelas blak-blakan tidak ingin ditinggalkan, maka apa yang harus Briyan lakukan sekarang?.
Tujuan Briyan datang ke puncak bersama Asha adalah untuk membujuk gadis itu agar mau melepaskannya pergi, tidak menghalangi langkahnya yang masih begitu panjang, namun ... seketika Briyan dilema, bagaimana cara mengatakan semuanya dan Asha bisa mengerti dan mengizinkan Briyan pergi tanpa drama.
“Sha, Lo percaya gak? Orang yang pergi itu untuk kembali, berpisah bukan berarti gak akan ketemu lagi” Briyan mencoba merangkai kata agar Asha mengerti.
“Hmh? Maksudnya apa?” Asha mengerjapkan matanya berulang kali tidak mengerti.
“Semua orang yang pergi itu, mereka pasti akan kembali, mereka akan pulang lagi” Briyan mencoba memperjelas.
“Ada orang yang pergi dan tidak pernah kembali” Asha menyela.
“Mamah dan Papah pergi, dan mereka tidak akan pernah kembali” Asha menunduk dengan raut sedih.
“Aku dan Mamah, Papah juga berpisah, tapi di dunia ini aku yakin, kita tidak akan pernah bertemu lagi” Asha terisak, Briyan terhenyak apa yang dikatakannya saat ini terasa serba salah, sesungguhnya kata mana yang tepat agar membuat Asha mengerti?.
“Sha ...” Briyan meraih dagu Asha, matanya kini menatap manik yang tengah berembun.
“Gue tahu Lo kuat” Briyan menepuk pundak Asha, meraih lengannya lalu mengajaknya jalan bersama.
“Segerkan cuacanya?” Briyan menoleh pada gadis yang kini masih terdiam, biasanya Asha akan terus mengoceh hingga Briyan merasa pengang, namun gadis itu masih terdiam.
“Iya” jawab Asha lemah, gadis itu mengedarkan pandangan, menikmati cuaca yang masih membuat kulitnya membeku.
“Sha, kita beli jagung bakar, mau?” Briyan menawarkan untuk menghibur hati Asha, dan seketika mata Asha menoleh, tatapannya berbinar, Asha mengangguk berulang kali dengan bahagia.
“Mau, mau”
Briyan tersenyum, berjalan tidak jauh dari tempatnya tadi menuju pedagang jagung bakar.
“Enak ya?” Asha meniup-niup jagung yang kini sudah berada di tangannya.
“Panas!” Briyan hampir melepeh jagung yang sudah digigitnya, membuat Asha terkekeh geli, menatap manik Briyan yang tengah mengerjap, tangannya mengibas-ngibas kepanasan, Asha menikmati pemandangan ini, memuaskan diri untuk memandang wajah Briyan sepuasnya, kejadian ini langka terjadi, Asha harus mengambil kesempatan ini segera, sebelum semuanya hilang!.
“Sha? Lo kenapa?” Briyan menatap Asha yang masih menatap matanya.
“Ayang, pernah nyadar gak? Warna mata kita sama” Asha masih menatap mata Briyan, membuat Briyan mengernyit tidak nyaman.
“Hah? Masa sih?” Briyan mengerjap-ngerjap.
“Padahal warna mata Mamih dan Papih itu coklat, Bintang juga. Kenapa warna mata Ayang hitam sendiri?” Asha mengernyit baru menyadari.
Briyan pun ikut bingung, benar juga. Apakah Briyan bukan anak Mamih dan Papih? Briyan menggeleng, geli sendiri dengan prasangkanya. Bagaimana mungkin dia hanya anak pungut? Jika foto dari mulai dia di perut Mamih hingga dia sekarang berjejer memenuhi album foto keluarga.
“Apa karena kita berjodoh?” Asha terkekeh, membuat Briyan merengut kesal, kenapa selalu adaaaa saja kata-kata Asha yang membuat Briyan tidak nyaman.
“Sha ...”
“Tentu saja kita berjodoh, buktinya kita menikah, meski kita masih kecil” Asha tergelak, Briyan memutar pandangan, takut ada orang yang mendengarkan ucapan absurd istrinya.
“Sha, dijaga dong omongannya, kalau ada yang denger terus nyangka kita macem-macem gimana?” Briyan berbisik.
“Ish! Ayang apaan sih? Kita kan emang udah halal, ngapain harus malu sih?” Asha menepis tangan Briyan yang mengibas-ngibas di depan wajahnya.
“Sha!” Briyan mulai terpancing emosinya.
“Iya ... iya ... aku diem nih” Asha kembali menggigit jagung bakar di tangannya.
Asha dan Briyan kembali ke Villa mereka setelah puas makan jagung, Asha pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri, sementara Briyan menerima panggilan telepon, ternyata dari Raisya yang menanyakan bagaimana kelanjutan pendaftaran kuliah Briyan di luar negri sana, juga pengurusan tempat tinggal mereka, Briyan masih belum bisa memberikan jawaban apapun, bahkan dia belum mengatakan apapun pada kedua orangtuanya.
“Ayang! Lagi apa? Ayo mandi” Asha menghampiri Briyan yang masih mematung.
“Hmh” gumam Briyan lesu.
“Ayang, nanti malam kita jadikan bikin tenda di sana?” Asha menunjuk pada halaman Villa yang cukup luas.
“Iya” Briyan kembali mengangguk, mungkin nanti malam adalah waktu yang tepat dia berbicara dengan Asha.
“Yeeeaayyy ... kalau gitu aku mau siapin semuanya, kira-kira apa saja yang harus aku siapkan? Kayu bakar? Jagung? Gitar? Oh! Tenda di mana? Apa aku harus siapin lingerie juga? Aawwww ... haha”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments