“Mamih mau gak rumahnya rame terus?” Asha mengedipkan sebelah matanya.
Mamih dan Papih menatap dengan bingung, Briyan yang sedari tadi hanya terdiam seketika mendongak merasa curiga dengan gelagat Asha, sementara Bintang hanya diam menyimak sembari menikmati makanannya.
“Ajak aku pindah ke rumah ini dong Mih, biar rumah ini rame dan aku gak sendirian lagi” Asha mengedipkan matanya berulang kali dengan lucu.
Uhuk ... uhuk ...
Briyan seketika langsung tersedak, sementara Bintang segera melempar sendoknya tidak suka.
“Dasar ngelunjak!” celetuk Bintang sembari pergi meninggalkan meja makan, gadis itu sungguh merasa tidak suka dengan Asha, terlebih kedua orangtuanya kadang sering memperlihatkan perhatiannya pada Asha, bagaimanapun Bintang hanyalah gadis manja, belum dewasa yang kini tengah ketakutan cinta kedua orangtuanya akan terbagi.
Berulangkali Mamih dan Papih berteriak memanggil Bintang, namun remaja itu tidak peduli, dia terus berjalan menuju mobil yang mengantar jemputnya sekolah, pergi meninggalkan rumah dalam keadaan kesal.
“Maafin Bintang ya Sha” Mamih tersenyum pada Asha yang masih melongo, baginya sikap Bintang padanya selama ini sudah biasa terjadi, Asha sudah biasa diperlakukan tidak baik oleh Kakak beradik keluarga Alexander.
“Gak apa-apa Mih” Asha tersenyum.
“Ayo kita berangkat” Briyan mengakhiri sarapannya, lalu berpamitan pada kedua orangtuanya, tidak peduli jika Asha masih belum selesai.
“Ayang, aku masih laper” bisik Asha manja.
“Kita makan di kantin” Briyan berucap tegas, lalu pergi meninggalkan ruang makan tanpa menunggu Asha yang masih mencium tangan Mamih dan Papih.
“Ayang, aku pindah ke rumah kamu aja ya?” Asha masih bertanya tentang hal yang jelas tidak disukai Briyan, membuat pria itu mulai terpancing emosinya.
“Kenapa sih?” Briyan menggeram, dengan rahang yang mengetat.
“Ya biar kalau Ayang kangen aku, kita tinggal ketemu” Asha menyandarkan kepalanya di bahu Briyan yang kini tengah fokus menyetir.
“Kenapa Lo selalu maksain kehendak? Lo lupa dengan perjanjian kita? Kita tidak boleh serumah sampai surat-surat buat melengkapi surat pernikahan kita lengkap” Briyan beralasan dengan kata yang paling masuk akal, berusaha menekan egonya yang kini sudah muncul setinggi langit.
“Oh iya, Ayang takut khilaf ya? Tapi aku janji gak akan gangguin Ayang kok, lagian Ayang bentar lagi kan punya KTP” Asha mengerucutkan bibirnya, masih berusaha merayu, agar Briyan menggagalkan keputusannya.
“Sha ...” Briyan menggeram kesal, rupanya pria itu mulai terpancing emosinya kala Asha terus saja membantah.
“Iya ... iya ... tapi Ayang janji yah ... Ayang harus sering-sering datang ke rumah, kalau bisa nginep, hehe ...” Asha semakin tidak tahu malu.
“Hhhhh ...” Briyan menarik napas panjang, terlalu lama bersama Asha membuat tensinya menjadi naik.
“Ayang janji ...” Asha menatap Briyan dengan memohon.
“Ayang ...” Asha kembali memanggil dengan mata mengedip-ngedip lucu, namun tidak bagi Briyan, pria itu semakin jengah dibuatnya.
“Sha ... please ...” Briyan mencengkram kemudinya dengan erat.
“Iya deh ... gak apa-apa, aku aja yang ke rumah Ayang” gadis itu mengalah, tak ingin Briyan bersikap tidak baik lagi padanya, gadis itu akhirnya memilih diam, sesekali mulutnya bersenandung ringan mengikuti audio yang diputar melalui ponselnya, gadis itu tersenyum riang, sesekali berceloteh bertanya ini dan itu pada Briyan, meski Briyan hanya menjawab seadanya dengan nada malas.
“Turun Sha ...” Briyan menghentikan mobilnya dengan jarak beberapa meter dari gerbang sekolah. Asha mengerjap bingung, lalu memutar pandangan ke sekeliling.
“Ayang, kenapa aku di turunin disini? Sekolah kan masih di depan” Asha menatap Briyan yang kini pandangannya masih lurus menatap ke depan, beberapa anak sekolah yang berangkat sekolah dengan berjalan kaki terlihat berlalu lalang, namun hanya beberapa orang saja. Sekolah mereka adalah sekolah elit, sembilan puluh persen siswa berangkat sekolah dengan diantar jemput supir, atau mengendarai mobil sendiri. Beberapa siswa yang dianggap kurang mampu dan sekolah disana hanya bermodalkan beasiswa dari yayasan berangkat sekolah dengan jalan kaki atau naik kendaraan umum.
“Turun Sha, Lo gak lupa ‘kan dengan perjanjian kita? Kita tidak boleh memperlihatkan kedekatan kita pada siapapun, Gue gak mau ada orang yang curiga, dan nganggap Gue sama Lo ada apa-apa” jelas Briyan lantang, membuat Asha menundukkan kepalanya merasakan sakit dihatinya, ternyata perlakuan baik Briyan sama sekali tidak mengubah keputusannya, tapi tak apa, ini baru permulaan nanti Briyan akan berubah, Briyan akan memberikan cintanya untuk Asha seorang, begitu fikir Asha.
“Tapi kan antara aku sama Ayang memang ada apa-apa” Asha terkekeh.
“Sha, turun cepetan!” Briyan mulai kesal.
“Iya deh ...” pasrah, akhirnya Asha turun dari dalam mobil Briyan.
“Ayang, cium dulu boleh?” Asha terkekeh geli.
“Sha!” bentakan dan bantingan pintu mobil membuat Asha mengerjap kaget.
“Ayang galak banget sih?” Asha memegangi dadanya yang berdebar.
Mobil yang dikendarai Briyan melaju cepat, hingga tidak sampai sepulu menit mobil itu sudah terparkir di sekolah.
“Asha!” gadis berponi manis itu menoleh ke belakang, menatap orang yang menyerukan namanya.
“Abim?” Asha bergumam menatap pria yang tengah terengah menghampirinya.
“Kamu jalan kaki?” tanya Abimanyu mengedarkan pandangan, merasa heran dengan gadis yang biasanya begitu manja, setiap hari diantar jemput supir, kini terlihat jalan kaki.
“Iya, biar sehat” jawab Asha ngasal.
“Ohhh, kalau gitu kita barengan aja ya?” Abimanyu mensejajari langkah Asha.
“Gak usah, Gue gak mau pacar Gue cemburu” Asha melipir dengan risih.
“Oh, ya udah deh, Gue duluan” Abimanyu tersenyum, lalu berjalan dengan cepat, meninggalkan Asha yang tertinggal jauh dibelakang.
Asha sedikit terengah, tidak biasa jalan kaki jauh, membuat gadis itu merasa kelelahan.
“Sha? Lo jalan kaki? Lo keringetan” Gendis menyodorkan tissue pada Asha yang baru saja tiba di kelasnya, gadis itu mengipasi wajahnya dengan buku, lalu menyeka keringatnya perlahan.
“Gila, padahal cuman jalan lima belas menit aja, tapi keringetan gini, capek” keluh Asha sambil menjulurkan lidahnya, lalu menelungkupkan wajahnya di meja, jika semuanya bukan demi Briyan, maka Asha tidak akan pernah mau melakukannya.
“Lo bangkrut Sha?” Gendis bertanya mengejek.
“Kalau Gue bangkrut, Lo masih mau temenan sama Gue gak?” Asha mendongak menatap Gendis, seketika ucapan Briyan yang mengatakan jika Briyan terpaksa menikahinya hanya karena Briyan takut bangkrut dan ditolong oleh keluarga Asha terlintas. Tiba-tiba Asha berfikir, jika Ia bangkrut, mungkinkah Briyan akan langsung menceraikannya? Lagipula, selama ini Briyan tidak pernah mencintainya, jika tidak ada harta, maka habislah sudah pertahanan Asha.
“Lo ngomong apaan sih Sha? Gue temenan sama Lo itu tulus, lagian Lo kaya atau miskin, sama aja buat Gue” Gendis terkekeh.
“Apa kesamaannya?” Asha bertanya dengan bingung.
“Sama-sama berisik” mereka tergelak bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Candy
iya,aku yg baca aj merasa klo si Asha berisik banget 😂
2023-08-25
0