“Non, dibuka dulu pintunya cah ayu” Bik Inah masih setia mengetuk pintu kamar Asha dengan lembut, suara jeritan dan barang pecah sudah tidak terdengar lagi, namun kekhawatiran perempuan tua itu masih juga belum berkurang, bingung entah apa yang harus dia lakukan.
Bunyi telepon berdering, atensi Bi Inah segera berpindah pada ponsel yang berada dalam saku dasternya.
Seketika raut tegang langsung ketara dari wajah yang sudah mulai sedikit mengeriput tersebut, dadanya bergemuruh, entah jawaban apa yang akan diberikannya pada majikan besarnya.
“Ha halo Tuan ...” Bi Inah menjawab dengan nada bergetar.
“Bi, dimana Berliana?” pria itu langsung menodong Bi Inah dengan pertanyaan.
“Emh, anu Tuan ...” Bi Inah semakin gugup.
“Anu apa? Ayo katakan padaku!” pria di seberang sana terdengar geram, mendengar jawaban kaku dari asisten rumah tangga yang sedari dulu sudah dipercayainya.
“Non Asha pulang dari rumah Den Briyan dengan wajah murung, masuk kamar, lalu terdengar menangis dan menghancurkan barang-barang,” Bi Inah melaporkan kejadian dengan tubuh bergetar, keringat dingin mulai keluar dari dahinya.
“Kenapa tidak di tenangkan seperti biasa?” suara di seberang sana mulai meninggi.
“Maaf Tuan, pintunya dikunci” Bi Inah semakin bergetar ketakutan.
“Pakai kunci cadangan!” teriaknya frustasi.
“Ba baik Tuan” Bi Inah mengangguk dengan tangan yang masih bergetar kuat,
“Segera laporkan padaku kondisi Berliana! Apa saja yang dilakukan Briyan hingga membuat Asha seperti itu? Dasar pria tidak bertanggung jawab! Membuat Berliana tersenyum saja tidak becus!” telpon dimatikan sepihak, barang tentu orang di seberang sana tengah menahan amarahnya yang hampir meluap.
Bi Inah segera meraba laci nakas yang terletak disamping kamar Asha, meraih salah satu kunci cadangan kamar Asha, lalu mencoba membukanya, satu kali, dua kali, hingga tiga kali percobaan pintu masih belum bisa dibuka, Bi Inah menyerah. Mungkin saja pintu dikunci menggunakan kunci slot dari dalam.
Bingung, Bi Inah hanya bisa mondar-mandir didepan pintu, sesekali merayu Asha agar mau membuka pintunya. Hingga Bi Inah sungguh menyerah dan akhirnya terpaksa menelpon keluarga Briyan. Beruntung yang mengangkat telpon rumah adalah Mamih, dengan panik perempuan berhati lembut itu segera bergegas menuju rumah menantunya.
“Bi, Asha dimana?” terengah, Mamih segera tiba didepan kamar Asha, menatap Bi Inah yang masih dengan wajah cemasnya.
“Non Asha tadi dari rumah Ibu, tapi hanya sebentar dan sudah kembali lagi, katanya mau nganterin sweater buatannya untuk Den Briyan, tapi pulang-pulang Non Asha jadi seperti ini” Bi Inah menunduk melaporkan apa yang dia tahu.
“Briyan! Anak itu!” Mamih begitu geram, dia mengutuki dirinya sendiri, yang tadi sempat jalan-jalan ke Mall bersama Bintang kala Asha datang ke rumahnya.
Tok ... tok ... tok ...
Pintu di ketuk berulangkali oleh Mamih.
“Sayang, Asha ... buka pintunya Nak, ini Mamih” dengan lembut Mamih menyeru dari luar pintu, masih belum ada pergerakan dari dalam sana.
“Sayang, Mamih janji, besok dan seterusnya kamu akan berangkat sekolah bersama Briyan, nanti Briyan akan Mamih suruh untuk bawa mobil, biar kamu nyaman dan gak kepanasan” bujuk Mamih menggunakan senjata pamungkasnya, seorang Asha akan selalu luluh jika nama Briyan sudah disebut.
Ceklek ...
Tepat dugaan Mamih, pintu terbuka begitu saja, memunculkan wajah Asha yang begitu sembab dan kacau.
“Beneran? Mamih janji? Gak akan bohong?” Asha menatap Mamih yang masih terpaku menatapnya dengan iba.
“Mamih janji sayang, Mamih akan buat Briyan yang menjemputmu kesini, kamu mau?” Mamih tersenyum memeluk Asha, lalu mengusap punggungnya dengan sayang.
“Asha mau Mih” Asha menganggukan kepalanya berulangkali.
“Sekarang Asha mandi dulu yuk, terus makan, mau Mamih yang masak?” Mamih kembali menawarkan dengan lembut, menatap menantunya dengan rasa iba, matanya sempat melirik kamar Asha yang begitu kacau.
“Iya Mih, Asha mau” gadis itu mengangguk, lalu berlari menuju kamar mandi dan melakukan ritualnya.
“Bu, tolong berikan ini, Non Asha juga harus diobati lukanya, tadi saya lihat kaki dan tangan Non Asha terluka, terkena pecahan beling” Bi Inah datang dengan kotak P3K juga obat yang selama ini dikonsumsi Asha untuk menenangkan gadis itu kala depresinya kambuh.
“Iya Bi, saya akan siapkan makanan untuk Asha” Mamih meraih obat yang diberikan Bi Inah, lalu berjalan menuju dapur rumah mewah tersebut, melewati ruang tengah Mamih sempat menghentikan langkahnya, melirik pada potret besar yang masih dipajang di rumah tersebut.
Potret gambaran bahagia keluarga sahabatnya, mendiang Vanesa Ibunya Asha, mendiang Albert Ayah Asha, dan Asha kecil yang kala itu masih berusia lima tahun, gadis itu bahkan sudah terlihat cantik sedari balita.
“Vanes, maafin aku, aku sudah gagal buat putri kamu bahagia” mata Mamih sudah berkaca-kaca, segera menyeka air matanya lalu kembali meneruskan langkah menuju dapur.
Perempuan paruh baya itu langsung berkutat di depan kompor, menyajikan beberapa makanan yang disukai menantunya, hingga masakannya selesai bertepatan dengan itu Asha datang, segera datang di mini bar dapur itu lalu menghadap pada Mamih yang tengah menata makanan.
“Kalau Mamah masih ada, Asha akan melakukan ini setiap hari, meminta Mamah untuk memasakan makanan kesukaan Asha” ucap gadis itu dengan nada sendu.
Mamih menghentikan gerak tangannya, menatap gadis itu dengan perasaan sedih, hatinya mudah tergores, terlebih ini tentang kisah sahabatnya sendiri, ada banyak kenangan yang tercipta dari mereka, bersahabat sedari SMP hingga mereka meniti karir, sukses bersama, menikah, dan memiliki anak yang hanya beda satu satu tahun saja, persahabatan mereka sudah layaknya saudara sedarah.
Mamih menghela napasnya berat kala mengingat setiap rentetan kejadian tersebut, berusaha tersenyum menghibur Asha yang tiba-tiba saja meredup.
“Sayang, mamih adalah Mamih kamu juga, kamu tidak perlu sungkan, jika kamu mau, kamu bisa melakukan ini setiap hari dengan Mamih, apapun yang kamu mau, Mamih akan lakukan” perempuan itu mengusap kepala Asha dengan begitu sayang.
“Asha beruntung punya Mamih” gadis itu tersenyum, menutupi lukanya yang menganga.
“Sekarang makan dulu ya, Mamih akan obati lukamu, lihat! Apa ini? Anak Mamih yang cantik memiliki luka, aaawww ... ini seperti bukan putri Mamih” Mamih tersenyum menggoda Asha yang sudah menyuapkan makanannya, perlahan tangan itu mulai mengolesi salep pada tiap luka yang terdapat di kulit Asha, Asha sempat meringis berulang kali, namun segera menahannya kala Mamih terus meniupi lukanya.
“Sudah selesai sayang, minum obat ini, lalu istirahat ya Nak” Mamih menyodorkan beberapa butir obat untuk Asha minum, gadis itu mengangguk, lalu menenggaknya tanpa drama.
“Asha mau bobok tapi di elusin Mamih” gadis itu begitu manja.
“Baiklah, kita bobok tapi di kamar tamu dulu ya, kamar kamu sedang di bersihkan Bi Inah” mamih menuntun tangan Asha lembut, menuju kamar tamu yang terdapat di rumah tersebut.
“Asha mau dinyanyiin sama Mamih” gadis itu kini sudah berbaring dengan selimut yang sudah menutupi tubuhnya hingga dada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments